Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Kamis, 27 Desember 2012

‘KAMI, KITA, DAN SAYA’ PROF. FUAD HASAN

SORE itu saya terhenyak mendengar berita meninggalnya Prof. Fuad Hasan, mantan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia pada era 80-an. Saya tidak mengenal secara pribadi terhadap beliau, hanya beberapa kali berjumpa karena suatu urusan dinas. Itu pun dengan intensitas waktu yang singkat.
Namun, ada sesuatu yang menarik di sana; sekalipun intensitas waktu yang singkat, beliau begitu memanfaatkannya dengan efisien dan efektif. Begitu jumpa beliau, ada sesuatu yang luar biasa, yaitu daya ingat beliau dengan persis dapat menyebut nama, bahkan kita pernah jumpa pada peristiwa apa, membicarakan apa, dan di mana dengan tepat.
Karena daya ingat yang demikian, interaksi yang dibangun pun menjadi begitu dekat, sehingga kita tidak merasa sedang berhadapan dengan seorang menteri. Sesuai dengan aturan protokoler diakui bahwa untuk menjumpai menteri bukan hal yang mudah, akan tetapi setelah kita berada di ruang beliau dan terlepas dari pengawasan protokoler, suasana begitu hangat, tapi tidak lepas dari koridor keilmuan, kesahabatan, dan kebapakan.

Rabu, 26 Desember 2012

KADO AKHIR TAHUN BUAT KEMANUSIAAN

Dengan ucapan innalilahiwainailaihi rujiun untuk akhir tahun ini kepada Lampung dan Sumatera Selatan yang telah diberi kado oleh salah satu stasiun televisi dan YouTube dengan menampilkan adegan sadis di dunia maya. Saya sebagai insan akademis merasa malu melihat dan menerima telepon serta pesan singkat dari teman-teman seantero jagad ini, ingin mengonfirmasi kebenaran berita dan gambar tadi.
SEBAGAI orang yang beradab, saya merasa hancur lebur perasaan melihat adegan-adegan di YouTube. Terlepas kebenaran dari gambar atau adegan para pelaku, semua ini merusak dan menjungkirbalikkan tatanan kemanusiaan. Ada sesuatu yang tidak sehat di tengah masyarakat kita sekarang. Mesuji yang baru saja selesai pesta demokrasi pemilihan kepala daerah, ternyata harus menerima tambahan beban baru dengan penampilan adegan yang entah dari mana mengatasnamakan Mesuji, membangun citra negatif untuk kepentingan segelintir orang.
Apa pun alasan dan siapa pelakunya, adalah kebiadaban yang tidak terkira pada dunia yang sudah sangat terbuka seperti ini. Kepemimpinan di daerah tersebut harus berani mengambil peran untuk menjadi peneduh. Jangan hanya butuh kepada rakyat saat pilkada digelar. sementara setelah selesai, mereka dilupakan karena merasa sudah membayar suara.

ANTARA KRUI DAN JAKARTA

Ketika melaksanakan tugas memantau pelaksanaan ujian nasional (UN) di Lampung Barat, penulis merasa kembali ke alam. Kabupaten di Provinsi Lampung yang memiliki pemandangan alam indah dan keramahan penduduk yang santun, mendukung hajatan nasional itu menjadi begitu kondusif.

TERLEBIH wadyabala yang menyertai penulis dari Unila relatif muda-muda dan energik. Akibatnya pekerjaan berat itu menjadi begitu ringan. Guyonan segar sering keluar dari mereka dengan multitafsir dari apa yang disampaikan.
Sumbernya dari beragam pengalaman. Ada yang dari pengalaman pribadi, tidak jarang memplagiasi dari sumber lain. Rata-rata mereka sangat bersemangat dalam menjalankan tugas, tidak jarang tugas yang dilaksanakan melampaui kemampuan rata-rata mereka. Menjadi seru lagi karena keterlibatan Polri dalam hajatan nasional ini menyatu dengan kegiatan pengamanan akademik.
Diskusi dimulai saat jeda malam, ada di antara mereka nyeletuk meminta pandangan penulis terhadap hajatan nasional ini. Dengan berat, hati penulis harus mengatakan secara jujur bahwa hajatan nasional sekali ini gagal secara moral. Mereka semua mendadak sontak diam dan terkesima mendengar pernyataan tadi. Penulis didesak untuk menjelaskan hakikat dari pernyataan tadi.
Secara kuantifikasi penyelenggaraan UN ini berhasil, karena sasaran peserta relatif kecil jumlahnya yang berhalangan tidak bisa mengikuti ujian. Secara kualitas juga semakin baik. Sebab, sajian penyelenggaraan sudah sesuai secara prosedur. Namun, secara moral sebenarnya pelaksanaan UN gagal karena kebijakan untuk melibatkan lembaga lain selain dunia pendidikan. Jelas, itu mencoreng muka penyelenggara pendidikan di negeri ini.

SISA-SISA BERNAMA JOKOWI

Gegap gempita dari Pemilihan Gubernur Daerah Jakarta telah usai. Hasil perhitungan cepat memunculkan sosok baru sebagai pemenang Jokowi alias Joko Widodo, yang asli Solo. Tokoh ini muncul ke permukaan tidak serta merta, tetapi melalui proses panjang yang cukup mengharu-biru sejarah pergulatan anak manusia.

Laju pemilihan itu bagai pertarung elang dan ular. Masing-masing berebut posisi untuk saling mengungguli. Tulisan ini tidak ingin mentamsilkan kedua tokoh pada pengibaratan tadi, tetapi ada pesan moral yang ingin disampaikan dari sekadar pengibaratan.

Masyarakat luas sudah semakin cerdas dalam menilai ketokohan seseorang. Isu primordial murahan yang dihembuskan oleh tokoh tokoh besar berjiwa kerdil, tidak lagi mampu menembus perhitungan rasional para pemilih di Jakarta. Mereka mendobrak kemandegan berpikir yang menyelimuti mitos selama ini.

Tampak jasa K.H. Abdulrahman Wahid dalam menyemai pemikiran kebhinekaan ala Indonesia, hari ini menuai hasilnya. Tokoh penghambat sekaliber seniman tersohor, doktor dari alumnus perguruan tinggi ternama, dan masih banyak lagi yang mengatasnamakan aliran puritan tertentu, tidak mampu membendung gelombang berpikir merdeka atas nama NKRI.

GERBONG KERETA SEPULUH JUTA

Oleh Prof. Dr. Sudjarwo, M.S. (Direktur Pascasarjana Unila)
Membaca media online, saya terkesima karena begitu beraninya seorang pejabat transportasi kereta api menjual gerbong kereta tua yang akan dijadikan bahan museum. Itu pun dengan harga yang tidak terlalu fantastis. Gerbong tua dengan harga Rp10 juta dengan cara mengambil dari Depo Jebres, Solo, tentunya memerlukan keberanian tersendiri.
ADA dua keberanian paling tidak yang harus dipersiapkan oleh pelaku. Pertama, keberanian membongkar secara terang-terangan gerbong kereta yang teronggok dengan memakan waktu yang cukup lama. Jika ini dilakukan oleh pencurian biasa, tidak mungkin sebab memerlukan durasi kegiatan yang cukup panjang. Kedua, tidak mungkin dilakukan sendiri, paling tidak mengupah tukang bongkar minimal tiga orang. Tentu pekerjaan begini menjadi riskan.
Berarti pekerjaan ini dapat dilakukan karena memenuhi unsur, ada kesempatan yang luas, ada kekuasaan yang kuat untuk mencengkeram sehingga dapat melakukan dengan melibatkan sistem, karena melibatkan banyak orang. Berikut ada pengawasan yang longgar untuk dapat melakukan apa saja sehingga gerbong kereta pun dapat dipereteli untuk dijual.

Sabtu, 22 Desember 2012

HERIWARDOYO


Hari senin tanggal tujuh belas Desember tahun ini menjadi awal babak baru dari seorang jurnalis masuk kedunia baru, dunia birokrasi, dia bernama Heriwardoyo. Wartawan kawakan dari Surat Kabar ternama di Provinsi Lampung ini mengakhiri “masa kemerdekaannya” sebagai seorang jurnalis. Sikap egaliter yang selama ini menjadi penanda bagi seorang Heriwardoyo, harus masuk kedunia protokoler seorang Wakil Bupati yang banyak ”remeh temeh” nya.
Heriwardoyo ( selanjutnya di tulis HW) pada tulisan ini diposisikan pada perspektif lain, dan dilihat dari pihak lain dengan sudut pandang lain. HW sejatinya bukan hanya seorang jurnalis saja, akan tetapi juga seorang mediatoris. Banyak persoalan persoalan kesenjangan, kebuntuan yang ditangani HW menjadi mencair dan memiliki jalan keluar. Satu hal yang HW selalu ketengahkan adalah bagaimana mencari jalan terbaik dengan sama sama menguntungkan (Win Win Solution).
HW juga seorang moderator yang handal. Banyak pencalonan kepala daerah yang pada saat menggelar debat atau pencapaian visi misi, HW diperankan sebagai moderator. Tetapi HW juga kadang berperan sebagai moderator nakal. Pengertian di sini ialah HW sering memojokkan calon yang memang tidak siap, bahkan cenderung “dibunuh” sekalian oleh HW. Pada waktu diluar forum beliau berkomentar calon itu “payah”, itu kata kata khas dari HW. Pada waktu acara digelar HW sering melempar pertanyaan “bola panas” kepada calon, terutama calon petahana. Hal ini menurut pandangan HW perlu, karena jika petahana mampu memanfaatkan momentum ini, maka dia akan unggul dari calon lain, sebaliknya jika tidak mampu memanfaatkan momentum ini, maka petahana akan masuk lubang perangkap HW.

TRANSFORMASI NILAI NILAI BUDAYA TRANSMIGRAN SEBAGAI ALAT PEMERSATU BANGSA


PENDAHULUAN
Program transmigrasi  yang dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 1950 an, adalah bukan kelanjutan program Kolonisasi dari Belanda sebagai penjajah, walaupun untuk beberapa hal memiliki hasil akhir yang sama.  Dalam lintasan sejarah makna awal program ini, yang semula bernama kolonisasi, sudah berubah, baik batasan operasionalnya, maupun batasan konseptualnya. Sebagai contoh kecil, dahulu perpindahan penduduk hanya dimaknai dari jawa keluar jawa, sekarang bisa antar pulau di luar Jawa. Ini dapat kita simak perpindahan dari Provinsi Lampung Ke Provinsi Kalimantan Barat (Lampost, Oktober 2012).
Ada esensi dasar yang tidak berubah dari perjalan konsep itu ialah perpindahan manusia. Perpindahan ini memiliki dampak internal dan eksternal. Dampak internal adalah perpindahan manusia sebagai pelaku budaya, juga akan mempengaruhi terhadap budaya yang disandangnya. Pengaruh ini bisa jadi berbentuk asimilasi, akulturasi atau integrasi yang semua itu tergantung kepada komponen pendukung variabel. Dampak eksternalnya adalah terjadinya pertukaran budaya, baik fisik maupun sosial. Jika berkaitan dengan fisik, maka lebih berorientasi pada produk budaya.

MEMAHAMI KONFLIK LAMPUNG DARI SISI LAIN


Pendahuluan
Berdasarkan hasil rekam jejak sejarah yang ada, ternyata di Provinsi Lampung sejak secara resmi program kolonisasi dikenalkan pada tahun 1905, belum pernah ada kejadian konflik seperti halnya peristiwa Oktober 2012. Peritiwa yang ada hanya bersifat individual, tidak sampai menyulut melibatkan banyak orang. Peristiwa itu sendiri dapat diselesaikan dengan kerangka adat yang memang ada ruang yang disediakan oleh para pemangku adat lampung.
 Kerangka dasar kolonisasi yang dikembangkan Belanda di Lampung, di samping alasan demografis, juga alasan ekonomis. Sedangkan aspek politis pertimbangannya sangat kental dengan pendekatan pecah belah. Hal ini dapat dilihat dari dibuatkannya pemukiman para kolonis jauh dari perkampungan warga lokal. Aspek “dia” dan “kita” tampak sekali ditumbuhkembangkan dengan membedakan akan fasilitas yang diberikan. Ironisnya kebijakkan ini di awal konsep transmigrasi masih berlanjut, akibatnya laju pertumbuhan ekonomi antar keduanya menjadi berbeda tajam. 
Kedua kondisi di atas paling tidak telah memberikan kontribusi pada “cacat sejarah” bagi daerah ek kolonisasi, yang kemudian berubah menjadi tansmigrasi. Jika kelak penanganannya salah urus, maka cacat sejarah tadi menjadi sumbangan sosial untuk terjadinya konflik sosial.
Pada awal tahun 2000 dikenalkannya konsep otonomi daerah, membawa konsekwensi pada menguatnya kebijakkan daerah. Dengan segala macam keberhasilan yang diraih, ternyata  juga diikuti dengan perkembangan yang tidak diinginkan, yaitu munculnya politik local yang menyempit. Jika politik local ini bernuansa untuk memperjuangan daerah agar sama makmurnya dengan daerah lain, itu adalah suatu keharusan. Akan tetapi jika perkembangan ini mengarah pada pembagian kekuasaan (dan akses politik) pada kelompok tertentu, atau subetnik tertentu, maka kegagalan otonomi akan kita dapat. Tampaknya di Lampung secara tersurat hal ini belum ada, tetapi jika dirasa dengan indra perasa yang halus, maka suasana itu secara tersamar mulai ada.

SELAMAT PAGI PAK WALIKOTA

Pada hari ini beberapa waktu lalu dikumandangkan bahwa mulai tahun ini (2008) buku pelajaran wajib Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama, akan digratiskan. Berita ini mengingatkan saya akan tulisan yang pernah dimuat di koran ini pada waktu awal beliau memangku jabatan sebagai Walikota. Saya telah mengkritisi program walikota terpilih pada saat itu. 

Program utama beliau adalah Pendidikan dan Kesehatan menjadi program utama. Dari awal saya sudah mengatakan pendidikan itu mahal, kesehatan juga mahal. Untuk pandai dan sehat memang mahal. Persoalannya adalah siapa yang akan menanggung kemahalan itu. Selama ini rakyat sebagai pemanggul utama sudah merasa lelah tak berdaya jika berhadapan dengan namanya pendidikan dan kesehatan. Langkah walikota yang menggeser kepala sekolah yang memungut biaya pendaftaran, kemudian diikuti dengan menggratiskan biaya buku pelajaran, adalah langkah besar yang harus mendapat apresiasi dan kita dukung bersama. Hanya masih ada persoalan yang perlu diselesaikan oleh pihak dinas teknis terkait untuk mensukseskan program tersebut, sehingga wali kota tidak terbebani pemikirannya seperti masalah SMAN 17 yang berlarut-larut.

Pihak dinas harus segera menggambil langkah teknis guna menyambut program mulia walikota, bukan sebaliknya kebingungan mengambil langkah apa yang akan diperbuat. Ciri kebingungan dan kebimbangan dari pihak dinas apapun semakin tampak jika walikota mempunyai program regulasi yang harus ditangani secara cepat. Akhirnya tidak dapat tuntas selalu meninggalkan residu. Contoh nyata penertiban Bambu Kuning yang tidak disertai tindakan pemulihan dan pemeliharaan oleh dinas tatakota. Akibatnya penanganan persoalan menjadi menggantung dan cenderung terkatung katung.

Membebaskan buku pelajaran adalah hal mulia bagi saudara-saudara kita yang hidupnya kurang beruntung. Akan tetapi juga perlu pengawasan di lapangan yang cukup ketat oleh pihak aparat kepengawasan. Celah kecurangan harus segera ditutup dengan aturan rugulasi yang tegas dan jelas. Sehingga pembebasan buku akan bermakna bagi rakyat yang membutuhkan. Jangan sampai terjadi beban pembelian buku hilang, tetapi beban baru muncul yang lebih berat dari buku.