Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Senin, 04 Maret 2013

PATIH SENGKUNI



Akhir akhir ini tokoh patih dari kerajaan Hastinapura ini menjadi buah bibir banyak orang dengan beragam label; ada yang memberi awalan Republik Sengkuni, ada lagi yang memberi label aliran menjadi Sengkuniisme, dan masih banyak lagi. Tapi siapa dan bagaimana Tokoh yang satu ini, belum begitu banyak orang mengetahui, terutama generasi muda tujuhpuluhan.
Tokoh ini mewakili lambang perilaku yang sangat licik, saking liciknya sampai dalam penggambaran melalui tampilan gusen , yaitu tokoh dengan peragaan setengah tertawa, tetapi tertawa yang tidak ihlas (lihat: Panyebar Semangat  23 Februari 2013). Kemudian tangan depannya menunjuk, yang maknanya pandai mencari kambing hitam, Sedangkan tangan lainnya seperti tangan raksasa, maknanya ialah tokoh ini serakah, mau apa saja dengan cara apapun juga. Tokoh ini waktu muda bernama Haryo Suman atau Tri Gantalpati. Beliau adalah adik dari Dewi Gendari istri dari Prabu Dhestarastra, orang tua dari seratus para Kurawa.
Sengkuni sebagai paman dari para Kurawa adalah tokoh intelektual dibalik semua tindak tidak terpuji yang dilakukan Kurawa kepada Pandawa. Sengkuni sendiri dalam mendapatkan jabatan Patih di kerajaan Hastinapura menggunakan cara cara yang tidak terpuji. Nama Sengkuni sendiri diperoleh dari gelar perilaku yang memang jelek dari dulunya yaitu  berasal dari kata “Saka  Uni” yang terjemahan bebasnya memang dari sononya, maksudnya beliau memang dilahirkan untuk menjadi penghasut, tukang mengompori, dan yang jelek jelek lainnya.


 Peristiwa peristiwa besar yang diaktori oleh Sengkuni diantaranya adalah “Pendawa Dadhu” dan “ Bale Sigala-gala”. Pada dua peristiwa ini kelicikan Sengkuni sangat menonjol, terutama dalam upaya “menghabisi” para Pendawa. Politik adu domba, dan penyebaran issue menjadi metodologi ampuh dengan label Sengkuni. Dengan tipumuslihatnya kerajaan Amarta bisa dipertaruhkan di meja judi, dan dengan liciknya pula kerajaan dan isinya bisa jatuh ketangan Kurawa, sementara para Pandawa harus masuk hutan selama tigabelas tahun. Demikian juga sebelumnya pada saat Pandawa diberi minuman yang memabukkan kemudian Balai Pertemuan tempat Pendawa menginap dibakar.
Tokoh ini dibuat oleh para empu budaya masa lalu seolaholah para pendahulu kita telah membaca geraknya jaman. Bahwa pada masa yang akan datang ada jaman Kalatidha, yaitu suatu jaman yang sulit mencari orang baik, karena yang ada berkeliaran dimana mana adalah Patih Sengkuni dengan casing lain. Justru ini kesulitan yang luar biasa, karena menghadapi satu sengkuni dari satu casing saja sudah sangat sulit, apalagi jika berhadapan dengan sengkuni sengkuni lain juga dengan casing yang beragam.
Penggambaran yang dilakukan oleh seorang tokoh partai berkuasa saat ini memang tepat, walau pada akhirnya beliau harus lengser kaprabon karena didesak oleh iklim sengkuniis saat ini. Tetapi ada yang tercecer dari semua melodrama politik tadi yaitu adanya gerak social dari masyarakat untuk menentang pembusukan yang dilakukan oleh sengkuniis.
Sekarang dikembalikan kepada masyarakat untuk menilai para actor yang sedang berada di atas panggung. Bebas menilai mana yang asli Sengkuni, atau sekedar pengikut setia aliran Sengkuni, atau juga partisipan saja. Namun jangka panjang yang akan kita tuai adalah masyarakat semakin apatis dalam menyikapi semua peristiwa social, baik local maupun nasional.
Kelompok ini akan menjelma menjadi golongan tidak bergolongan, artinya menjadi kelompok anomali. Kelompok serupa ini berbahaya jika dibiarkan oleh pemangku kepentingan Negara. Masalahnya jika terus dibiarkan, maka kelompok ini menjadi kelompok bloking bagi semua kebijakkan Negara. Mereka selalu memandang jika ada orang tidak sealiran dengan mereka, maka itulah Sengkuni.
Sebelum terlambat, marilah peringatan dini ini kita sikapi dengan arif bijaksana. Ingat pelajaran berharga di Indonesia ini, jika ada individu yang menurut ukuran public di zolimi, maka simpatisan spontan akan mucul di mana mana. Yang bersangkutan disublimasikan sebagai “Ratu Adil” yang akan menjadi juru slamat di bumi. Ketertarikan public pada pigur yang sekarang memimpin negeri ini juga berawal dari cercahan seorang politikus senior kepada dirinya. Akhirnya akumulasi public akan figure ini memuncak pada saat pemilihan umum. Apakah peristiwa sejarah itu akan terulang ?, jika jawabannya “ya”, maka betapa kasihannya republic ini, karena hanya para sengkunilah yang dapat mengkondisikan hal serupa ini. Kita tidak akan menemukan pemimpin yang baik, jika munculnya pemimpin karena factor kasihan.
Lebih celaka lagi “kasihan” diciptakan oleh para actor agar muncul. Kemunculan kasihan inilah yang dimanfaatkan oleh sejumlah kalangan untuk mendorong yang dikasihanni tadi muncul sebagai tokoh. Rekayasa  social serupa  ini menjadi sangat mungkin terjadi jika ditangani oleh social engenir yang berpengalaman. Semoga negeri ini terbebas dari pandai social yang tidak menyehatkan itu. Kita tidak mungkin menghilangkan tokoh Sengkuni, karena pakem akan rusak tanpa sengkuni, namun juga kita tidak mungkin menjadikan sengkuni semua, karena pakem juga tidak akan jalan karena pelakunya sejenisl. Keragaman itu indah, akan tetapi menjadi lebih indah lagi jika kita memadukan keberagaman itu menjadi sesuatu yang indah.



4 komentar:

  1. tiap manusia membawa 'gen' sengkuni.. cuma kadarnya saja yang berbeda-beda :)
    anyway, it's an inspiring feature, Prof.

    BalasHapus
  2. Semoga ALLAH melindungi bangsa ini dari pemimpin2 berjiwa Sengkuni,,,,!!!,,,, yg pandai memanipulasi Fakta berpura-pura membela,padahal menindas Sang Jelata!!.,,.

    BalasHapus
  3. Sengkuni itu laki2 tapi dlm praktik politik kita banyak Sengkuni dari jenis perempuan jua... hopo tumon???

    BalasHapus
  4. Sengkuni itu laki2 tapi dlm praktik politik kita banyak Sengkuni dari jenis perempuan jua... hopo tumon???

    BalasHapus