Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Sabtu, 05 Januari 2013

PELAJARAN DARI KHADAFI

Mendengar dan melihat tayangan media massa berkaitan dengan nasib Khadafi, hati merasa miris. Betapa mengerikan dan tragisnya seorang Khadafi yang gagah perkasa itu, di kuyo-kuyo oleh bangsanya sendiri saat akhir masa hidupnya. Berbeda seratus delapan puluh derajat jika dibandingkan dengan Khadafi satu bulan lalu yang masih tampak gagah perkasa.
Sebagai warganegara saya tidak berkeinginan mencampuri urusan dalam negeri Lybia, akan tetapi ingin mengambil hikma dari peristiwa tersebut, itupun dilihat dari sudut kecil kehidupan yaitu pendidikan. Memang tampaknya aneh, apa hubungan Khadafi dengan pendidikan. Dua variabel itu secara langsung tidak ada, tetapi melalui sejumlah variabel antara ternyata ada. 
Sesuatu yang patut dicermati, Khadafi tidak suka Barat, tetapi anaknya ada yang keluaran sekolah dari Barat. Awalnya memusuhi Barat, terakhir dekat dengan Barat. Akibatnya dia dihabisi oleh Barat. Sekali lagi saya bukan anti barat, tetapi sekedar analisis untuk pintu masuk kepersoalan inti; yaitu seolah-olah ada sesuatu yang hilang.

Rezim-rezim otoriter di dunia ini pada umumnya  melakukan kesalahan sejarah dengan mengabaikan faktor-faktor kemanusiaan, bahkan justru melakukan tragedi kemanusiaan. Sedangkan faktor kemanusiaan ini merupakan residu sejarah yang menjadikan anutan dari suatu proses pembelajaran sosial. Khadafi menjadi korban dari utopia kekuasaan yang tanpa batas, lebih abai lagi dia tidak membangun pondasi pendidikan karakter bagi bangsanya, sehingga warga lybia tidak merasa bangga dengan negaranya.
Ini contoh bagi kita bangsa Indonesia, jika kita abai akan pendidikan karakter bangsa, maka kita akan mudah dimasuki oleh pihak luar dengan mengatasnamakan demokrasi, kebebasan, atau apalagi lainnya. Semua itu merupakan topeng untuk meluluhlantakkan bangsa dari konsep ideologis. Padahal sejatinya negara-negara kapitalis itu hanya bermotifkan ekonomi, yaitu penguasaan sumber daya alam terutama minyak bumi.
Kata kunci pendidikan yang berkarakter khas bangsa indonesia perlu kita bangun agar pada waktunya nanti tercipta benteng ideologi. Kalau Jepang punya semangat Boshido, Indonesia harus punya semangat Pancasila. Kita harus meredisain ulang pendidikan karakter bangsa yang berjiwa pancasila. Laboratorium Pancasila yang pernah ada di suatu perguruan tinggi di Jawa Timur, kita hidupkan kembali dengan diberi tugas merancang kembali Pendidikan Karakter Bangsa yang memiliki roh Pancasila.
Pola pendidikannya tidak perlu seperti P4 jaman lalu, tetapi ditebarkan kepada semua elemen bangsa dengan cara-cara ilmiah persuasif edukatif, bukan doktriner. Usaha-usaha yang sekarang sudah dilakukan perlu percepatan, karena jika dengan pola seperti sekarang, maka kita akan tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Kita bisa belajar dari kasus Irak, kasus Afganistan, kasus Lybia, kasus-kasus negara lain, yang karena tidak memiliki jati diri bangsa yang berakar dari proses pendidikan karakter bangsa, maka bangsanya mudah dikoyak-koyak oleh kepentingan negara lain.
Apapun motifnya, dan apapun alasannya, jika negara lain sudah ikut menohok atau mengobok-obok suatu bangsa dengan melalui ideologi, maka tinggal menunggu kehancuran dari bangsa itu. Ideologi lain tidak perlu kita musuhi, justru harus kita pelajari. Akan tetapi bukan berarti kita menjadi “budak” ideologi bangsa lain. Kita harus memiliki jati diri yang khas indonesia. Ideologi khas Indonesia.
Oleh sebab itu saya sangat menganjurkan utuk mempelajari konsep milik bangsa sendiri, seperti kepemimpinan Nusantara, kesejarahan Nusantara, pandangan hidup Nusantara, model-model sosial, yang semua bercirikan khas bangsa Indonesia.
Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya dilakukan ialah; di samping melestarikan nilai-nilai luhur bangsa, juga perlu dipikirkan model regenerasi yang bukan dalam arti hanya tumbuh dan tampilnya orang-orang muda baru, akan tetapi bagaimana me-regenerasi-kan ideologi-ideologi bangsa kepada generasi penerus melalui suatu sistem yang dapat di pertanggungjawabkan. Ideologi bukan dimaknakan sebagai dogmatik tertutup, akan tetapi dogmatik terbuka; dalam artian tetap membuka diri dari pembaharuan.
Persoalannya sekarang bagaimana kita dapat “meregenerasikan” ideologi dengan baik jika sistem pendidikan kita terkontaminasi dengan ideologi “mumpung” seperti sekarang ini. Mumpung kuasa, mumpung menjabat, mumpung mumpung lainnya. Sehingga ideologi praktis kekinian lebih berkembang dari pada ideologi masa depan.
Secara ideologis sebenarnya kita lebih kritis dari Lybia, hanya saja siapa yang harus memulai langkah besar memperbaiki bangsa ini melalui tatanan paling dasar ini, yaitu penanaman ideologi bangsa secara sistimatis dan masif, sehingga kita tidak kehilangan jati diri bangsa. Mari kita bertanya pada diri sendiri, Siapkah kita ?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar