Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Kamis, 15 September 2016

SEKOLAH ITU “MILIK SIAPA”

SEKOLAH ITU “MILIK SIAPA”

Sudjarwo. Guru Besar FKIP Unila

Minggu-minggu ini kesibukan DPRD Provinsi Lampung khususnya Komisi V bertambah, hal ini terjadi karena konsekwensi dari diberlakukannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia N0. 123 tahun 2014, tentang urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur untuk Penyelenggaran Pendidikan Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMA/SMK). Gubernur bersama DPRD harus menyiapkan Peraturan Daerah guna menindaklanjuti Peraturan Menteri tersebut, walaupun dipemukaan hal itu terkesan mudah dan ringan, ternyata pada tataran implementasi banyak hal yang harus diperhatikan.

Selama ini Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan merupakan wilayah kerjanya Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Tentu wilayah birokrasi ini menyimpan sejuta makna bagi petinggi yang mengaturnya. Sehingga tidak dapat dipungkiri wilayah ini menjadi medan tarikmenarik antarkepentingan dari para pemangku kepentingan.  

Berdasarkan pengalaman Jelajah Nusantara, ternyata banyak Daerah Tingkat Dua yang menjadikan SMA/SMK sebagai sumber dari Tenaga Andalan Kabupaten. Bahkan dibeberapa daerah Ketua Bapedanya ada yang dari Guru SMA, dan untuk beberapa Kepala Dinas juga dari Guru SMA. Secara hakekat dasar Hak Hak Azazi Manusia hal ini sah-sah saja, namun jika dilihat dari pembinaan personil, maka Guru Guru terbaik di tingkat SMA/SMK akan semakin berkurang karena mereka hijrah kebirokrat dengan berbagai alasan. Akibat jangka panjang mutu pembelajaran di SMA/SMK secara signifikan akan mengalami penurunan.

Untuk Provinsi Lampung hal tersebut di atas juga tidak terhindarkan; tidak sedikit guru-guru terbaik yang dimiliki SMA/SMK berhijrah ke birokrat, bahkan ada diantara mereka pada saat sekarang menduduki posisi kunci untuk tingkat Kabupaten/Kota. Karena mereka adalah orang-orang pilihan, maka tentunya mereka menjadi sukses, walaupun ditempat sekolah yang ditinggalkan untuk mendapatkan sekaliber guru tadi harus menanam kembali sepuluh sampai duapuluh tahun ke depan. Pertanyaan tersisa apakah dengan dikembalikan ke Provinsi eksodus seperti ini tidak akan terjadi. Jawabannya belum tentu.

Masalah Program.  
Pada waktu SMA/SMK dikelola oleh Dinas Kabupaten Kota, mereka menjadi instansi strategis yang cenderung politis. Program-program populer untuk mengangkat citra pimpinan daerah yang bermuatan politis sangat dimungkinkan untuk Dinas Pendidikan. Bandarlampung dengan Biling-nya, Lampung Barat dengan Bantuan Siswa ; adalah bantuan sosial yang sangat baik idenya, walaupun dalam implementasinya banyak hal yang tidak sesuai sasaran bahkan tidak jarang muatan politiknya menjadi begitu kental.

Terlepas dari hal-hal tersebutkan di atas, persoalannya sekarang bagaimana kesiapan Dinas Provinsi untuk melanjutkan program tersebut. Pada satu sisi program tersebut bagu, pada sisi lain jika itu dilaksanakan oleh Provinsi maka azaz keadilan harus dikedepankan, maksudnya harus diberlakukan untuk semua daerah. Pertanyaan tersisa adalah bagaimana dengan penganggaran, dan instrumen untuk menemukenali masalah apakah juga sudah disiapkan.

Masalah Tenaga Pendidik dan Kependidikan
Secara jujur harus diakui pada saat ini banyak sekolah yang kekurangan tenaga pendidik dan kependidikan PNS, tetapi kelebihan tenaga pendidik dan kependidikan honor. Hal ini terjadi karena sekolah adalah lembaga “penitipan” para pemegang kekuasaan untuk menjadikan sekolah sebagai terminal untuk menjadi PNS melalui tenaga honorer.

Menyikapi kondisi di atas Dinas Pendidikan Provinsi sudah harus menyiapkan tata aturan agar tidak terjadi “ledakan” tenaga honorer yang tidak sesuai bidang keahlian, jumlah besaran, dan penganggaran. Jangan sampai justru Dinas Provinsi menambah masalah baru dengan “menitipkan” lagi tenaga honorer sehingga membebani anggaran Belanja Pegawai Provinsi. Penulis memperkirakan masa jeda seperti sekarang ini, jumlah tenaga “honorer siluman” seperti ini akan membengkak.

Masalah lain yang tidak kurang urgennya adalah kepatutan dan kepatuhan dalam pengangkatan Kepala Sekolah. Selama ini Pemda Tingkat II terkesan mengangkat Kepala Sekolah dengan menggunakan tataaturan yang tidak sesuai dengan tataaturan baku. Kepentingan “Balas Jasa politik” dan kepentingan “material” sering mengemuka, sehingga ada semacam transaksional kepentingan yang begitu dominan. Untuk itu diperlukan suatu aturan yang jelas oleh Dinas Pendidikan Provinsi tentang pengangkatan Kepala Sekolah secara terbuka dan transparan. Dinas disarankan membentuk tim indipenden untuk menilai kinerja kepala sekolah yang ada guna direkomendasi diteruskan atau tidak, kemudian pada masa depan untuk jabatan Kepala Sekolah dibuka tes atau uji kepatutan dan kelayakan oleh satu tim indipenden yang dapat menghasilkan pilihan-pilihan, dan keputusan yang diambil oleh Kepala Dinas berdasarkan hasil uji kepatutan dan kelayakan tadi.

Mulai dari sekarang Dinas Pendidikan Provinsi sudah harus melakukan penelusuran rekam jejak dari semua guru SMA/SMK yang menjadi kewenangannya; karena disinyalir ada sejumlah oknum guru yang melakukan ketidakpatutan dalam proses kenaikan pangkat. Sehingga bisa terjadi secara kepangkatan yang bersangkutan tinggi, namun dilihat dari kinerja akademiknya tidak sebangun dengan ketinggian pangkat administratifnya. Hal ini penting agar mereka yang nantinya masuk bursa Kepala Sekolah diperoleh yang memang layak tanding.

Terakhir perangkat yang harus disiapkan adalah Pengawas Sekolah. Untuk fungsional satu ini Dinas Pendidikan Provinsi harus memiliki alat ukur kreteria bagi mereka yang akan masuk pada karier ini. Pengawas Sekolah bukan jabatan “terusan” dari tidak menjadi Kepala Sekolah lagi. Akan tetapi memang jabatan akademik untuk memberikan pendampingan kepada guru yang ada di lapangan dalam menggelar proses pembelajaran. Kreteria minimal berpendidikan Strata dua Pendidikan yang merupakan alumni Perguruan Tinggi terakreditasi, memiliki rekam jejak akademik, dan lain sebagainya; bisa dijadikan kreteria untuk melakukan test kepatutan dan kelayakan bagi calon Pengawas Sekolah.

Semoga Dinas Pendidikan Provinsi sudah mempersiapkan diri baik secara fisik maupun suasana batin untuk menerima tugas berat baru dengan kembalinya SMA/SMK keranah tugasnya.








PENDIDIKAN SEBAGI SISTEM

PENDIDIKAN SEBAGI SISTEM
 A.Pengantar

Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “systema”, yang berarti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupaka suatu keseluruhan. Sistem merupakan istilah yang memiliki makna sangat luas dan dapat digunakan sebagai sebutan yang melekat pada sesuatu (Rustam Ali Sodiqin, diakses pkl 11.45. 21 Agst 2016).

Sistem adalah sebagai kesatuan dari unsur-unsur atau komponen yang saling berinteraksi guna mencapai tujuan. Hubungan antarelemennya sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan antara satu dengan lainnya. Hubungan ini merupakan hubungan fungsional, karena satu sama lain berfungsi sebagai sebab akibat dari lainnya. Hubungan serupa ini dalam kehidupan nyata banyak sekali contoh yang dapat kita ambil.

Pendidikan sebagai suatu kebutuhan hidup manusia, tentunya berproses seiring dengan tugas perkembangan yang melekat pada periodesasi perkembangan pada manusia. Oleh sebab itu idealnya tugas perkembangan manusiaa itu sejalan dengan usia kronologisnya. Namun demikian pada kenyataannya bisa saja tidak sejalan, bahkan saling mendahului diantara keduanya. Oleh sebab itu di kalangan ahli pendidikan dikenal Pendidikan In-Formal, Formal, dan Non-Formal.

Pendidikan sebagai proses dalam berkehidupan tidaklah berarti berjalan terpisah-pisah; akan tetapi merupakan rangkaian yang tak terpisahkan antara segmen satu dengan segman lainnya, dan proses ini berjalan sepanjang hayat manusia itu. Setiap segmen itu memiliki perbedaaan antara individu satu dengan individu lainnya, baik dalam bidang pengalaman belajar yang  diperoleh, maupun peristiwa pembelajaran yang dihadapi. Bisa saja fragmen kehidupan yang dihadapi sama, akan tetapi dalam menyikapi dan pengalaman individual yang diperoleh akan berbeda antara satu individu dengan individu lainnya.

B.Kurikulum dan Pendidikan

Kurikulum adalah rancangan pengalaman belajar yang disiapkan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Selama ini pengertian kurikulum diartikan secara sempit diperuntukkan pada pendidikan formal dan non-formal. Jika itu dimaknai sebagai sesuatu yang tertulis, maka hal itu benar. Namun perlu diingat bahwa ada kurikulum yang tidak tertulis, beberapa ahli menyebutnya sebagai hidden curicullum (Sudjarwo : 2015). Kurikulum tak tertulis ini sebenarnya lebih luas dan sangat beragam tersedia pada Pendidikan In-formal, Formal, maupun Non-Formal. Menurut UU no. 20 tahun 2003, kurikulum adalah “Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. (Bab I Pasal 1 ayat 19). (UU. Sisdiknas : 2003).

Kurikulum Pendidikan In-FormalPendidikan in-formal dilaksanakan dalam kehidupan keluarga; tentunya tidak mengenal kurikulum formal yang tertulis, akan tetapi pada lembaga ini proses pendidikan melalui proses sosial seperti sosialisasi, akulturasi, dan assimilasi. Bahan bakunya adalah tata laku atau norma yang hidup didalam keluarga itu.

Pengenalan akan perilaku ; baik –buruk; suka – tidak suka, dan lain sebagainya justru merupakan proses pembelajaran dalam keluarga dengan kurikulum informalnya. Proses ini berjalan maju berkelanjutan, sehingga anggota keluarga tadi membentuk keluarga baru karena perkawinan. Pada keluarga baru tadi ada beberapa perilaku bawaan dari keluarga pertama yang terus terbawa menjadi kebiasaan, dan ini menjadi semacam  “penanda” dari garis turun keluarga tersebut bahkan berproses menjadi belife.

Kurikulum Pendidikan FormalPendidikan formal sangat mensyaratkan adanya kurikulum dalam proses pembelajaran; namun perlu dipahami bahwa kurikulum formal secara tertulis tidak lagi dibicarakan pada sajian ini; akan tetapi pembicaraan lebih pada kurikulum yang tidak tertulis.

Perlu disadari bahwa proses pembelajaran tidak hanya berlangsung di muka/di dalam kelas saja, akan tetapi juga berlangsung di luar kelas; bahkan di luar lembaga pendidikan. Pendidikan dalam hal ini menjadi “patron” bagi peserta didiknya, sehingga apa yang menjadi perilakunya akan menjadi kurikulum hidup bagi peserta didiknya. Sebagai contoh; banyak dosen yang tidak belajar ilmu Dedaktik-Methodik secara teeoritis keilmuan, tetapi begitu diaa menjadi dosen, maka dosen yang dijadikan patronnya, akan menjadi contoh panutannya dalam mengajar. Dengan demikian dosennya tadi telah menurunkan keteladanan kepada mahasiswanya melalui kurikulum kehidupan, yang semua itu berbentang panjang sejalan perjalanan studi mahasiswanya.

Kurikulum Pendidikan Non-FormalPendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat di Indonesia dimasukan dalam kategori pendidikan non-formal.  Di dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 26 dan 27 disebutkan pedidikan non formal dan informal diakui keberadaannya oleh undang-undang sebagai pengganti/ pelengkap pendidikan formal. (UU Sisdiknas, 2003). Pembinaannya di bawah Ditjen PNFI, dahulu dikenal dengan nama Ditjen Pendidikan Luar Sekolah. Secara konsisten berfungsi melayani kebutuhan masyarakat. Kontribusi Ditjen PNFI bagi pendidikan masyarakat semakin luas dan perkembangannya menggembirakan.

Produk dari Pendidikan Non-Formal akhir-akhir ini dihargai setara dengan pendidikan formal. Ini dapat kita lihat diakomodasinya Tamatan Kejar Paket A,B,C menjadi setara dengan pendidikan SD, SLTP, dan SLTA. Bahkan alumni paket C dapat mendaftar mengikuti ujian seleksi masuk Perguruan Tinggi.

Secara keseluruhan bahwa pendidikan itu perjalanannya berproses, dan tidak dapat dipisahkan secara nyata antara lingkup informal, formal, dan nonformal. Sifat maju berkelanjutana ini jika digambarkan maka akan tampak sebagaai berikut:   
                             Gambar : Proses Pertautan  Wilayah Pendidikan dilihat dari cakupan.

Jika dilihat dari ilustrasi gambar di atas bahwa pendidikan itu berlangsung secara proses, dan pakem formal yang disebut dengan kurikulum itu hanya ada pada lembaga pendidikan formal dan non-formal. Namun demikian bukan berarti bahwa pendidikan itu berlangsung terpaku pada kurikulum formal saja, akan tetapi juga dikontribusi oleh kurikulum tersembunyi (hidden curicullum) yang dimakalah ini diberi label “Kurikulum Kehidupan”.

Berdasarkan konsep pemikiran di atas bahwa pendidikan itu berjalan tidak bisa sendiri-sendiri atau complementer, akan tetapi harus berproses berkelanjutan dan berkaitan dengan banyak hal. Oleh sebab itu Cony Semyawan mengatakan bahwa kurikulum yang baik itu adalah kurikulum yang siap menampung perubahan jaman (1983). Bahkan lebih jauh dijelaskan bahwa kurikulum merupakan komponen proses dalam penyelenggaraan pendidikan.  Atas dasar itu juga maka hasil pendidikan tidak dapat dilihat hasilnya secara cepat; akan tetapi haruslah melalui proses yang panjang juga dan waktu yang lama.

C. KesimpulanHasil pendidikan tidak dapat dilihat atau dirasakan hasilnya dalam waktu singkat, karena penyelenggaraan pendidikan itu berjalan melalui proses. Oleh sebab itu Pendidikan adalah instrumen by disain dalam proses kehidupan manusia yang berlngsung sepanjang hayat.  
DAFTAR PUSTAKA
Semyawan, Cony : 1983. Pengantar Ilmu Pendidikan. IKIP Jakarta.www.curiculum.com.Rustam Ali Sodiqin, diakses pkl 11.45. 21 Agst 2016.Sudjarwo : 2015.   Proses Sosial dan Interaksi Sosial dalam Pendidikan. Mandar Maju. Bandung.Undang Undang Sistim Pendidikan Nasional, 2003.