Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Jumat, 03 Juni 2016

TERSESAT DI JALAN YANG BENAR

                                       TERSESAT DI JALAN YANG BENAR

Pada waktu duduk di muka televisi ternyata ada sekmen acara berkaitan dengan Perang Baratayudha dari versi negara aslinya, sementara pada canel lain, pembawa acara sedang berceloteh yang mengesankan bahwa Pemilihan Presiden sama dengan Perangnya wangsa Pandawa dan Kurawa.  Kalimat ini dilanjutkan dengan menyatakan diri sebagai pihak Pendawa, dan memposisikan yang lain adalah Kurawa.
Kalimat itu jika didengar oleh kaum intelektual, reaksinya akan tersenyum dengan sejuta arti, jika itu didengar oleh budayawan menjadi mereka tertawa terbahak-bahak. Tetapi menjadi kening berkerut bagi sudara saudara kita yang berfikir sederhana dan linier. Karena mereka menganalogikan Pilpres ini sama dengan perang tanding yang setara dengan Baratayudha dalam pewayangan.
Cara berfikir yang dibentuk dengan opini, terlepas apakah dengan cara benar atau “tidak benar”, maka posisi Pemilihan Presiden menjadi ajang perang tanding, bukan merupakan medan proses pembelajaran akan demokrasi yang benar. Di sini ketersesatan sistimatis sedang kita bangun bersama atas nama  pemilihan presiden. Atas nama demokrasi semua kita boleh bicara apa saja, terlepas apakah yang mendengar itu mengerti atau tidak, bingung atau faham, semua dibiarkan begitu saja. Tanpa rasa tanggung jawab, kita bebas untuk mengatakan apa saja dan tidak harus merasa apakah itu etis dalam arti patut, atau tidak.
Rakyat kecil terbengong bengong, melihat perilaku dari sebagaian kita yang menunjukkan “kegilaan” tertentu terhadap jargon tertentu, yang disuarakan. Mereka menjadi bingung melihat kelakuan sebagian kecil dari kita yang dengan mudah untuk mengatakan apa saja.  Sementara selama ini  mereka di rumah tetap harus bicara santun dengan siapapun. Mereka sering terperangah karena begitu senjangnya norma yang mereka anut, dengan norma yang tampil di media masa berada di rumahnya.
Sebagian lagi yang berada pada kelas menengah, mereka bisa dengan bebas menulis apa saja, dengan gaya bahasa apa saja, pada media sosial yang mereka genggam. Dari kalimat paling santun, kalimat kalimat Syurga, sampai sumpah serapah yang paling hinapun, dapat mereka lakukan. Dengan beragam motif mereka tampilkan kalimat-kalimat yang santun sampai yang absurd. Inipun tanpa ada beban apakah tulisan itu akan melukai orang lain atau tidak. Lagi-lagi mereka juga sebenarnya ikut berkontribusi akan hiruk pikuknya persoalan bangsa.
Kita semua sudah berada pada jalur yang benar, yaitu menuju demokrasi untuk masa depan bangsa yang lebih baik. Akan tetapi kita tersesat dalam tata laku berdemokrasi. Kita ingin bebas berbuat, tetapi tidak sadar kita membawa persoalan baru pada bangsa ini. Pemilihan presiden seperti sekarang yang membiarkan tumbuh fanatisme buta, bukan pembelajaran demokrasi, ini akan membawa kita kepada posisi berhadap hadapan, bukan sejajar menuju garis finis.
Jika posisi berhadapan yang kita ambil, maka yang terjadi setelah berakhirnya pemilihan, akan muncul sikap “orang dia” dan “orang kita”. Kondisi ini akan sangat membahayakan kondisi bangsa ke depan. Kita akan saling menghancurkan sesama kita. Ada pemeo yang mengatakan “kita bukan negara besar, akan tetapi negara yang penduduknya banyak", menjadi kenyataan. Karena penduduk yang banyak bukan berarti menjadikan bangsa itu besar.
Sikap sebagian elite politik kita yang tidak bertanggung jawab dengan menggiring opini pada posisi berhadap hadapan antara kita, adalah perbuatan yang sangat tidak terpuji. Kita sudah menciderai demokrasi dalam arti sesungguhnya, dan kita sudah menghianati perjuangan pendiri bangsa ini. Karena kita secara sistimatis menghancurkan bangsa ini dari dalam.
Demokrasi bukan sekedar “membiarkan” perbedaan, akan tetapi menumbuhkembangkan keberagaman dalam damai. Keberagaman adalah sunatullah, oleh sebab itu patut dipupuk agar tumbuhkembang sebagaimana kodratnya. Rekayasa sosial yang bersifat membenturkan antarkeberagamana adalah sesuatu keniscayaan. Oleh sebab itu tanggungjawab terhadap bangsa bukan dilakukan dengan berbenturan sesama kita, akan tetapi bagaimana beriringan dalam perbedaan. Ingat kita dapat maju berjalan ke depan karena ada perbedaan antara kaki kiri dan kaki kanan, tetapi perbedaan itu menjadi harmoni dalam bingkai keberagaman manakala diantara kaki itu bergerak mengikuti ritmenya.
Semoga Pemilihan Presiden kali ini di samping membawa kita ke jalan yang benar, juga tidak membawa kita tersesat di jalan yang benar itu. Keberhasilan dari pemilihan ini bukan pada terpilihnya seorang presiden, akan tetapi terbangunnya demokrasi yang bermartabat.







  





Tidak ada komentar:

Posting Komentar