Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Sabtu, 05 Januari 2013

IDUL FITRI YANG TERSISA


Gegap gempita Idul Fitri, atau yang lebih dikenal dengan “lebaran” makin hari makin menjauh. Makin hari makin sayup seiring berjalannya waktu, melodrama lebaran menuju pada titik keseimbangan sedang terjadi. Dari tahun keabad irama itu berjalan seperti pada pakemnya. Silih berganti hanya berubah yang melakoninya. Pelaku sekarang sepuluh tahun lalu masih kanak-kanak dijepit orang tuanya mengendarai sepeda motor menembus terik panas dan dinginnya hujan menuju satu titik yaitu mudik alias pulang kampung. Ada diantara mereka sampai sekarang yang tetap melakoni ritual itu menggunakan sepeda motor membawa keturunannya, ada juga yang sudah berubah membawa mobil atau otto, sedangkan tidak sedikit yang tidak juga membawa sepeda motor apalagi otto. Dia hanya menjadi penonton ritual itu.
Jantra ini berjalan terus dan terus entah sampai kapan, walau titik puncaknya adalah bersimpuhnya sang anak ditelapak kaki orang tua dalam berucap “mohon maaf lahir batin”. Ratusan kilometer bahkan ribuan kilometer mereka lintasi untuk mencapai puncak bersimpuh dihadapan Ayah terutama Ibu. Pemeo “Surga ditelapak kaki Ibu” atau juga “Ibu adalah Tuhan yang tampak”, merupakan manisfestasi keagungan dari silaturahim antara orang tua dan anak anaknya.

Sekalipun ritual ini telah berlangsung lama, namun sebenarnya hubungan antara orang tua dan anak itu tidak lebih seperti hubungan “mata” dengan “Ibu Jari kaki (Jempol kaki)”.  Mata adalah manisfestasi Orang Tua, sementara Ibu Jari Kaki alias Jempol Kaki adalah manisfestasi anak. Hubungan jika digambarkan akan tampak sebagai beriku: Jika ibu jari kaki terantuk benda keras dan rasa sakit menjelang, maka tidak terasa air mata akan meleleh. Namun tidak sebaliknya, jika mata sakit berdarah darah sekalipun, ibu jari kaki tenang tenang saja.
Tamsil inilah yang menggambarkan hubungan orang tua dan anak, walaupun tamsil itu terlalu ekstrim, tetapi paling tidak itulah rentangan arealnya. Bagaimana mudahnya dawai rasa orang tua terketuk jika anaknya mendapatkan masalah dan akan berbuat apa saja agar anaknya keluar dari masalah. Sebaliknya anak, tidak jarang dawai rasanya bebal jika berhadapan dengan persoalan yang dihadapi orang tuanya.
Idul Fitri ternyata berhikma untuk menyadarkan sang anak kembali keharibaan orang tua wabil khusus Ibunda tercinta. Idulfitri menjadi oase antara orang tua dan anak, antara ibu jari kaki dan mata. Rentang yang terlalu jauh dari keduanya akan berdapak pada sosial psikologis orang tua. Oleh karenanya nilai sosial psikologis sebagai dampak ikutan nilai spiritual yang dibawa oleh Idul Fitri ternyata memiliki kekuatan dahsyat menyatukan antargenerasi di dalam anak keturunan manusia. Halangan jarak, waktu, biaya dan kesulitan lain, terbayar saat dua generasi bertemu yang satu sujud ditelapak kaki bunda, yang satu mengelus kepala sang anak sambil berdoa untuk keselamatan bersama.
Sekalipun ritual ini tidak pernah tercatat dalam Kitab Suci Agama Samawi, namun kenyataannya ialah anak manusia dengan atas nama Idul Fitri, yang note bone adalah peristiwa dalam keagamaan, ternyata sudah berubah menjadi peristiwa ritual sosial bagi anak manusia. Arus ini hampir sama dengan arus ikan solmon pada waktu mau bertelur, dia menembus bahaya untuk kembali ke hulu, walau berpuluh kilometer dia lalui untuk mempertahankan generasi Solmon. Demikian juga atas nama “Labaran” semua dipertaruhkan demi untuk satu kata “mudik”. Generasi atas nama “sungkem” kepada orang tua, menjadikan segala galanya.
Persiapan individual ini menjadi persiapan kolektif yang kemudian mampu menembus kebutuhan negara. Kita bisa lihat sepuluh tahun terakhir bahwa anggaran perbaikan transportasi dan konsumsi selalu dikaitkan dengan kebutuhan lebaran. Sekalipun lebaran lebih dekat dengan ritual agama, tetapi Indonesia bukan negara agama.
 Peminat mudik ternyata bukan surut sekalipun dihadapkan dengan data statistik tingginya kecelakaan karena ritual ini. Tetapi justru sebaliknya makin tahun angka statistik menunjukkan kecenderugan makin tinggi peminatnya. Bahkan mudik menjadi katarsis sosial untuk meratakan pendapatan antarwilayah. Pemerataan rupiah ini bahkan mengalir begitu deras sehingga negara harus ikut campur tangan, paling tidak menjadi regulator.
Semoga ritual mudik menjadikan kita juga memudikkan diri keharibaan Illahi dalam kontemplasi, sebelum mudik secara individual untuk menuju kasidanjati haribaan Illahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar