Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Sabtu, 05 Januari 2013

LANGIT MEMBIRU


Pada suatu kesempatan acara dinas di Semarang, saya dan sekretaris ditempatkan pada sebuah hotel yang cukup asri. Pada waktu memandang ke luar lewat jendela tampak dari kejauhan tepi pantai Laut Jawa yang membiru. Sosok kenangan masa lampau bergantian muncul bagai adegan film yang mengalir. Kesan ombak yang menggelora memecah pantai begitu membuat mata terkesima. Dari jauh tampak para nelayan mengayuh dayung menuju pantai membawa hasil tangkapan, mereka bersyukur Bahan Bakar Minyak tidak naik, tetapi mereka juga bersedih barang kebutuhan pokok sudah terlanjur naik. Tampak dihitam legam kulit mereka derita itu makin melekat. Mereka hanya bermimpi menjadi kaya, tetapi entah kapan semua terwujud.
Perjuangan yang begitu melelahkan sepanjang hari, bahkan tidak jarang sepanjang hayat harus mereka pikul akibat dari keraguan pemimpin bangsa ini dalam bertindak. Beban berat yang menghimpit ini terus mereka pikul. Mereka hanya menebar harap menuai asa, itulah nasib pada posisi yang ditentukan, bukan menentukan.
Pada kesempatan berbeda saya bertemu seorang Ibu yang tampak bersungut sungut, setelah terjadi dialog beliau ini adalah seorang guru SMA. Beliau mengeluh karena kebijakkan maju mundur dari pemerintah. Semula BBM akan naik, akibatnya semua barang dan jasapun berlomba naik mendahului. Tetapi begitu BBM batal dinaikkan, semua barang dan jasa yang sudah naik tadi tidak turun ke harga semula. Akibatnya guru ini menjadi pusing tujuh keliling bagaimana harus menyiasati hidup.

Ternyata semua ini akibat dari keputusan tarik ulur dari kepentingan yang berlindung pada satu kata “atas nama rakyat”. Walaupun jika di tanya rakyat yang mana, tidak ada jawaban pasti. Jika ditanya lebih jauh jawabannya “tanyakan pada langit yang membiru”. Karena makin tidak jelasnya  peran kita masing-masing. Atas nama demokrasi siapa saja dan kapan saja boleh komentar apa saja dan jadi apa saja. Akibatnya korban terakhir adalah rakyat.
Ternyata harga demokrasi itu mahal sekali terutama biaya sosial yang diperlukan. Namun itu belum seberapa dibandingkan dengan perilaku anomali dari para pelakunya yang tidak paham akan makna esensial demokrasi. Akibatnya model perilaku yang ditampilkan menjadi tidak sinkron dengan patron yang seharusnya.  Akhir nya kita bisa melihat dan merasakan bagaimana tidak satunya perilaku dengan peran yang sedang dilakonkan seseorang.
Menjadi makfum jadinya jika ada anggota terhormat semula ngotot untuk membela kepentingan rakyat, ternyata setelah saat saat terakhir untuk mengambil keputusan, dengan ringannya meninggalkan rakyat dalam penuh harap.
Demokrasi yang selama ini akan kita capai dengan jalan reformasi, ternyata ditengah jalan untuk beberapa bidang justru berubah menuju jalan deformasi. Peristiwa ketidaksetujuan akan adanya Patung seorang tokoh lokal, dapat berubah menjadi amok massa, karena ada kepentingan-kepentingan politik lokal yang bermain di sana. Pembakaran kantor pemerintah yang berawal dari perbedaan persepsi politik, ternyata juga bersumber dari bermainnya kepentingan politik lokal yang mengatasnamakan rakyat.
 Ketidak pastian ini ditambah dengan kegamangan aparat penegak hukum untuk menindak pelaku anarkhi, dalam konteks pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM), maka sempurnalah jadinya tampilan perilaku menyimpang dari mansyarakat yang anomali itu. Kita bisa bayangkan jika seorang pimpinan wilayah keamanan tidak mau berbuat apa-apa karena takut kebijakkan yang diambil akan melanggar HAM. Kemampuan yang bersangkutan secara akademik tentu sangat dipertanyakan, terutama tentang tata aturan dalam perundangundangan.
Kondisi nyata ini menunjukkan bahwa rakyat sudah kehilangan pemimpin, yang ada sekarang hanya seorang kepala. Pemimpin dan Kepala memang dua konsep yang sangat berbeda. Pemimpin lebih pada mengayomi dan melayani, sementara kepala lebih minta dilayani dan didahulukan dalam segala hal.  Karena yang ada adalah Kepala, sehingga tugas-tugas kepemimpinan tidak dapat diselesaikan dengan baik.
Wal hasil semua berpulang kepada kita. Kata-kata frustrasi sering muncul “dilarang jadi rakyat” karena setiap saat harus siap menjadi korban. Perilaku akhir yang sering kita tampilkan adalah memandang langit biru yang jauh di sana seraya sambil menitip pesan “sedang apa kau di sana”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar