Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Sabtu, 05 Januari 2013

PEMIMPIN KU (bukan) TEMAN KU


Pada saat menunggu keberangkatan di satu Bandara, penulis membunuh waktu dengan membaca semua harian yang ada di meja, diselingi makanan ringan. Sayup sayup terdengar suara tetangga duduk sedang bergunjing bahwa mereka tidak memilih yang pimpinan mereka arahkan, pada waktu pemilihan Pimpinan Daerah. Selidik punya selidik, menyimak dari pembicaraan yang diperbincangkan, ternyata mereka adalah pengurus partai besar di Republik ini. Mereka menggunjingkan bagaimana mereka tidak sepakat dengan pimpinan partai dalam menetapkan calon pilihan. Demi penyelamatan diri pada “kedudukan” di organisasi, mereka seolah mentaati titah pimpinan mereka, walaupun dalam bilik suara mereka melakukan pilihan berbeda dengan apa titah pimpinan. Pilihan itu justru menjadi semacam arus utama massa yang tertuju pada seorang tokoh idola pada jamannya.

Peristiwa di atas juga mengingatkan penulis pada suatu peristiwa pemilihan Kepala Desa di suatu Desa terpencil tempat suatu penelitian dilakukan. Kejadiannya justru berbalik arah dari peristiwa di atas. Pada saat masa masa kampanye Sang Kepala Desa menjagokan seorang Tokoh Desa untuk menggantikan kedudukannya. Walaupun tokoh desa ini berbeda keyakinan dengan Pak Kepala Desa, beliau di dukung dengan sepenuh kekuatan, bahkan kampanye dilakukan agak sedikit terang terangan. Bahkan tokoh ini dipanggil dan direstui.  Kebanyakan masyarakat juga kebetulan banyak yang mendukung. Akan tetapi perubahan arus besar terjadi menjelang pagi pemilihan. Kepala Desa melakukan “serangan fajar” dengan mengajukan calon lain untuk didukung. Bukan tokoh masyarakat tadi yang selama ini telah didukungnya. Alasanpun dibuat sederhana “karena beda keyakinan” sehingga tidak baik menurut “pembisik” Bapak Kepala Desa yang juga tokoh aliran keyakinan tertentu. Alasan “takut dosa” maka dengan ringan dukungan diputar arah. Walaupun alasan tersebut sebenarnya diketahui banyak orang hanya dibuat buat demi penyelamatan dinasti dan dosa dosa pribadi. Dengan kata lain menghindari dosa dengan cara membuat dosa baru.
Dua contoh peristiwa sosial di atas, walau beda settingnya, ternyata membuahkan kesamaan hasil; yaitu membuat para pengikut dari suatu kepemimpinan tidak merasa memiliki pemimpin. Pemimpin dan yang dipimpin menjadi vertikal, bukan horizontal. Akibatnya apa yang dititahkan oleh pemimpin akan dilaksanakan sebagai “melepas kewajiban” bukan kesadaran untuk melakukan sesuatu pencapaian tujuan bersama. Keadaan tersebut tersemai dengan tidak sengaja menuju pada arah pemisahan antara yang memimpin dengan yang dipimpin, karena ulah sang pemimpin.
Pada masa sekarang dengan teknologi komonikasi personal yang sudah begitu maju, membuat diskusi tidak perlu bertatap muka, cukup menggunakan piranti tertentu sudah dapat menyatukan ide dari banyak orang, atau menyebarkan informasi begitu cepat, luas dan masif. Tanpa mengenal waktu tempat dan keadaan. Oleh sebab itu perilaku pemimpin sekarang menjadi sangat terbuka untuk dinilai dan disebarluaskan melalui media personal ini.
Pemimpin untuk era sekarang tidak mudah untuk memiliki wilayah prerogratif, karena penggunaan prerogratif sendiri sudah menjadi wilayah publik, dengan demikian begitu prerogratif dipakai, maka wilayah publik akan menjadi terusik. Disini diperlukan “wesdom” dari pemimpin untuk mejaga keseimbangan yang ada, dengan kata lain wilayah publik menjadi begitu rentan.  
Pemimpin yang jauh dari yang dipimpin dalam arti psikologis, maka akan berakibat pada tereliminasinya pemimpin dari yang dipimpin. Jarak psikologis ini bisa saja berbanding terbalik dengan jarak sosial, atau jarak pisik. Dengan kata lain bisa saja seorang pemimpin dengan yang dipimpin secara pisik dekat, secara sosial juga dekat, akan tetapi secara psikologis tidak. Atau secara pisik dekat, secara sosial dan psikologis jauh. Yang lebih berbahaya jika secara pisik jauh, secara sosial jauh, dan secara psikologis juga jauh.
Semua jarak ini yang paling sulit diukur  adalah jarak sosial dan jarak pisikologis. Karena kedua jarak tersebut ada pada rasa, dan ini sangat subjektif. Oleh karena itu pemimpin diminta untuk memiliki dawai rasa yang halus agar “prono” (peka)  menangkap gerak rasa psikologis dari yang dipimpin. Kesulitannya adalah hal ini tidak ada sekolahan formalnya, akan tetapi kemampuan olah dan asah bathin untuk mendekat pada yang Kholik menjadi kunci utama.
Kemampuan finansial, kemampuan akademik, tidak berkorelasi dengan kemampuan olah rasa, terutama dalam membaca “bahasa tubuh” apa lagi “bahasa Rasa”, yang semuanya sangat abstrak, dan sulit dianalisis. Hanya para penggiat olah batin yang mampu membaca ini. Oleh karena itu menjadi pemimpin tidak hanya memenuhi persyaratan formal saja, akan tetapi yang lebih sulit adalah persyaratan individual. Tidak salah kalau Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia mengatakan “memimpin adalah seni”. Semoga bangsa ini menemukan jalan terang guna mendapatkan pemimpin yang “waskitho” ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar