Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Sabtu, 05 Januari 2013

WARISAN BERUBAH MENJADI KUTUKAN


Sahdan suatu peristiwa, satu keluarga besar memiliki kekayaan berupa tanah yang cukup luas. Keluarga ini tampak bahagia karena memiliki tempat peternakan, perkebunan, sekaligus persawahan sendiri. Semua kebutuhan hidup dapat mereka penuhi sendiri. Wal hasil keluarga petani cultivation sekaligus substitution ini hidup sejahtera. Pada saat generasi satu masih tampak gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwa tinandur, kata istilah pedalangan, untuk keluarga ini.
Keluarga ini di samping memiliki kekayaan lahan, tetapi juga memiliki anak yang cukup banyak, karena lambang keberhasilan keluarga pada waktu itu juga ditentukan antara lain oleh banyaknya anak. Mereka menjadi anak-anak yang cerdas, tetapi karena pendidikan belum menjadi idola dan investasi masa depan, maka tingkat pedidikan merekapun tidak begitu tinggi. Akhirnya rata-rata mereka menikah di usia muda.

Berkah yang ada selama ini menjadi bencana begitu orang tua mereka meninggal dunia. Harta melimpah mereka bagi bagi dengan cara mereka. Gusti Alloh telah memberi contoh pada generasi sebelumnya bagimana pengelolaan harta waris bisa menjadi bencana, ternyata pada keluarga ini berulang. Tidak satu centimeterpun tanah luas tersisa. Semua mereka jual baik dengan cara baik-baik maupun cara licik. Sisa sosial lainnya ialah diantara mereka menjadi saling bermusuhan, bahkan dendam kesumat terbentuk, karena merasa tidak mendapatkan hak sebagaimana menurut persepsinya. Jadilah untuk keluarga ini Warisan berubah menjadi Kutukan.

SELAMAT JALAN RAMADHAN

Seiring berjalannya waktu Bulan Suci Ramadhan berakhir, muncul 1 Syawal sebagai penanda datangnya bulan baru, lembaran baru, dan kehidupan baru yang fitri. Menjelang berakhirnya Ramadhan pada umumnya orang menjadi sangat sibuk, kecuali bagi mereka yang melaksanakan Saum, atau puasa. Bagi yang melaksanakan puasa justru menuju titik akhir  dari permulaan titik kesedihan yang mendalam. Karena momentum ini menyisakan pertanyaan “Apakah kita masih diberi kesempatan oleh NYA untuk menemui bulan suci serupa ini ditahun yang akan datang ?”. Jangan jangan bulan ini adalah bulan suci terakhir yang dihadiahkan kepada kita, karena tahun depan bulan itu sudah untuk orang lain yang menerima giliran, sementara kita sudah harus kembali kepangkalan, karena habis masa edarnya.

RUMAH TEMPAT KEMBALI


Pada saat menjelang subuh di awal bulan Juli tahun ini, terjadi peristiwa luar biasa bagi penulis, yaitu mengantarkan kepergian untuk selamanya orang yang sudah tiga puluh empat tahun lebih mendampingi perjalanan hidup. Kenangan peristiwa masa lalu itu muncul bagai putaran kembali compact disc kehidupan. Satu demi satu bagai arakan awan melintas dihamparan kenangan, Ternyata waktu dunia yang panjang itu jika direkam dalam CD kehidupan menjadi begitu singkat dan sangat pendek sekali. Namun ada satu tujuan pasti yaitu “kembali”. Saat itu kesadaran manusiawi tumbuh yang terkasih tadi bukan pergi, akan tetapi kembali, kembali menuju rumah keabadian, rumah dia, saya, anda, dan kita semua.

RAJA – RAJA KECIL


Sudah menjadi rutinitas setiap pagi sebelum jam delapan saya sudah berangkat ke kantor; sampai di lantai dasar harus berjuang naik ke lantai empat dengan delapan puluh tujuh anak tangga. Hal ini dilakukan karena lift belum hidub. Alasan “Raja Lift” itu belum jam kantor walaupun sudah jam delapan, salahnya sendiri datang ke kantor terlalu pagi. Demikian juga waktu pulang lif sudah mati. Waktu di tanya, jawabnya paling jitu, mengapa pulang dari kantor kok sore-sore.
Demikian juga pada waktu sabtu ngantor, ternyata air tidak ada. Waktu ditanya jawab “ Raja Air “ standar,  kan hari kerja sampai jum”at, jadi salah sendiri kenapa sabtu ngantor. Demikian juga waktu ada acara listrik byar pet alias mati hidup. Pada waktu di tanya jawabannya “Raja Listrik”  juga standar beli solar dong buat serep, kalau gak kepakai kan bisa saya jual.
Ternyata dalam satu kantor saja raja raja kecil ini banyak sekali, dari Tukang Lift, Tukang Air, Tukang Kunci/Penjaga Gedung, Tukang Jaga Malam, dan masih banyak lagi. Mereka dengan “kekuasaannya” bisa membuat repot “Raja Besar” alias Pimpinan.  Apalagi jika pimpinan kurang begitu suka turun ke bawah secara berjenjang melihat apakah instruksinya berjalan atau tidak. Raja raja kecil ini sangat berkuasa, bahkan tidak jarang melampaui kewenangannya, sehingga menjadi otoriter dan “sak enak e dewe”.

POLISI JUGA MANUSIA


Membaca Nuansa yang ditulis oleh salah seorang wartawan harian ini berkaitan dengan seorang tokoh Polisi, saya menjadi tergerak untuk mulai menulis lagi di harian ini. Saya terperangah ada seorang jurnalis yang masih melihat profesi lain dari sudut pandang nuansa kemanusiaan, dan ini jarang terjadi, bahkan menjadi langka. Kebanyakan dari kita melihat orang lain dari sudut pandang kepentingan diri, bukan apa yang dirasakan orang lain jika mendapatkan perlakuan dari orang lain. Bahkan cenderung penglihatan itu bersifat hitam putih.
Pada konteks ini profesi polisi yang sedang menjadi topik pembicaraan kita seantero Indonesia dan menghangat. Dari kasus Mesuji sampai Bima, terlepas dari kebenaran informasi yang ada menjadikan Polisi seolah-olah secara institusional maupun personal menjadi penanggungjawab utama peristiwa itu. Untuk beberapa hal mungkin benar, tetapi untuk banyak hal perlu dipertimbangkan kembali. Mari kita melihat Polisi dari sisi lain, terutama sisi kemanusiaan, karena Polisi juga Manusia.

PERSOALAN BANGSA YANG TERCECER *)


A.Pendahuluan
Menyimak berita akhir-akhir ini, baik cetak maupun elektronik, ada rasa miris dan gundah. Penyebabnya ialah tidak ada lembar atau tampilan yang tidak menampilkan kekerasan. Dari kekerasan yang paling ringan sampai yang paling keras. Pelakunyapun dari yang paling terpelajar sampai dengan yang warga biasa. Penyebab persoalanpun beragam, dari senggolan nonton Orgen Tunggal, sampai perebutan batas desa (Baca: Lampost 15 nov 2011).Memuncak menjadi karena jagonya tidak terpilih dalam proses pemilihan, berubah menjadi amok masa. Akibat yang dilahirkanpun menjadi beragam, dari penusukan sampai pembakaran kampung. Bahkan terakhir pembakaran kantor, yang kita mengetahui semua apa dosanya kantor ikut dibakar, padahal itu benda mati. Persoalan patung menjadikan orang berperilaku bringas.  Perkembangan lanjut dibawa ke arah beragam juga; ada dikotomi asli dengan pendatang, ada juga dikotomi etnis A dengan etnis B, bahkan sub-etnikpun terbawa-bawa. Tidak puas dengan itu muncul pendukung A dan pendukung B. Hirukpikuklah dunia menjadi-jadi karena ada kepentingan politik ikut bermain memanfaatkan situasi.
Sisi lain dengan berlakunya era otonomi seolah ada sekat antara persoalan yang menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Sehingga siapa mengelola apa sering tidak jelas, Ironisnya jika persoalan ekonomi, maka klaim untuk memiliki begitu besar, bahkan cenderung bernafsu, namun sebaliknya jika persoalan musibah atau malapetaka, maka yang terjadi saling lempar tanggungjawab. Terutama persoalan-persoalan sosial yang bersifat kronis dan jangka panjang.

PEMIMPIN KU (bukan) TEMAN KU


Pada saat menunggu keberangkatan di satu Bandara, penulis membunuh waktu dengan membaca semua harian yang ada di meja, diselingi makanan ringan. Sayup sayup terdengar suara tetangga duduk sedang bergunjing bahwa mereka tidak memilih yang pimpinan mereka arahkan, pada waktu pemilihan Pimpinan Daerah. Selidik punya selidik, menyimak dari pembicaraan yang diperbincangkan, ternyata mereka adalah pengurus partai besar di Republik ini. Mereka menggunjingkan bagaimana mereka tidak sepakat dengan pimpinan partai dalam menetapkan calon pilihan. Demi penyelamatan diri pada “kedudukan” di organisasi, mereka seolah mentaati titah pimpinan mereka, walaupun dalam bilik suara mereka melakukan pilihan berbeda dengan apa titah pimpinan. Pilihan itu justru menjadi semacam arus utama massa yang tertuju pada seorang tokoh idola pada jamannya.

PELAJARAN DARI KHADAFI

Mendengar dan melihat tayangan media massa berkaitan dengan nasib Khadafi, hati merasa miris. Betapa mengerikan dan tragisnya seorang Khadafi yang gagah perkasa itu, di kuyo-kuyo oleh bangsanya sendiri saat akhir masa hidupnya. Berbeda seratus delapan puluh derajat jika dibandingkan dengan Khadafi satu bulan lalu yang masih tampak gagah perkasa.
Sebagai warganegara saya tidak berkeinginan mencampuri urusan dalam negeri Lybia, akan tetapi ingin mengambil hikma dari peristiwa tersebut, itupun dilihat dari sudut kecil kehidupan yaitu pendidikan. Memang tampaknya aneh, apa hubungan Khadafi dengan pendidikan. Dua variabel itu secara langsung tidak ada, tetapi melalui sejumlah variabel antara ternyata ada. 
Sesuatu yang patut dicermati, Khadafi tidak suka Barat, tetapi anaknya ada yang keluaran sekolah dari Barat. Awalnya memusuhi Barat, terakhir dekat dengan Barat. Akibatnya dia dihabisi oleh Barat. Sekali lagi saya bukan anti barat, tetapi sekedar analisis untuk pintu masuk kepersoalan inti; yaitu seolah-olah ada sesuatu yang hilang.

MERDEKA ? (Tanda Tanya)


Sebentar lagi kita semua akan merayakan hari kemerdekaan, yang masyarakat awam menyebutnya “Agustusan”. Namun pada tahun ini ada yang luar biasa yaitu dirayakan pada bulan puasa. Tahun Seribu Sembilan Ratus Empat Puluh Lima dulu, tujuh belas agustus juga jatuh di bulan puasa bahkan hari jum’at. Dilihat dari “ngelmu klenik” tanggal itu menjadi sakral banget karena jatuh dihari jumat, dan bulan puasa. Tetapi dari kacamata “ngelmu kasunyatan” itu biasa biasa saja. Tidak ada hari atau waktu yang istimewa, semua sama.
Kita tidak berhenti pada soal waktu, tetapi esensi waktu itu menjadi persoalan penting. Jika kita lihat dari dekatnya waktu Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan dengan Hari Raya Idhul Fitri, ternyata sangat “jumbuh”. Karena yang satu merayakan Hari Kemerdekaan Bangsa dari penjajahan bangsa lain, peristiwa yang satunya adalah hari kemenangan dari penjajahan hawa nafsu.Kedua kado kebebasan keilahian itu jika kita cermati mengandung unsur yang sangat sakral.

MEMBERI DAN MENERIMA


Membaca potongan tulisan di Harian terbitan Ibu Kota yang menampilkan immemorium Prof. Sayogjo, terasa terhenyak sesaat bahkan membuat perenungan kontemplasi yang dalam. Maha Guru Sosiologi Pedesaan yang berpulang beberapa saat lalu, membuka mata hati banyak orang bagaimana memaknai kehidupan ini dengan begitu dalam. Beliau mengajarkan keberimbangan antara konsep memberi dan menerima sehingga menimbulkan keselarasan dalam alam ini. Makna kehidupan menjadi indah karena keberniagaan kita dengan alam akan menimbulkan keselarasan, keserasian; dengan dasar tanpa pamrih, dalam artian jika kita memberi hari ini kita tidak akan berharap  menerima dari pihak yang diberi juga hari ini. Bisa jadi balasan pemberian justru datang dari orang lain, dan juga bukan hari ini. Lebih dahsyat lagi tidak ada hubungan antara memberi hari ini dengan keberterimaan kita pada hari esok. Bisa jadi justru pemberian datang dari yang tidak pernah menerima dari apa yang kita beri.
Tampaknya konsep memberi dan menerima sangat sederhana, dan walaupun dalam kehidupan sehari hari menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Karena makna hakiki sering tertutupi oleh sesuatu yang lumrah. Untuk itu mari kita telusuri sejenak pada alam filsafat ilmu yang melihat segala sesuatu tadi dengan multi dimensi.

LANGIT MEMBIRU


Pada suatu kesempatan acara dinas di Semarang, saya dan sekretaris ditempatkan pada sebuah hotel yang cukup asri. Pada waktu memandang ke luar lewat jendela tampak dari kejauhan tepi pantai Laut Jawa yang membiru. Sosok kenangan masa lampau bergantian muncul bagai adegan film yang mengalir. Kesan ombak yang menggelora memecah pantai begitu membuat mata terkesima. Dari jauh tampak para nelayan mengayuh dayung menuju pantai membawa hasil tangkapan, mereka bersyukur Bahan Bakar Minyak tidak naik, tetapi mereka juga bersedih barang kebutuhan pokok sudah terlanjur naik. Tampak dihitam legam kulit mereka derita itu makin melekat. Mereka hanya bermimpi menjadi kaya, tetapi entah kapan semua terwujud.
Perjuangan yang begitu melelahkan sepanjang hari, bahkan tidak jarang sepanjang hayat harus mereka pikul akibat dari keraguan pemimpin bangsa ini dalam bertindak. Beban berat yang menghimpit ini terus mereka pikul. Mereka hanya menebar harap menuai asa, itulah nasib pada posisi yang ditentukan, bukan menentukan.
Pada kesempatan berbeda saya bertemu seorang Ibu yang tampak bersungut sungut, setelah terjadi dialog beliau ini adalah seorang guru SMA. Beliau mengeluh karena kebijakkan maju mundur dari pemerintah. Semula BBM akan naik, akibatnya semua barang dan jasapun berlomba naik mendahului. Tetapi begitu BBM batal dinaikkan, semua barang dan jasa yang sudah naik tadi tidak turun ke harga semula. Akibatnya guru ini menjadi pusing tujuh keliling bagaimana harus menyiasati hidup.

KADO BUATMU ‘’LAMPOST’’ KU


Tidak terasa bulan Agustus ini Harian Lampost berusia 38 tahun. Kalaulah ini diumpamakan manusia, dia sedang tumbuh dan berkembang dengan pesat. Pada usia ini pemimpin pemimpin kelas dunia menapaki karier puncaknya. Harapan itupun penulis pikulkan kepundak Harian ini. Walaupun itu sangat tergantung juga dengan sistem yang dibangun di dalam tubuh Lampost sendiri.
Pergolakan itu pernah terjadi di dalam Lampost dalam kurun perjalanannya. Lintasan sejarah yang tidak selamanya mulus. Ada satu periode Lampost terkena eksodus para penggiatnya karena alasan tertentu. Ada juga periode yang Lampost tidak disukai petinggi daerah karena dipersepsikan memihak kepada yang berhadap-hadapan dengan petinggi tadi. Namun demikian pernah juga Lampost berpeluk mesra dengan penguasa, sehingga memperoleh fasilitas monopoli untuk penyebaran koran sampai ke desa desa.
Masa bulan madu dan masa bercerai itu begitu singkat dengan penguasa, tetapi dengan publik justru kondisi ini menguntungkan sekali. Sebab jika sedang masa bulan madu, publik akan mendapat informasi yang banyak dan berlimpah. Sementara jika masa bercerai tiba, maka informasi tidak banyak sampai ke publik. Jika ada, tentunya lebih bersifat berat sebelah dan membela diri.

KADO AKHIR TAHUN BUAT KEMANUSIAAN


Dengan ucapan Innalilahiwainailaihi rujiun untuk akhir tahun ini kepada Lampung dan Sumatera Selatan yang telah diberi kado oleh salah satu stasion televisi  dan Youtube dengan menampilkan adegan sadis di dunia maya. Saya sebagai insan akademis merasa malu melihat dan menerima telpon serta pesan singkat dari teman-teman diseantero jagad ini, ingin mengkonfirmasi kebenaran berita dan gambar tadi.
Sebagai orang yang beradab saya merasa hancur lebur perasaan melihat adegan-adegan di youtube. Terlepas kebenaran dari gambar atau adegan dari para pelaku, semua ini merusak dan menjungkirbalikkan tatanan kemanusiaan. Ada sesuatu yang tidak sehat di tengah masyarakat kita sekarang. Mesuji yang baru saja selesai pesta demokrasi pemilihan kepala daerah, ternyata harus menerima tambahan beban baru dengan penampilan adegan yang entah dari mana yang mengatasnamakan Mesuji, membangun citra negatif untuk kepentingan segelintir orang.
Apapun alasan dan siapapun pelakunya, adalah kebiadaban yang tidak terkira pada dunia yang sudah sangat terbuka seperti ini. Kepemimpinan di daerah tersebut harus berani mengambil peran untuk menjadi peneduh. Jangan hanya butuh kepada rakyat saat Pilkada di gelar, sementara setelah selesai mereka dilupakan, karena merasa sudah membayar suara.

CERMIN YANG TERBELAH


Sore itu puasa hari ke tigabelas, penerbangan dari Pontianak baru mendarat. Dengan makanan ringan yang disediakan oleh maskapai penerbangan, saya berbuka puasa. Dengan badan terhuyung karena letih, harus lanjut menuju satu hotel di ibu kota untuk melanjutkan rapat dengan koorporit lainnya. Ditengah jalan saya dikejutkan dengan berita buronan kelas kakap tertangkap di suatu negara yang jauh sekali. Berita itu tidak begitu mengejutkan, justru yang membuat terperangah adalah biaya  carter pesawat seharga empat milyar. Lamunan gila saya mulai muncul berapa banyak cendol disediakan kalau uang sebegitu banyak dibelikan untuk berbuka puasa. Berapa banyak fakir miskin yang dapat kita santuni dengan cendol sebegitu banyak. Atau berapa masjid yang dapat kita beri sumbangan untuk membeli ambal guna digelar pada waktu solat Id.
Cerita lain menjadi lengkap pada waktu melihat berita televisi satu stasiun tertentu yang menayangkan adanya organisasi keagamaan yang sedang menjalani ritual puasa, tega mengobrak abrik kedai makan yang buka di siang hari. Memang kedai itu tidak layak untuk buka, dan harus tutup. Tetapi sebagai agama pembawa kedamaian rasanya memilih cara untuk mengobrak abrik tempat mencari makan rakyat kecil serupa itu rasanya tidak begitu pas. Bahkan umat lain menagkap jangan-jangan itulah tontonan yang benar dari agama tadi. Saya sebagai penganut agama  tadi menjadi prihatin. Apakah tidak ada cara lain yang lebih terhormat dan agamais dalam bertindak, sementara kita sedang berpuasa.
Suguhan itu belum selesai di sana. Pada waktu membaca harian terbitan Ibu Kota, hati menjadi miris, karena ada pasangan suami istri tega gantung diri karena sudah tidak kuat menahan himpitan kemiskinan. Daerah beliau ini tidak begitu jauh dari Ibu Kota Negara. Rasa pilu menyelimuti hati penulis begitu membaca berita sang Bapak dan Ibu sudah berupaya menghidupi keluarganya dengan bekerja apa saja. Akan tetapi keberuntungan belum memihak kepadanya. Akhirnya jalan pintas yang beliau lakukan, walaupun jalan itu menyisakan sejumlah persoalan baru bagi anak-anak yang ditinggalkan.

JAM GILA


Tengah malam buta saya dikejutkan dengan teriakan istri tercinta karena membaca San Dek dari alat komunikasi pribadi yang berisi pesan imaginer. Kami tidak mempersoalkan asal pesan karena kami sudah kebal dengan San Dek But alias Pesan Pendek Buta yang tidak jelas pengirimnya. Justru menjadi persoalan pengirimnya pandai berimajinasi persis apa yang sedang saya kerjakan. Daya imajinasi yang begini ini sekarang banyak tersebar di mana-mana.
Kekacauan sosial di republik ini banyak bermula dari tersebarnya San Dek yang tidak jelas siapa pengirimnya. Sementara penerimanya, karena kondisi pendukung, menjadi cepat percaya dan terpancing emosinya. Kerusuhan yang semula hanya berasal dari perselisihan pribadi menjadi kerusuhan SARA, adalah akibat dari tersebarnya informasi berupa San Dek. Sesuatu fakta dapat berubah menjadi oppini dengan cepat jika penyampaiannya dilakukan melalui San Dek. Sifat San Dek yang berdurasi singkat, menjadikan sesuatu fakta ditafsirkan menjadi beragam.
Pada waktu Peristiwa Sara di daerah ini terjadi beberapa saat yang lalu, kita yang ada di daerah ini belum mendapatkan informasi, ternyata San Dek telah bersebaran di mana-mana. Bahkan ada teman yang ada di Luar Negeri karena membaca acount di web, mereka menanyakan menggunakan San Dek kepada penulis. Akibatnya penulis tidak dapat menjawab dengan benar dan memuaskan.

IDUL FITRI YANG TERSISA


Gegap gempita Idul Fitri, atau yang lebih dikenal dengan “lebaran” makin hari makin menjauh. Makin hari makin sayup seiring berjalannya waktu, melodrama lebaran menuju pada titik keseimbangan sedang terjadi. Dari tahun keabad irama itu berjalan seperti pada pakemnya. Silih berganti hanya berubah yang melakoninya. Pelaku sekarang sepuluh tahun lalu masih kanak-kanak dijepit orang tuanya mengendarai sepeda motor menembus terik panas dan dinginnya hujan menuju satu titik yaitu mudik alias pulang kampung. Ada diantara mereka sampai sekarang yang tetap melakoni ritual itu menggunakan sepeda motor membawa keturunannya, ada juga yang sudah berubah membawa mobil atau otto, sedangkan tidak sedikit yang tidak juga membawa sepeda motor apalagi otto. Dia hanya menjadi penonton ritual itu.
Jantra ini berjalan terus dan terus entah sampai kapan, walau titik puncaknya adalah bersimpuhnya sang anak ditelapak kaki orang tua dalam berucap “mohon maaf lahir batin”. Ratusan kilometer bahkan ribuan kilometer mereka lintasi untuk mencapai puncak bersimpuh dihadapan Ayah terutama Ibu. Pemeo “Surga ditelapak kaki Ibu” atau juga “Ibu adalah Tuhan yang tampak”, merupakan manisfestasi keagungan dari silaturahim antara orang tua dan anak anaknya.

BETARA KALA YANG MENJADI BETARA GURU


Pada suatu acara kegiatan di Bandung, ada seorang teman Guru Besar Muda mencurahkan isi hati mengeluh bagaimana pelaksanaan Pendidikan Latihan Profesi Guru yang sedang berlangsung. Kami guru besar yang sudah tua-tua ini menyimak dengan seksama apa yang terjadi. Kesimpulan sementara ternyata banyak Betara Kala (Raja Raksasa) menjadi Betara Guru (Raja Dewa), dari berwajah mengerikan menjadi wajah yang cekep, teduh dan menyenangkan. Kenapa demikian, ternyata karena “sihir” sertifikasi itu bisa mengubah wajah raksasa menjadi satria.
Dari hikayat mahabrata itu penulis menjadi teringat nasihat sufi dari seorang Guru Mursid dengan bahasa kiasan yang sangat elegan, dikisahkan seorang anak dara menghadap sang Guru, dengan hati gundah dia menceritakan masalah yang dihadapi; anak dara ini memiliki dua teman anak muda. Yang satu berwajah tampan, tetapi kelakuannya kurang begitu baik. Sedangkan yang satu lagi wajahnya hancur, tetapi kelakuannya baik sekali. Masalahnya mana yang akan dipilih menjadi teman hidup. Sang Guru Mursid berkata “wajah yang hancur tidak bisa kau ubah dengan doa (waktu itu belum ada operasi plastik), sedangkan kelakuan yang kurang baik dapat kau upayakan dengan bermohon kepada Tuhan untuk perubahannya”. Hanya batas itu saja wejangan Sang Guru Mursid, anak dara tadi disuruh berfikir sendiri dan memilih sendiri.

ANTARA TAHTA DAN PENJARA


Pada saat pulang bersama dari Serang dengan rombongan ditengah Selat Sunda yang sedang bergejolak, kami rombongan berada di dalam Kapal Penyeberangan Fery Merak menuju Bakhahuni, pimpinan rombongan yang sekaligus Dekan berteriak saat melihat tayangan Televisi di Ruang Utama Penumpang, saat melihat adegan bagaimana seorang pimpinan partai besar di Republik ini tersandung perkara korupsi.
Terlepas dari kebenaran issue itu adalah bukan ranah yang untuk dibicarakan pada tulisan ini, akan tetapi bagaimana tipisnya batas antara Tahta yang diduduki seseorang dengan Penjara disisi lain adalah sesuatu yang menarik untuk di kaji. Kondisi negara yang seperti sekarang ini setiap hari media masa, terlepas dari apa motivasinya, menampilkan suguhan yang berkaitan dengan maraknya para petinggi tersandung masalah sekitar keuangan negara.
Peringatan ini pernah juga digelar pada jagad Wayang Purwa, bagaimana menderitanya para Pendawa yang selama ini menjadi Raja Agung Binatara, berubah menjadi gembel orang buangan di Hutan Dandaka, karena kalah judi.
Ternyata semua tamsil di atas memposisikan diri kita pada perenungan bahwa betapa tidak abadinya dunia ini. Perubahan posisi manusia begitu cepat sekali jika Yang Maha Pencipta menghendaki. Logika-logika nalar manusia tidak dapat menembus semua jantra tadi.

27,5 JAM PERMINGGU -CEMBURU ATAU KELIRU


Membaca dan mendengar keinginan pemerintah untuk menambah jam mengajar bagi guru yang semula duapuluh empat jam perminggu, menjadi duapuluh tujuh setengah jam perminggu, saya sangat terperanjat. Ini suara iri atau buta hati dari pemerintah yang mengangggap pekerjaan mendidik sama dengan buruh atau tukang. Padahal produk hukum yang telah dikeluarkan sendiri oleh pemerintah yaitu pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003, secara tegas menjelaskan bahwa profesi mendidik tidak dapat disamakan dengan profesi lainnya. Profesi ini memeerlukan sejumlah persyaratan yang tidak ringan. Belum lagi ditambah dengan Undang-undang No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, yang lebih mensyaratkan lagi untuk membedakan profesi guru dengan profesi lain.
Pada harian Minggu tanggal 9 Oktober 2011 Koran terbitan Ibu kota mengupas kesesatan berfikir tentang penambahan jam mengajar guru. Dari sisi lain tulisan ini melihat bukan kesesatan berfikir, akan tetapi lebih cenderung pada “iri dengkinya” birokrasi kepada profesi guru, yang memiliki penghasilan melebihi rata-rata pendapatan pegawai negeri biasa. Tidak pernah terbayangkan oleh banyak pihak bagaimana guru menjadi “sapi perahan” birokrasi. Hal ini sulit diungkap karena sama halnya kita mencari sumbernya (maaf) kentut.  Ada sejumlah borok yang patut diungkap di sini, dan sekali lagi tidak akan mungkin pelakunya mengakui karena “rasa ada tapi tiada”  adalah ungkapan paling jitu untuk satu ini.