Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Sabtu, 22 Desember 2012

TRANSFORMASI NILAI NILAI BUDAYA TRANSMIGRAN SEBAGAI ALAT PEMERSATU BANGSA


PENDAHULUAN
Program transmigrasi  yang dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 1950 an, adalah bukan kelanjutan program Kolonisasi dari Belanda sebagai penjajah, walaupun untuk beberapa hal memiliki hasil akhir yang sama.  Dalam lintasan sejarah makna awal program ini, yang semula bernama kolonisasi, sudah berubah, baik batasan operasionalnya, maupun batasan konseptualnya. Sebagai contoh kecil, dahulu perpindahan penduduk hanya dimaknai dari jawa keluar jawa, sekarang bisa antar pulau di luar Jawa. Ini dapat kita simak perpindahan dari Provinsi Lampung Ke Provinsi Kalimantan Barat (Lampost, Oktober 2012).
Ada esensi dasar yang tidak berubah dari perjalan konsep itu ialah perpindahan manusia. Perpindahan ini memiliki dampak internal dan eksternal. Dampak internal adalah perpindahan manusia sebagai pelaku budaya, juga akan mempengaruhi terhadap budaya yang disandangnya. Pengaruh ini bisa jadi berbentuk asimilasi, akulturasi atau integrasi yang semua itu tergantung kepada komponen pendukung variabel. Dampak eksternalnya adalah terjadinya pertukaran budaya, baik fisik maupun sosial. Jika berkaitan dengan fisik, maka lebih berorientasi pada produk budaya.
Pertemuan antarmanusia yang kemudian dirajut dengan interaksi sosial antarmereka, berakibat pada terbentuknya medan interaksi sosial yang oleh Parson disebut sebagai medan feducary   (lih: Sudjarwo, 1979). Medan interaksi sosial inilah merupakan lapangan abstrak tempat berlangsungnya hubungan sosial, yang memunculkan kaidah kaidah hubungan sosial. Kaidah kaidah tersebut memunculkan nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh semua pelaku sosial yang sedang melakukan interaksi sosial.
Peran nilai nilai yang berkembang ini sangat tergantung kepada pelaku interaksi sebagai pendukung. Nilai nilai bisa melebar membentuk medan asimilasi, akulturasi atau integrasi. Namun dapat menyempit menjadi memisahkan diri atau mengeliminasi (inklusif), dan cenderung tertutup, bahkan bisa menjadi penyulut munculnya konflik sosial.
Hal  di atas menjadi begitu kentara jika pelaku interaksi berasal dari latar belakang yang berbeda. Perbedaan itu bisa entitas individual, atau entitas budaya. Entitas individual berupa perbedaan jenis kelamin, kemampuan intelektual, atau hal lain yang melekat sebagai ciri individual. Sedangkan entitas budaya berupa perbedaan etnik atau sub etnik dari pelaku interaksi, yang juga pelaku pendukung budaya.
Keadaan tersebut dapat dilihat pada daerah pemukiman bentukan seperti daerah transmigrasi yang penduduknya didatangkan dari beragam latarbelakang, kemudian menempati suatu daerah pemukiman tertentu.  Pemindahan fisik serupa ini menimbulkan bentukan interaksi baru bagi para penduduknya, yang juga sebagai pendukung budaya.  Seiring perjalanan waktu maka makna dari transmigrasi sudah bergeser sebagai berikut :
  1. Mendukung ketahanan pangan dan penyediaan papan
  2. Mendukung kebijakan energi alternatip (bio-fuel)
  3. Mendukung pemerataan investasi ke seluruh wilayah Indonesia
  4. Mendukung ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan
  5. Menyumbang bagi penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan (Transmigrasi: wikimedia, diunduh 1 Oktober 2012)

Nilai Budaya
Konsep tentang nilai budaya adalah sangat luas sekali, bahkan boleh dikatakan banyaknya konsep nilai budaya sebanyak ahli budaya itu, bahkan lebih ekstrim lagi sebanyak pendukung budaya itu sendiri. Membicarakan nilai budaya kita tidak dapat sertamerta begitu saja tanpa memperhatikan pengertian budaya. Dalam tulisan ini, konsep budaya dipahami sebagai konsep yang didefinisikan oleh Koentjaraningrat (1981: 180) yaitu “Keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. Kemudian maknawinya diperluas dengan hasil cipta dan karsa manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari hari.
Nilai budaya (cultural value) yang merupakan suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai tinggi dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat (Junus Melalatoa, 2005).Nilai budaya yang dimiliki satu masyarakat dapat terdiri dari beberapa kategori nilai, yaitu nilai pengetahuan, nilai religi, nilai sosial, nilai seni, dan nilai ekonomi. Dalam kategori nilai sosial ada sejumlah nilai, misalnya nilai tertib, setia kawan, harga diri, tolong-menolong, rukun, kompetitif, disiplin, dan sebagainya. Nilai disiplin juga merupakan unsur nilai religi, di samping takwa, iman, yang menjadi unsur nilai seni di samping indah, melankolis, halus, riang, dinamis, kreatif, dan lain-lain. Dengan kata lain, sebuah atau beberapa nilai tersebar sebagai unsur dalam kategori nilai-nilai: pengetahuan, religi, sosial, seni, dan ekonomi. Keseluruhan nilai-nilai itu terkait satu dengan yang lain, sehingga merupakan satu sistem nilai budaya (cultural value system). (Wawan-Junaidi, diunduh 1 oktober 2012).
Pada tulisan ini lebih menekankan pada nilai sosial yang cakupannya meliputi: tertib, setia kawan, harga diri, tolong menolong, rukun, kompetitif, disiplin, dsbnya. Merupakan inti pokok dari konsep nilai sosial yang ada dalam tata pergaulan kehidupan sehari hari. Di samping itu hal ini merupakan sikap sosial untuk menuju kepada kesuksesan dalam berkarya. Konsep ini juga yang mendorong keberhasilan warga transmigrasi untuk mencapai kesuksesan.   
Kolonisasi, Transmigrasi dan Pandangan Hidup
Definisi konseptual Kolonisasi, Transmigrasi, bahkan migrasi adalah sangat berbeda. Namun  esensial masalahnya adalah sama, yaitu membahas perpindahan penduduk. Konsep kolonisasi yang dikembangkan Penjajahan Belanda pada tahun 1905, dengan uji coba memindahkan penduduk dari Bagelen ke Gedung Tataan, itu adalah pemindahan yang diformalkan oleh Pemerintahan Belanda. Sebelum sengaja diformalkan sebenarnya perpindahan penduduk dengan pola migrasi sudah terjadi jauh sebelum itu. Hanya saja perpindahan itu bersifat sangat individual, dengan motif individual juga. Beberapa hasil penelitian menemukan perpindahan penduduk pulau Jawa ke Sumatra, atau dari satu daerah ke daerah lain dalam wilayah pulau atau antarpulau, sudah terjadi sebelum tahun 1905. Kebanyakan dari mereka adalah karena alasan ekonomi, politik lokal, harga diri, atau sebab sebab lain yang bersifat individual.
Pada masyarakat Jawa ada pemeo yang mengatakan bahwa seseorang itu meninggalkan kampung halamannya memiliki salah satu sebab, yaitu kalau tidak ‘kurang’, atau karena “wirang.” Kurang diartikan sebagai karena persoalan ekonomi; dengan kata lain seseorang meninggalkakan kampung halamannya karena kekurangan sandang, pangan dan papan. Sedangkan wirang, lebih diartikan kepada harga diri. Dalam pengertian luas wirang ini bisa karena perbuatan yang menurunkan martabat. Adapun bentuk perbuatannya dapat beragam, sesuai dengan tataaturan sosial disuatu tempat.  
Walaupun sebenarnya dorongan perpindahan seperti itu juga ada pada etnik lain tetapi tidak sesempit itu. Sebagai contoh pada masyarakat Bugis pergi merantau adalah konsep harga diri. Salatang (1980) mengatakan bahwa jika ada pemuda Bugis yang tidak pernah meninggalkan desanya untuk pergi merantau, pemuda tadi dikatakan sebagai penakut.
Demikian juga pada waktu pencalonan Pasirah sebagai pimpinan Marga di Sumatra Selatan, jika ada calon yang kalah, mereka akan meninggalkan desa bersama keluarganya untuk membuka wilayah pemukiman baru, sehingga mereka mampu menegakkan harga diri lagi dengan menjadi Pimpinan kelompok di dalam masyarakat baru tadi. (Madrie, 1981).
Berarti setiap perpindahan penduduk dari satu tempat ketempat lain, jika ada diantara mereka yang sukses atau berhasil, baik secara sosial maupun ekonomi, berarti di sana ada nilai nilai yang mendorong capaian tadi sebagai motor penggerak, baik secara individual maupun kelompok. Dorongan mencapai keberhasilan ini merupakan motor penggerak yang dapat bermanfaat bagi individu maupun kelompoknya. Walaupun ada sisi negatif lain yang berpotensi menjadi konflik yaitu, kesuksesan secara ekonomi akibat bekerja keras ini dapat membuahkan juga ketidakberterimaan dari warga yang kurang beruntung. 
Wujud memformalkan perpindahan penduduk oleh Belanda melalui program kolonisasi diawal tahun 1905, diduga adalah upaya pertimbangan ekonomi guna penyediaan tenaga kerja perkebunan murah yang akan dibuka oleh Belanda di luar Pulau Jawa. Tenaga dari Jawa dikenal ulet, penurut, dan mudah dikendalikan. Di samping alasan rasional lain yaitu pengendalian jumlah penduduk Pulau Jawa.
Konflik dan Integrasi
Berbicara masalah integrasi berarti juga berbicara masalah konflik, karena konflik dan integrasi itu memiliki peluang yang sama kejadiannya dalam masyarakat (Simmel, dalam Soerjono Soekamto, 1986). Hal ini dipertegas oleh Parsons (1964) bahwa terjadinya interaksi di dalam masyarakat karena adanya medan feducary sebagai jendela dan kesepakatan atau nilai nilai umum merupakan perekat di dalam  interaksi sosial yang dikembangkan.
Adanya perubahan kondisi sosial, ekonomi dan variabel lain yang mengintervensi masyarakat, hal inilah yang akan mempengaruhi konsensus normatif yang telah mereka lakukan. Atas dasar itu diperlukan suatu nilai dasar yang dimiliki atau diakui kehadirannya oleh semua suku bangsa sebagai bagian dari kemajemukan, nilai inilah disebut nilai integratif (Sudjarwo, 1997).   Tanpa adanya suatu nilai integratif yang dipercaya atau diterima keberadaannya oleh seluruh unsur lapisan masyarakat, maka masyarakat tersebut tidak akan pernah bebas dari konflik emsternal dan internal.
Nilai integratif dari masing masing suku bangsa di daerah transmigrasi ditemukan sebagai berikut (Sudjarwo, 1997) :
1.Responden Jawa
Nepakke awake dewe : terjemahan bebasnya, mengukur dengan badan sendiri (Tepo seliro)
Isin                              : terjemahan bebasnya, malu dalam arti harga diri



2.Responden Bali
Salulung-sabayantaka : terjemahan bebasnya, selalu bersama, walaupun dalam keadaan susah
                                       Maupun senang
Paras-Poros : terjemahan bebasnya, sikap tenggang rasa dalam bermasyarakat
Matulung : terjemahan bebasnya, memberikan bantuan kepada orang susah
Ngarombo : terjemahan bebasnya, memberikan bantuan kepada orang yang tidak mampu.

3.Responden Bugis
Jika ingin sukses dalam bergaul, terutama diperantauan ada tiga hal yang harus dijaga:
Cappak lilamu : terjemahan bebasnya, jaga ujung lidahmu
Cappak kawalimu : terjemahan bebasnya, jaga ujung senjatamu
Cappak parewamu : terjemahan bebasnya, jaga ujung kemaluanmu

4.Responden Lampung
Nemu nyimah : terjemahan bebasnya, suka memberi, baik mereka yang dalam kesulitan
                          maupun tidak.
Nengah Nyappur: terjemahan bebasnya, suka bergaul dan bermusyawarah
Sakai sembayan: terjemahan bebasnya, suka menolong dan bergotong royong

5.Responden Semendo/Ogan
Seganti Setungguan: terjemahan bebasnya, saling menyayangi dan menghormati


6.Responden Sunda
Batur salembur: terjemahan bebasnya, menganggap orang lain sebagai teman sekampung
Rempuk cukung balarea, pindah caik pindah tampian: terjemahan bebasnya, harus mampu
                            menyesuaikan diri.
Nilai nilai integrasi yang melekat pada tata nilai kehidupan pada masing masing sub etnik ini menunjukkan bahwa disetiap sub etnik memiliki potensi untuk saling membuka diri, dan mengembangkan pola interaksi bersama.
Nilai perekat seperti ini menunjukkan bahwa jika ada yang terusik dari perekat tadi, maka akan terjadi konflik diantara mereka. Kasus kasus konflik sosial yang selama ini muncul didaerah transmigrasi, atau pemukiman baru lainnya, diduga karena medan feducary yang selama ini terbangun mengalami ‘pengecilan” area, atau hilang sama sekali. Kondisi ini membuat rapuhnya interaksi sosial yang dibangun, akibat lanjut jika terjadi pemicu untuk terjadinya konflik, maka kondisi itu memungkinkan terjadinya ‘ledakan sosial”.
Hal lain yang dapat merusak medan fiducary ini ialah frustrasi sosial. Kondisi ini muncul karena para pelaku sosial tidak mendapatkan perlakuan yang adil, atau merasa didzolimi oleh pihak lain, atau ada variabel lain. Kondisi ini yang memungkinkan muculnya “amok” dalam masyarakat.  
 Dulu dan Sekarang
Seiring perjalanan waktu ternyata telah terjadi perubahan yang mendasar dari pola interaksi yang ada. Akhir akhir ini di daerah pemukiman eks transmigrasi sering muncul gejolak sosial, termasuk di Kabupaten Lampung Selatan. Daerah yang semula aman damai menjadi daerah yang bergolak. Seakan akan integrasi yang selama ini terbangun menjadi terbelah. Para elite menyebut sebagai konflik horizontal.
Untuk mengurai hal ini tidaklah mudah, karena ada sejumlah variabel yang diduga memberi kontribusi terhadap berlakunya peristiwa ini. Untuk masing-masing daerah ternyata berbeda dalam hal variabel utamanya; namun demikian ada kesamaan mendasar yang mungkin dapat dijadikan bahan dasar kajian.
Pertama, ada semacam situasi frustrasi sosial pada masyarakat yang diakibatkan dari rasa ditinggal sendiri oleh pemimpin. Masyarakat merasa dibutuhkan oleh pemimpin hanya saat Pemilu atau Pemilu Kada, setelah hajat itu mereka merasa tidak ada pemimpin yang mau peduli dengan mereka. Akibat frustrasi sosiaal ini mereka berbuat apa saja yang mereka yakini benar. Masyarakat haus akan pemimpin yang mau mendampingi mereka kapanpun, dan dalam peristiwa apapun. Konsep mendampingi ini sering berbeda makna antara pemimpin dengan rakyat. Pemimpin merasa mereka tidak perlu hadir secara fisik, cukup diwakili oleh aparat terkait atau program program kepemerintahan. Sedangkan rakyat mempersepsikan kehadiran pemimpin itu adalah secara fisik datang menjumpai mereka, mendengar apa yang mereka katakan, dan melihat apa yang telah mereka perbuat.
Kedua, adanya semacam kehatihatian yang begitu berlebihan dari aparat keamanan karena khawatir melanggar Hak Azazi Manusia. Aparat keamanan tingkat lapangan sering dihadapkan pada pilihan pilihan sulit, yaitu antara bertindak cepat, keselamatan diri, dan dengan pelanggaran akan hak hak azazi. Pilihan sulit ini cenderung mereka berbuat untuk tidak berbuat jika itu nantinya akan membuahkan pelanggaran. Sekilas tampak seperti pembiaran, namun sebenarnya adalah kehatihatian yang sangat berlebihan. Akibat lain juga aparat kurang peka terhadap gejala gejala awal. Dengan berlindung pada dalih “belum ada laporan masuk”, akibatnya suatu peristiwa sosial menjadi besar tanpa bisa dikendalikan; karena hanya mengandalkan pendekatan formal.
Ketiga, perdamaian yang tidak membuat damai. Maksudnya ialah masyarakat menilai aparat penyelenggara negara hanya berperan sebagai pemadam kebakaran; yaitu dengan ingin segera meredam persoalan dengan cara damai yang instan. Setelah perdamaian terwujud, tidak lanjut yang ada hanya sebatas perbaikan fisik; sedangkan perbaikan sosial, dengan therapy sosial; sangat jarang dilakukan. Membangun jejaring sosial setelah pascakonflik adalah pekerjaan jangka panjang yang sering tidak diprogram secara baik. Hal ini kebanyakan diserahkan oleh pemerintah kepada tokoh tokoh informal masyarakat sendiri dalam mencari bentuk. Tidak ada tindak lanjut yang dibuat bersama dan dikerjakan bersama secara berkesinambungan antara kelompok yang sedang berselisih dengan pemerintah. Demikian juga bentuk perdamaian kebanyakan dilakukan selesai begitu saja setelah acara serimonial selesai. Bentuk perdamaianpun hanya ada pada batas atas saja, dalam arti tidak tersebarluaskan kepada seluruh lapisan masyarakat, akibat lanjut masyarakat akar rumput merasa menjadi penonton, padahal mereka sering menjadi sasaran utama jika terjadi hal hal yang tidak diinginkan.
Keempat, adanya kecenderungan untuk mempolitisasi dari suatu peristiwa. Walaupun ini bukan hal baru; tetapi pada akhir akhir ini kondisi tersebut kelihatan dilakukan secara terbuka. Kalau ini dilakukan oleh para elite maka rakyat akan menjadi obyek yang tentunya amat merugikan, karena ketenteraman akan makin menjauh. Tidak ada upaya mengembangkan issue positif dari para pelaku politik lokal, yang mereka lakukan diam jika tidak menguntungkan, dan akan berteriak kencang jika ada sesuatu yang dapat diambil manfaat secara politis.
Modal dasar sosial yang ada selama ini bisa rusak karena hal hal di atas; oleh sebab itu penanganan segera, dan kearifan pemimpin untuk selalu bersama rakyat, adalah dua hal yang tidak dapat dihindari dan amat mendesak untuk dilakukan demi terwujudnya integrasi bangsa.       
Kesimpulan
Pertama, ada sejumlah variabel yang harus diwaspadai dalam membentuk nilai nilai integrasi pada masyarakat transmigrasi, untuk itu para pengambil kebijakkan harus mampu melihat variabel dominan ini secara hati-hati, karena variabel ini dimasing-masing daerah berbeda. Ketidak mampuan mengenali variabel kontributif, akan membuat terjebak pada penafsiran dari dinamika sosial kepada gejolak sosial.
Kedua, untuk memahami masyarakat transmigrasi harus dilihat dari dua segi utama yaitu konflik dan integrasi, karena kedua hal tersebut bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Persoalan yang muncul ialah bagaimana mengendalikan integrasi yang sudah ada tidak berubah menjadi konflik yang berpotensi berkembang menjadi kerusuhan sosial.















DAFTAR PUSTAKA
Lampung Post. Oktober 2012
Madrie, (1981), Seganti Setungguan, Lembaga Penelitian Unila (tidak diterbitkan)
Salatang (1980), Budaya Merantau. PLPIIS UNHAS (tidak diterbitkan)
Simmel, Georg. (Terj. Soerjono Soekamto). 1986. Beberapa Teori Sosiologi. Jakarta. Rajawali Press.
Sudjarwo. 1997. Pola Interaksi Sosial Masyarakat Majemuk DalamTiga Jalur Hubungan Sosial (Keluarga, Pekerjaan, dan Ekonomi) Untuk mencapai Integrasi Bangsa (Kasus di Perwakilan Kec. Ketapang Kab Lampung Selatan. Provinsi Lampung. Disertasi. Bandung. UNPAD.
Parsons, Talcott, Et all. 1964. The Social System. New York: The Free Press.
Koentjaraningrat, 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Jakarta: Universitas Indonesia.
Transmigrasi: wikimedia, diunduh 1 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar