Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Sabtu, 24 Desember 2016

22 Desember

22 Desember

Oleh: Sudjarwo

Guru Besar dan Direktur Pascasarjana Unila

Pada saat merenungkan peristiwa 2 Desember yang digagas banyak orang, pemikiran keluar dari pakem muncul dengan sebersit pertanyaan ; jangan-jangan orang abai dengan 22 Desember. Tanggal itu dikenang sebagai Hari Ibu, anak-anak muda sekarang yang gemar bahasa asing mengganti label dengan Mother Day. Bahkaan ada diantara mereka membuat Kue penghormatan buat Ibu mereka. Hal serupa itu sah-sah saja untuk jaman yang sudah berubah ini.
Pada hari itu mengingatkan kembali sosok seorang Ibu yang menunggui anak-anaknya belajar, di bawah temaram Lampu Minyak (Jawa: Ublik), beliau memainkan Kawat Kait benang untuk merajut, menjadikan Taplak Meja, atau apapun lainnya. Sesekali beliau bersenandung lagu lawas, yang tidak tahu siapa penulisnya lagu itu sampai sekarang.  Sesekali juga beliau bertanya kepada anak-anaknya apa yang bisa beliau bantu. Wajah ihlas walau lelah tampak menggurat diwajahnya; seakan beliau membimbing kami untuk menggapai cita-cita masa depan, walau pada saat itu kami belum tahu apa masa depan itu, kami hanya ingin menyenangkan Ibu bahwa kami menurut perintahnya. Ibu sangat paham kapan kami lelah dan harus tidur, dan kapan waktunya kami mendengarkan dongengan saat menjelang tidur.
Pertanyaan tersisa, masih adakah suasana itu pada keluarga Indonesia sekarang. Jawabannyanya, rasanya sudah menjadi barang langka. Semua atas nama kemajuan dan modrenisasi, sudah berubah 360 derajat. Sekarang sudah menjadi pandangan umum, keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, Anak berada pada satu tempat yang sama tetapi pada ruang yang berbeda.  Secara lahiriah mereka berada di tempat yang sama, padahal mereka tidak terhubung satu sama lain. Mereka tereliminasi secara masif melalui media sosial dengan ruang lain bersama orang lain. Dengan kata lain mereka berada pada tempat yang sama tetapi tidak pada ruang yang sama.
Revolusi Media Sosial (ReMedSos) ini sekarang begitu masif melanda individu Indonesia, bahkan ada petinggi Indonesia yang menyatakan rata-rata orang Indonesia berada pada durasi 13 jam perhari berada di MedSos. Jadi tidak mustahil untuk mengumpulkan sepuluh juta orang di Monas tidak perlu menggunakan undangan fisik, cukup undangan senyap melalui MedSos hal itu bisa terwujud dalam tempo yang singkat. Tidak perlu harus menggunakan Helikopter buat menyebar undangan. Demikian juga mencari dana untuk suatu kegiatan tidak harus membawa proposal dari pintu kepintu, cukup mempostingnya di laman gaget, semua akan terkumpul.
Ada yang menggantung sebagai residu sosial dari revolusi MedSos, yaitu pekerjaan Ibu makin berat dari sebelumnya. Ibu harus mampu membaca gerak anak di rumah bukan hanya dengan pancaindra saja, akan tetapi juga melalui mata batin. Karena mereka berinteraksi dengan teman melalui media, tidak jarang efek emosi dari media akan mempengaruhi, dan jika terabaikan bisa berakibat fatal. Oleh sebab itu ibu harus melek teknologi, agar keluarganya terhindar dari dampak negatif keberadaan teknologi.
Menjadi Ibu masa kini ternyata bukan sesuatu yang mudah, di samping harus memiliki kemampuan lebih bidang manajemen keuangan, karena tingginya biaya ekonomi, juga harus memiliki kemampuan menguasai teknologi komunikasi. Banyak sekali ibu mengalami gagal paham akan persoalan anak-anaknya; karena rendahnya kemampuan penguasan teknologi informasi.
Ibu masa kini dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit yang tidak jarang harus mengorbankan tenaga dan pikirannya di luar kewajaran. Bahkan harus bekerja ekstra keras, karena menjadi Polisi sekaligus Penasehat buat anak-anaknya. Pekerjaan rumah yang tadinya hanya sekitar: Dapur, Kasur, dan Sumur; sekarang ditambah dengan ; TUTUR, SEMBUR, dan UWUR.
Tutur adalah nasehat yang harus diberikan kepada seluruh isi rumah; terutama pada anak-anaknya. Tutur lebih pada ucapan bijak yang disampaikan ibu kepada anak-anaknya. Tutur yang lebih dikenal dengan Pitutur adalah nasehat-nasehat mulia yang disampaikan ibu pada anak2nya. Nasehat ini lebih menekankan pada tata laku moralitas bagi yang mendengarkannya. Namun ada prasyarat yang harus dimiliki yaitu sipemberi nasehat, dalam hal ini Ibu, harus mampu menunjukkan perilaku mulia seperti tuntutannya. Tanpa itu; maka Tutur yang diberikan akan kehilangan kewibawaannya, dan jika itu dilakukan berlebihan ; maka kesan cerewet yang muncul ;  bahkan  anak anak sekarang akan memberi label lebay.
Sembur adalah nasehat yang bernada keras, namun bukan bermakna marah. Ibu harus mampu melakukan ini kepada para putra-putrinya di rumah. Nasehat yang keras diperlukan untuk membangun semangat, sehingga para putra-putrinya tidak berjiwa lemah.  Sembur bukan berarti harus bawel, atau juga harus dengan nada tinggi. Sembur adalah cara Ibu memompakan semangat pada putra-putrinya agar tidak menyimpang dari pakem laku yang sudah ditetapkan. Sembur lebih bernuansa menegakkan disiplin pada putra-putrimya, sehingga mereka kelak menjadi orang-orang yang tangguh dalam menghadapi tantangan hidup.
Uwur adalah memberikan semacam bantuan finansial seadanya kepada para putra- putri. Finansial disini bukan hanya berupa keuangan semata, akan tetapi lebih pada hal-hal yang bersifat bantuan material. Ibu harus siap menjadi Juru Selamat bagi putra-putrinya dalam arti luas.
Tampak di sini semakin nyata bahwa untuk menjadi Ibu pada era yang akan datang tidak cukup hanya pandai, tetapi dituntut cerdas. Tuntutan ini sejalan dengan sudah tidak adanya “dinding” di antara rumah-rumah. Semua sudah tembus dengan gelombang informasi melalui Media Sosial, yang menyerbu secara masif ke semua penjuru. Revolusi MedSos ini jika tidak dimanfaatkan dengan bijak oleh para Ibu sebagai orang yang ditakdirkan untuk mendampingi putra-putrinya, maka akan terjadi Goncangan Sosial yang dahsyat melanda keluarga.
Anak-anak diusia dini sampai remaja mengidolakan Ibunya. Posisi Ibu sebagai posisi sentral yang mereka anggap dapat menyelesaikan apapun persoalan mereka. Kondisi seperti ini banyak keluarga baru yang mengambil keputusan Ibu tidak harus ikut mencari nafkah, cukup mengurus anak-anak di rumah. Bahkan dari hasil penelitian  homeschooling (Sekolah Rumahan) ternyata 99 persen mentornya adalah Ibu mereka sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa Ibu menjadi kata penentu bagi masa depan anak-anakknya.
Namun ada sisi lain yang juga kita harus perhatikan, ternyata jumlah terbesar penghuni Panti Werda adalah Perempuan. Rata-rata mereka adalah Oma-Oma yang sudah hidup sendiri, atau tidak memiliki keluarga. Pada Hari Ibu ini mereka juga berhak mendapatkan perhatian kita semua, karena mereka juga adalah bahagian dari Hari Besar itu. Tidak jarang diantara mereka waktu mudanya berjasa, akan tetapi karena faktor tertentu sehingga mereka berada di Panti Werda. Banyak jasa mereka seiring perjalanan waktu, menjadi terlupakan. Saatnyalah kita pada momentum hari bersejarah ini untuk megingat mereka.
Kata “Ibu” sendiri semua kita telah mempopulerkannya dengan memberikan kata depan kata “IBU” pada beberapa daerah, benda, dan lainnya untuk memberikan labeling penghormatan yang lebih. Kata “Bapak” tidak pernah dapat menyamai kata lebih dari “Ibu”. Hal ini menunjukkan secara Transendental Ibu memiliki kelebihan. Kelebihan kodrati ini menjadikan semacam kekuatan dahsyat yang hanya dimiliki oleh Ibu.
Menghormati Hari Ibu tidaklah cukup dengan membebaskannya hari itu dari semua pekerjaan rutinitas yang melekat pada Ibu, atau memberinya hadian istimewa dengan mengajak makan bersama, atau mengajaknya bertamasya; akan tetapi bagaimana memberikan apresiasi kepada Ibu untuk mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai manusia. Menempatkan Ibu pada kedudukan yang bermartabat sebagai sumber kehidupan keluarga.
Hal ini sangat jarang dilakukan karena semua kita cenderung terjebak kepada rutinitas, tidak dapat berfikir keluar dari pakem yang ada. Hari Ibu hanya dihiasi dengan sekedar formalitas, selesai pada berkain kebaya, kunjungan ke Panti, makan-makan; semua selesai dan kembali keutinitas. Apakah hanya itu untuk Ibu ?.


   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar