Sahdan suatu peristiwa, satu
keluarga besar memiliki kekayaan berupa tanah yang cukup luas. Keluarga ini
tampak bahagia karena memiliki tempat peternakan, perkebunan, sekaligus
persawahan sendiri. Semua kebutuhan hidup dapat mereka penuhi sendiri. Wal
hasil keluarga petani cultivation sekaligus substitution ini
hidup sejahtera. Pada saat generasi satu masih tampak gemah ripah loh jinawi,
subur kang sarwa tinandur, kata istilah pedalangan, untuk keluarga ini.
Keluarga ini di samping
memiliki kekayaan lahan, tetapi juga memiliki anak yang cukup banyak, karena
lambang keberhasilan keluarga pada waktu itu juga ditentukan antara lain oleh
banyaknya anak. Mereka menjadi anak-anak yang cerdas, tetapi karena pendidikan
belum menjadi idola dan investasi masa depan, maka tingkat pedidikan merekapun
tidak begitu tinggi. Akhirnya rata-rata mereka menikah di usia muda.
Berkah yang ada selama ini
menjadi bencana begitu orang tua mereka meninggal dunia. Harta melimpah mereka
bagi bagi dengan cara mereka. Gusti Alloh telah memberi contoh pada generasi
sebelumnya bagimana pengelolaan harta waris bisa menjadi bencana, ternyata pada
keluarga ini berulang. Tidak satu centimeterpun tanah luas tersisa. Semua
mereka jual baik dengan cara baik-baik maupun cara licik. Sisa sosial lainnya
ialah diantara mereka menjadi saling bermusuhan, bahkan dendam kesumat
terbentuk, karena merasa tidak mendapatkan hak sebagaimana menurut persepsinya.
Jadilah untuk keluarga ini Warisan berubah menjadi Kutukan.