Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Sabtu, 05 Januari 2013

MERDEKA ? (Tanda Tanya)


Sebentar lagi kita semua akan merayakan hari kemerdekaan, yang masyarakat awam menyebutnya “Agustusan”. Namun pada tahun ini ada yang luar biasa yaitu dirayakan pada bulan puasa. Tahun Seribu Sembilan Ratus Empat Puluh Lima dulu, tujuh belas agustus juga jatuh di bulan puasa bahkan hari jum’at. Dilihat dari “ngelmu klenik” tanggal itu menjadi sakral banget karena jatuh dihari jumat, dan bulan puasa. Tetapi dari kacamata “ngelmu kasunyatan” itu biasa biasa saja. Tidak ada hari atau waktu yang istimewa, semua sama.
Kita tidak berhenti pada soal waktu, tetapi esensi waktu itu menjadi persoalan penting. Jika kita lihat dari dekatnya waktu Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan dengan Hari Raya Idhul Fitri, ternyata sangat “jumbuh”. Karena yang satu merayakan Hari Kemerdekaan Bangsa dari penjajahan bangsa lain, peristiwa yang satunya adalah hari kemenangan dari penjajahan hawa nafsu.Kedua kado kebebasan keilahian itu jika kita cermati mengandung unsur yang sangat sakral.

Pada satu sisi kita bicara berhubungan dengan keilahian, maka kedua peeristiwa itu adalah anugerah yang luar biasa besarnya dan dahsyatnya dari Sang Pencipta. Berapa banyak kerabat, saudara, handaitolan kita yang tidak dapat menikmati kedua bulan berkah itu datang. Ada yang sudah mendahului kita menghadap Sang Kholik, ada yang masih tergeletak di Rumah Sakit, dan masih banyak lagi aral melintang. Bagi kita yang diberi peluang untuk menikmatinya oleh Sang Pencipta, maka patut bersyukur.
Kebersyukuran kita terhadap nikmat itu tentu dengan berbagai cara yang kita mampu untuk melakukannya. Hanya dengan satu persyaratan ihlas. Kata ihlas ini mudah sekali diucapkan akan tetapi sangat sulit untuk melakukannya. Ihlas dalam pengertian keilahian adalah perbuatan yang didasari atas ketulusan budi tanpa sedikitpun pamrih kecuali ridho ilahi. Menjadi pertanyaan sekarang berapa banyak perbuatan kita setiap hari yang bernuansa ihlas ini, tentunya semua berpulang kepada hati nurani kita masing-masing.
Kedua substansi kemerdekaan itu mampu mencampai relung relung sumsum kita, jika kita mampu menangkap esensi keduanya secara benar. Oleh karena itu pekik “Merdeka atau Mati” pada jamannya, ada semacam nilai magis yang melekat pada kalimat itu. Berbeda sekali jika itu kita ucapkan sekarang. Nilai itu menjadi berubah dan rasanya hambar hambar saja. Sekarang bukan kata itu yang memiliki nilai magis dalam pengertian luas. Kata kata “Berpangkat, Berkedudukan, Berkekayaan” dan masih banyak lagi, mungkin itu yang memiliki nilai magis yang menarik orang untuk “mendewakannya”.
 Pergeseran nilai ini menjadikan kita harus waspada, karena jika tidak secara jernih kita melihatnya, maka atas nama kemerdekaan kita akan hanyut bersamanya. Atas nama kemerdekaan pula kita bisa berbuat, berkata semaunya, tanpa juga melihat kemerdekaan orang lain. Peristiwa hari-hari sekarang dapat kita lihat, jika ada diantara kita melanggar rambu lalu lintas, atau berkendaraan membahayakan orang lain, dan yang bersangkutan kita peringatkan, atau kita tegur, yang terjadi justru yang melanggar menjadi marah besar. Kemaraahannya itu berdasar kepada “kemerdekaan ngawurnya”. Oleh sebab itu pada kalangan bawah sekarang mulai tumbuh atau hidup nilai “Yang Waras Ngalah”. Hal ini terjadi karena sulit membedakan antara orang “Merdeka” dengan orang “Ngawur”.
Semoga dengan bersamanya perayaan akbar kedua “hari kemenangan” dirayakan pada bulan yang sama dengan tautan hari yang tidak jauh, dan sama-sama menuju pada “hari pembebasan”, maka kemenangan yang esensial akan kita peroleh yaitu kemenangan melawan hawa nafsu kita masing-masing. Merdeka dari nafsu-nafsu jahiliah dan merdeka dari jajahan nafsu-nafsu serakah. Selamat Menjelang Hari Kemerdekaan, dan Selamat Menjelang Hari Kemenangan Satu Syawal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar