Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Kamis, 29 Desember 2016

TUJUH TAHUN “GUS DUR” (Refleksi dan introspeksi diri)

TUJUH TAHUN “GUS DUR” (Refleksi dan  introspeksi diri)

Oleh : Sudjarwo

Guru Besar FKIP Universitas Lampung.
Bertepatan dengan tanggal 30 Desember  nanti genap tujuh tahun Bapak Bangsa Abdulrahman Wahid atau lebih dikenal dengan nama Gus Dur , meninggalkan kita. Banyak jejak-jejak kehidupan yang beliau tinggalkan, terlepas terhadap penilaian Pro dan Kontra, beliau telah meninggalkan sejarah. Tulisan ini tidak memposisikan diri pada keduanya; akan tetapi ingin melihat dari sisi lain atau prespektif yang mungkin berbeda.
Dilihat dari ketokohan, tidak ada orang yang menafikan bahwa Gus Dur memang tokoh, terlepas dari sudut pandang yang berbeda, dan membuat kontroversi yang terkadang begitu tajam. Tetapi justru ini menjadi semacam kekuatan bagi Gus Dur, karena setiap kita membicarakan beliau; maka mozaik ini akan muncul dengan sendirinya. Hal ini juga sekaligus meneguhkan pada pendapat yang menyatakan bahwa Gus Dur adalah Bapak Kebhinekaan.
Sisi lain pemikiran-pemikiran beliau menjadikan “Aliran” dalam sistem paradigma berfikir dari sejumlah orang, yang kemudian disebut oleh orang lain juga sebagai “Gusdurian” kepada para pengikut aliran tersebut.Perlu diingat bahwa tidak semua Presiden Indonesia yang pemikirannya menjadi aliran, dalam sejarah hanya ada Sukarnoisme,  Habibinomic dan Gusduria. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana kuatnya pengaruh pemikiran tokoh ini pada kehidupan berbangsa dan bernegara .
Resiko pemikiran yang menjadi aliran adalah berada pada posisi Pro dan Kontra  setiap saat, dan itu merupakan sesuatu hal yang wajar. Bahkan pada waktunya nanti akan ada kajian kritis yang menimbang aliran itu dimuka pengadilan ilmiah. Namun untuk Gusdurian apapun timbangannya tetap memiliki keunggulan ontologis yang khas.Salah satu bentuk keunggulannya ialah aliran ini merupakan kombinasi lokal content dan Islam. Oleh sebab itu aliran ini menjadi cepat berkembang dan mendapatkan banyak simpati; paling tidak menjadi seksi untuk dikaji. Kekhasan lainnya ialah mampu menjadi jembatan lintas multi, dalam arti bahwa Gusdurian tidak menjadi milik kelompok tertentu, tetapi menjadi milik mereka yang merasa memiliki Gus Dur.
Sederet gelar kemayarakatan dan kebangsaan ini menunjukkan bahwa beliau memang orang yang diberi kelebihan atau dalam bahasa Jawa disebut “linuwih”.Namun kelebihan yang bersifat non fisik itu tidak dapat dilihat oleh mata jasmani, hanya dapat dirasakan melalui mata hati. Persoalannya tidak semua orang mampu menggunakan mata hatinya; sehingga tidak jarang hujatan dan celahan yang muncul dari mereka dengan berlindung pada rasionalitas. Namun komentar-komentar itu sedikitpun tidak menjadikan marwah Gus Dur menjadi pudar; justru sebaliknya. Oleh sebab itu Gus Dur justru besar karena ada pada posisi puncak ketakjupan dan ketidaksukaan. Dua kutup yang berbeda dan menyatu; di atas puncak itulah Gus Dur berada.
Apabila Kartini punya “Habislah Gelap Terbitlah Terang”, Gus Dur justru memiliki “Tetap Terang Sekalipun dalam Gelap”. Kendala fisik tidak menjadikan beliau terpenjara, justru beliau menjadi begitu merdeka ; terutama dalam gagasan besar dan pemikiran besar. Tidak jarang pikiran-pikiran atau ide-ide beliau menembus jamannya, sehingga banyak orang baru paham akan ide dan gagasannya setelah beliau wafat.
Pemberian labelatau simbol apapun kepada Gus Dur tidak akan menyurutkan ketakziman banyak orang kepada beliau. Exsisting Ontologi yang melekat pada beliau begitu kuat, sehingga dalil apapun  yang dipakai untuk menafihkan justru berbalik menjadi mengokohkan. Anomali sosiologis serupa ini sangat jarang terjadi melekat pada ketokohan seseorang.  Justru kebanyakan ketenaran seseorang menjadi seketika runtuh, begitu ditemukan celah kelemahan ontologis pada yang bersangkutan. Banyak sekali peristiwa seperti itu terjadi; masih segar dibenak kita, tokoh agama kondang, bisa mengalami social rush begitu cepat, karena terjadi semacam kekeliruan sosial yang tidak bisa diterima oleh logika sosial. Ada juga Motivator yang mengalami hal yang sama karena kesalahan manajemen sosial.
Hal lain yang juga menumbuhkembangkan Gusdurian adalah kekompakkan keluarga inti dalam menjunjung tinggi marwah beliau. Pada keluarga ini tidak ditemukan silang posisi antarketurunan dalam mensikapi dan mendukung kebesaran Gus Dur. Ini menjawab dua hal, pertama, bahwa ketokohan sebagai seorang Bapak memang betul-betul ditanamkan oleh Gus Dur dan Ibu Sinta Nuria pada generasinya.  Atas nama kemerdekaan pribadi boleh saja untuk beda pendapat, namun ternyata generasi Gus Dur di rumah tetap selalu ada pada koridor yang sama. Berbeda dengan tokoh yang lain di Indonesia ini; atas nama Kemerdekaan bisa saja dua bersaudara atas nama payung yang sama, tetapi berhadaphadapan dalam mengaplikasikan ideologi payungnya.Kedua, bahwa Gusdurian sebelum keluar sebagai konsumsi publik terlebih dahulu terinternalisasi secara baik pada keluarga inti dan para santrinya. Hal ini berarti ada semacam masa pengendapan, penyaringan, evaluasi secara sosiologis terlebih dahulu. Dengan demikian sesuatu yang keluar sudah melalui proses panjang pemasakannya.
Sisi lain yang juga menjadi keunggulan beliau adalah melihat semua persoalan tidak terlepas dari sisi humoris manusiawi. Bingkai humor ini tidak jarang baru terasa jika kita sudah sendiri dan merenungkan dari apa yang beliau ucapkan. Adagium seperti BEGITU SAJA KOK REPOT, SEPERTI SEKOLAH TK, dan masih banyak lagi. Ucapan ucapan humor itu sering membuat orang tersinggung dan membuat orang lain marah. Namun dalam marah orang itu sebenarnya memunculkan kegelian jilid dua bagi yang melihatnya, yaitu geli yang pertama adalah dari ucapan Gus Dur sendiri, geli yang kedua,adalah perilaku orang yang marah karena sentilah humor Gus Dur, kita memandangnya jadi geli. Dobleeffek atau mungkin tripleeffek ini tidak banyak orang bisa memunculkannya, bahkan sekelas pelawak sekalipun.
Adalah sesuatu yang wajar sekiranya Gur Dur mendapatkan penghormatan sebagai Maha Guru Kemanusiaan. Hal ini dapat kita renungan dari kebijakkan beliau menghapuskan Departemen Sosial. Karena sifat sosial itu adalah fitrah yang harus melekat pada manusia, dan jika sifat ini kemudian dilembagakan dengan mendapatkan fasilitas, maka itu berarti membuat kemanjaan baru sekaligus mengingkari eksistensi individu yang merupakan sublimasi dari sifat individual dan sifat sosial. Dengan katalain, masalah-masalah sosial itu tidak lebih juga masalah individual, karena kedua hal itu bak dua sisimata uang yang sama. Jika manusia melaksanaan perilaku individual, sebenarnya dia juga dalam koridor perilaku sosial. Begitu juga manakala manusia itu melaksanakan perilaku sosial, sebenarnya itu adalah tugas wajib individual yang melekat. Oleh sebab itu cukup setingkat Menteri saja dan tanpa Departemen, jika tugas filosofisnya demikian.
Pikiran-pikiran filosofi di atas banyak baru disadari setelah beliau tidak ada. Banyak diantaranya justru mereka yang dahulu mengupat, setelah melek filsafat, baru menyadari bagaimana kesesatan berfikir yang mereka alami selama ini. Banyak hal yang ditinggalkan oleh Gus Dur sesuatu yang belum selesai, justru beliau mempersilahkan kepada kita untuk menyelesaikannya. Hal seperti ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang sudah sampai pada tingkatan berfikir paripurna, dan tidak akan sampai (bhs Jawa : Nyandak) bagi mereka yang tataran berfikirnya masih setengah-setengah, apalagi baru tingkat pemula.
Demikian juga pada waktu beliau menutup Departemen Penerangan, semua orang bertanya, lalu media apa yang dipakai pemerintah untuk menginformasikan semua pekerjaan kepemerintahan. Ternyata ada dasar filosofis yang selama ini kita abaikan. Sadar atau tidak sadar kecenderungan individu itu akan menunjukkan kebaikannya saja, kelemahan yang dimiliki akan ditutupi serapat mungkin. Tindakan bodoh ini baru kita sadari justru kecenderungan ini terbawa kepada perilaku kelembagaan yaitu mengumbar kebaikan diri, lupa kekurangan yang harus diperbaiki. Akibat lanjut ialah kita akan terninabobok dengan laporan Asal Bapak Senang (ABS) yang sengaja dibuat untuk menyenangkan hati atasan, sehingga lupa akan kekurangan. Tidak jarang pada waktu itu selalu keluar kalimat ATAS PETUNJUK BAPAK PRESIDEN. Lalu apa guna dibuat Departemen kalau semua petunjuk dijadikan dasar, bukan hasil kajian lapangan. Kelemahan manusiawi ini oleh Gus Dur cepat ditangkap dan diselesaikan dengan cara membubarknnya. Akibatnya informasi menjadi terbuka, kita masing-masing menjadi sumber informasi sekaligus Polisi informasi. Karena jika ada informasi yang tidak patut semua kita akan mencegahnya, sebaliknya jika ada informasi yang patut disebarkan maka kita akan menyebarkannya. Terlepas dari segala kelemahan cara ini, paling tidak kita akan berproses menjadi penerima dan penyebar informasi yang dewasa dan bertanggungjawab.
Masih banyak lagi tinggalan filosofis dari Gud Dur pada bangsa ini yang tidak mungkin kita bahas satupersatu pada halaman yang terbatas ini, akan tetapi paling tidak mulai sekarang kita menyadari bahwa apa yang dipikirkan Gus Dur adalah pemikiran yang melampaui jamannya. Jika ada pepatah yang mengatakan HARIMAU MATI MENINGGALKAN BELANGNYA, untuk seukuran Gus Dur rasanya tidak tepat, justru untuk ukuran beliau Harimau Mati bukan hanya meninggalkan belangnya yang indah, tetapi juga Cakarnya yang kokoh, Taringnya yang tajam, sorot mata yang kemilau, sera kegigihannya yang tanpa batas.
Selamat Jalan Gus, hanya doa yang mampu kami panjatkan untukmu, karena kesempurnaanmu telah membawa kami kepada pemahaman akan ketidak sempurnaan kami. Jejak-jejakmu hanya mampu kami pandang, karena kami tidak akan mampu menapaki tapak-tapakmu. Tapakmu yang telah menghujam Nusantara, bahkan Dunia, membuat kami tidak berarti apa-apa. Hanya ALLOH yang Maha Tahu menempatkan orang semulia dirimu dialam sana. Sekali lagi SELAMAT JALAN GUS.





Sabtu, 24 Desember 2016

22 Desember

22 Desember

Oleh: Sudjarwo

Guru Besar dan Direktur Pascasarjana Unila

Pada saat merenungkan peristiwa 2 Desember yang digagas banyak orang, pemikiran keluar dari pakem muncul dengan sebersit pertanyaan ; jangan-jangan orang abai dengan 22 Desember. Tanggal itu dikenang sebagai Hari Ibu, anak-anak muda sekarang yang gemar bahasa asing mengganti label dengan Mother Day. Bahkaan ada diantara mereka membuat Kue penghormatan buat Ibu mereka. Hal serupa itu sah-sah saja untuk jaman yang sudah berubah ini.
Pada hari itu mengingatkan kembali sosok seorang Ibu yang menunggui anak-anaknya belajar, di bawah temaram Lampu Minyak (Jawa: Ublik), beliau memainkan Kawat Kait benang untuk merajut, menjadikan Taplak Meja, atau apapun lainnya. Sesekali beliau bersenandung lagu lawas, yang tidak tahu siapa penulisnya lagu itu sampai sekarang.  Sesekali juga beliau bertanya kepada anak-anaknya apa yang bisa beliau bantu. Wajah ihlas walau lelah tampak menggurat diwajahnya; seakan beliau membimbing kami untuk menggapai cita-cita masa depan, walau pada saat itu kami belum tahu apa masa depan itu, kami hanya ingin menyenangkan Ibu bahwa kami menurut perintahnya. Ibu sangat paham kapan kami lelah dan harus tidur, dan kapan waktunya kami mendengarkan dongengan saat menjelang tidur.
Pertanyaan tersisa, masih adakah suasana itu pada keluarga Indonesia sekarang. Jawabannyanya, rasanya sudah menjadi barang langka. Semua atas nama kemajuan dan modrenisasi, sudah berubah 360 derajat. Sekarang sudah menjadi pandangan umum, keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, Anak berada pada satu tempat yang sama tetapi pada ruang yang berbeda.  Secara lahiriah mereka berada di tempat yang sama, padahal mereka tidak terhubung satu sama lain. Mereka tereliminasi secara masif melalui media sosial dengan ruang lain bersama orang lain. Dengan kata lain mereka berada pada tempat yang sama tetapi tidak pada ruang yang sama.
Revolusi Media Sosial (ReMedSos) ini sekarang begitu masif melanda individu Indonesia, bahkan ada petinggi Indonesia yang menyatakan rata-rata orang Indonesia berada pada durasi 13 jam perhari berada di MedSos. Jadi tidak mustahil untuk mengumpulkan sepuluh juta orang di Monas tidak perlu menggunakan undangan fisik, cukup undangan senyap melalui MedSos hal itu bisa terwujud dalam tempo yang singkat. Tidak perlu harus menggunakan Helikopter buat menyebar undangan. Demikian juga mencari dana untuk suatu kegiatan tidak harus membawa proposal dari pintu kepintu, cukup mempostingnya di laman gaget, semua akan terkumpul.
Ada yang menggantung sebagai residu sosial dari revolusi MedSos, yaitu pekerjaan Ibu makin berat dari sebelumnya. Ibu harus mampu membaca gerak anak di rumah bukan hanya dengan pancaindra saja, akan tetapi juga melalui mata batin. Karena mereka berinteraksi dengan teman melalui media, tidak jarang efek emosi dari media akan mempengaruhi, dan jika terabaikan bisa berakibat fatal. Oleh sebab itu ibu harus melek teknologi, agar keluarganya terhindar dari dampak negatif keberadaan teknologi.
Menjadi Ibu masa kini ternyata bukan sesuatu yang mudah, di samping harus memiliki kemampuan lebih bidang manajemen keuangan, karena tingginya biaya ekonomi, juga harus memiliki kemampuan menguasai teknologi komunikasi. Banyak sekali ibu mengalami gagal paham akan persoalan anak-anaknya; karena rendahnya kemampuan penguasan teknologi informasi.
Ibu masa kini dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit yang tidak jarang harus mengorbankan tenaga dan pikirannya di luar kewajaran. Bahkan harus bekerja ekstra keras, karena menjadi Polisi sekaligus Penasehat buat anak-anaknya. Pekerjaan rumah yang tadinya hanya sekitar: Dapur, Kasur, dan Sumur; sekarang ditambah dengan ; TUTUR, SEMBUR, dan UWUR.
Tutur adalah nasehat yang harus diberikan kepada seluruh isi rumah; terutama pada anak-anaknya. Tutur lebih pada ucapan bijak yang disampaikan ibu kepada anak-anaknya. Tutur yang lebih dikenal dengan Pitutur adalah nasehat-nasehat mulia yang disampaikan ibu pada anak2nya. Nasehat ini lebih menekankan pada tata laku moralitas bagi yang mendengarkannya. Namun ada prasyarat yang harus dimiliki yaitu sipemberi nasehat, dalam hal ini Ibu, harus mampu menunjukkan perilaku mulia seperti tuntutannya. Tanpa itu; maka Tutur yang diberikan akan kehilangan kewibawaannya, dan jika itu dilakukan berlebihan ; maka kesan cerewet yang muncul ;  bahkan  anak anak sekarang akan memberi label lebay.
Sembur adalah nasehat yang bernada keras, namun bukan bermakna marah. Ibu harus mampu melakukan ini kepada para putra-putrinya di rumah. Nasehat yang keras diperlukan untuk membangun semangat, sehingga para putra-putrinya tidak berjiwa lemah.  Sembur bukan berarti harus bawel, atau juga harus dengan nada tinggi. Sembur adalah cara Ibu memompakan semangat pada putra-putrinya agar tidak menyimpang dari pakem laku yang sudah ditetapkan. Sembur lebih bernuansa menegakkan disiplin pada putra-putrimya, sehingga mereka kelak menjadi orang-orang yang tangguh dalam menghadapi tantangan hidup.
Uwur adalah memberikan semacam bantuan finansial seadanya kepada para putra- putri. Finansial disini bukan hanya berupa keuangan semata, akan tetapi lebih pada hal-hal yang bersifat bantuan material. Ibu harus siap menjadi Juru Selamat bagi putra-putrinya dalam arti luas.
Tampak di sini semakin nyata bahwa untuk menjadi Ibu pada era yang akan datang tidak cukup hanya pandai, tetapi dituntut cerdas. Tuntutan ini sejalan dengan sudah tidak adanya “dinding” di antara rumah-rumah. Semua sudah tembus dengan gelombang informasi melalui Media Sosial, yang menyerbu secara masif ke semua penjuru. Revolusi MedSos ini jika tidak dimanfaatkan dengan bijak oleh para Ibu sebagai orang yang ditakdirkan untuk mendampingi putra-putrinya, maka akan terjadi Goncangan Sosial yang dahsyat melanda keluarga.
Anak-anak diusia dini sampai remaja mengidolakan Ibunya. Posisi Ibu sebagai posisi sentral yang mereka anggap dapat menyelesaikan apapun persoalan mereka. Kondisi seperti ini banyak keluarga baru yang mengambil keputusan Ibu tidak harus ikut mencari nafkah, cukup mengurus anak-anak di rumah. Bahkan dari hasil penelitian  homeschooling (Sekolah Rumahan) ternyata 99 persen mentornya adalah Ibu mereka sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa Ibu menjadi kata penentu bagi masa depan anak-anakknya.
Namun ada sisi lain yang juga kita harus perhatikan, ternyata jumlah terbesar penghuni Panti Werda adalah Perempuan. Rata-rata mereka adalah Oma-Oma yang sudah hidup sendiri, atau tidak memiliki keluarga. Pada Hari Ibu ini mereka juga berhak mendapatkan perhatian kita semua, karena mereka juga adalah bahagian dari Hari Besar itu. Tidak jarang diantara mereka waktu mudanya berjasa, akan tetapi karena faktor tertentu sehingga mereka berada di Panti Werda. Banyak jasa mereka seiring perjalanan waktu, menjadi terlupakan. Saatnyalah kita pada momentum hari bersejarah ini untuk megingat mereka.
Kata “Ibu” sendiri semua kita telah mempopulerkannya dengan memberikan kata depan kata “IBU” pada beberapa daerah, benda, dan lainnya untuk memberikan labeling penghormatan yang lebih. Kata “Bapak” tidak pernah dapat menyamai kata lebih dari “Ibu”. Hal ini menunjukkan secara Transendental Ibu memiliki kelebihan. Kelebihan kodrati ini menjadikan semacam kekuatan dahsyat yang hanya dimiliki oleh Ibu.
Menghormati Hari Ibu tidaklah cukup dengan membebaskannya hari itu dari semua pekerjaan rutinitas yang melekat pada Ibu, atau memberinya hadian istimewa dengan mengajak makan bersama, atau mengajaknya bertamasya; akan tetapi bagaimana memberikan apresiasi kepada Ibu untuk mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai manusia. Menempatkan Ibu pada kedudukan yang bermartabat sebagai sumber kehidupan keluarga.
Hal ini sangat jarang dilakukan karena semua kita cenderung terjebak kepada rutinitas, tidak dapat berfikir keluar dari pakem yang ada. Hari Ibu hanya dihiasi dengan sekedar formalitas, selesai pada berkain kebaya, kunjungan ke Panti, makan-makan; semua selesai dan kembali keutinitas. Apakah hanya itu untuk Ibu ?.