HARI IBU
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar dan Direktur Pascasarjana Unila
Entah sudah berapa kali judul tulisan
ini ditulis dan diganti dengan beberapa kalimat, namun terasa masih
tidak begitu tepat, ternyata kembali lagi ke judul sesuai tema dan peristiwa.
Semua kita hapir tidak pernah gagal paham, ada dua peristiwa yang selalu
diperingati di Indonesia berkaitaan dengan sosok wanita mulia yaitu Hari
Kartini dan Hari Ibu. Walau dalam kenyatannya kedua hari itu “Mother Day “ yang
jatuh pada 22 Desember lebih mendunia.
Sosok Ibu sebagai pengejawantahan cinta kasih yang digambarkan bak
matahari yang selalu memberi tetapi tidak mengharap kembali, adalah simbolisasi
dari kekhasan ciptaan illahi yang memiliki derajat kelebihan dari lainnya. Rosul pernah ditanya oleh sahabat siapa yang
harus di hormati di dunia ini, ternyata sampai tiga kali jawaban beliau selalu
“ibumu, ibumu, ibumu”, baru kemudian Bapak mu.
Kemuliaan seorang Ibu juga dapat kita temukan dalam keseharian;
sekalipun beliau belum makan, dan mungkin lapar, tidak pernah mengatakan kepada
anak-anaknya. Sebelum anak-anaknya makan, beliau tidak akan makan duluan, dan
alasannyapun begitu bijak; makanlah kalian karena Ibu belum begitu lapar.
Cerita Mahabratapun tidak luput dari peran Ibu; ini kita bisa baca
Peran Dewi Kunthinalibroto ibu para Pendawa. Versi Mahabrata Jawa ; Ibu Kunthi ini mengasuh tiga orang anak
kandungnya dan dua orang anak tirinya begitu penuh tanggungjawab sampai
mengantarkannya kepada kemenangan perang Baratayuda. Dengan penuh kasih Ibu
Kunthi tidak membedakan antara anak kandungnya dengan anak tirinya. Beliau
mengasuh, membesarkan dan mendidiknya sehingga sukses menuju pengembalian
singgasana kerajaan Hastinapura.
Masih sederet lagi cerita mengenai Ibu yang mengharubiru perasaan,
namun semua itu akhir-akhir ini dirusak oleh sebagian kecil mereka yang ingin
mengingkari tugas kodrati ini.
Akhir-akhir ini kita juga banyak dikejutkan adanya penemuan janin yang
tidak berdosa disembarang tempat. Perbuatan yang dilakukan oleh identitas ibu
ini justru merusak citra kemuliaan Ibu sebagai mahluk yang dikenal welas asih.
Sisi lain lagi adalah atas nama kesamaan hak dan kebebasan; maka sering
kita disuguhkan dengan hal-hal yang sejatinya bertentangan dengan azaz kodrati
sebgai ibu. Sehingga peran ganda lebih diberi makna multitafsir yang tidak
jarang makna aslinya menjadi bias. Karena itu celah untuk melakukan
rasionalisasi making terbuka; dan ini sering tidak disadari oleh semua pihak
sehingga menyandera kaum Ibu dalam arti bisa berbuat apa saja demi satu kata
yaitu emansipasi. Akibat pemahaman yang sesat akan emansipasi menjadikan
sesuatu menjadi kering tanpa makna.
Dewi Ajeng Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Din; dan masih banyak lagi
para tokoh wanita, yang ternyata dalam kesehariannya tidak pernah melepaskan
diri dari kodrat kewanitaan. Namun demikian mereka tetap disegani dari masa
generasinya sampai hari ini. Hal ini karena mereka memiliki kharisma Ibu yang
begitu kental sehingga spektrumnya melampaui jamannya.
Persoalan lanjut adalah apakah dengan jaman Now sekarang ini “mother
Day” masih relevan. Tentu jawabannya bisa YA bisa juga TIDAK. Karena menilik
kondisi sekarang yang sudah sangat tidak bersekat antardunia; maka perubahan
antara YA dan Tidak juga menjadi sesuatu yang tidak mengejutkan. Bisa saja
ketokohan saat ini mungkin melebihi jaman beliau-beliau di atas jika itu
ukurannya adalah popularitas keahlian; atau bisa juga ukuran akademis; namun
jika dilihat dari keberterusan ideologis, mungkin akan menjadi berbeda.
Ibu yang bukan hanya memiliki tugas biologis saja, tetapi juga ternyata
bisa meneruskembangkan ajaran-ajaran ideologis yang tak tertandingi
kegigihannya. Kita tentu ingat di Indonesia ini ada Ketua Partai seorang Ibu
yang usianya sudah 70 tahun, dan setiap penggantian pucuk pimpinan partai
selalu tidak ada tokoh yang tampil untuk bertanding dengan beliau. Kharismatik
yang beliau bangun ternyata belum tertandingi sampai hari ini dan tampaknya itu
akan menembus batas dan waktu.
Menjadi tugas kita semua sekarang ialah bagaimana memaknai hari ibu itu
agar selalu sesuai tuntutan jaman, sehingga setiap perayaan dilakukan akan
tidak kehilangan Ruh nya. Barang kali sebagian pembaca masih ingat perayaan
hari ibu disekitar tahun 50 sampai dengan 60 an dilakukan dengan penuh
serimonial, bahkan tampak sedikit jor-joran. Namun seiring perjalanan waktu
perayaan itu meredub bagaikan lilin kehabisan batang. Akhir-akhir ini pemberian
ucapan selamat cukup ditulis di media sosial saja; tidak perlu harus bertatap
muka, apalagi harus menggunakan kebaya; kemudian melakukan ritual upacara
kebesaran; hal itu sudah sulit untuk
dilakukan.
Model seperti apa yang tepat sekarang untuk memperingati jasa jasa Ibu
; ternyata belum kita temukan . Hal ini terjadi karena pergeseran makna ibu
yang semula bagai induk ayam yang selalu merengkuh anak-anaknya melalui
sayapnya, melindunginya, bahkan mencarikan makan untuk anak-anaknya dengan cara
memanggil dengan suara khas bahwa induk ayam mendapatkan makanan untuk anaknya.
Sekarang berubah seperti halnya induk ikan Mujahir atau Nila dan sejenisnya;
yang dengan tenang melepaskan anak-anak mereka melalui mulutnya; untuk
bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan. Induk secara perlahan menjauh-menjauh
agar anak-anak mampu mandiri untuk menjadi dirinya sendiri. Induk hanya akan
dengan sigab menyedot anak-anaknya ke dalam mulut jika keadaan memang
membahayakan.
Perubahan pola asuh serupa ini membuat konsep ibu menjadi perlu di
redefinisi kembali; karena perubahan dari mengayomi, menjadi tut wuri ; adalah
perubahan fondamental tugas keibuan. Ukuran besaran jumlah anak, yang semula
didominasi oleh peran ayah; sekarang sudah bergeser pada ibu. Ibulah yang
menetapkan berapa jumlah anak yang diinginkan. Revolusi Sosial Keluarga serupa
ini tentunya akan berdampak pada banyak
hal, dari demografis, sosiologis, bahkan
sampai pada ekonomis.
Pergeseran tersebut menunjukkan bahwa peran ibu di dalam rumah tangga
menjadi begitu sentral; bahkan harus diakui bahwa peran-peran ini pada dasarnya
menjadikan buah simalakama bagi ibu. Pada sisi lain adalah mengangkat harkat
dan martabat dari ketokohan Ibu, namun pada sisi lain berarti menambah
tugas-tugas baru yang harus dilakukan oleh Ibu. Dari beberapa hasil penelitian
yang dilakukan oleh Mahasiswa Pascasarjana FKIP Universitas Lampung, ternyata
ditemukan bahwa keberhasilan homeschooling, sangat ditentukan oleh sejauh mana
frekuensi ibu dalam meluangkan waktu memberikan pendidikan pada anaknya, di samping
perhatian psikologis.
Tidaklah salah jika ada joke yang mengatakan, Jika anak berhasil yang
akan ditanya Bapaknya siapa, dan jika anak itu gagal akan diumpat ibunya siapa.
Ketidak adilan ini adalah cacat bawaan yang dibawa oleh pergeseran jaman, atau
dapat juga dikatakan sebagai residu sosial akibat perubahan sosial.
Namun ada sesuatu yang tidak berubah sampai kapanpun sesutu yang
melekat pada Ibu ; yaitu Surga ditelapak Kaki Ibu. Ungkapan ini menunjukkan
begitu luhurnya sosok ibu yang sampai ditamsilkan sebagai tuhan yang terlihat. Dengan
takzim dan rasa hormat yang
setingi-tingginya pada para Ibu, melalui tulisan ini kami menghaturkan ucap
“Selamat Hari Ibu”, terimakasih Ibu, karenamulah kami bisa seperti ini. Tanpamu
kami tidak ada, tanpamu kami tiada daya, dan tanpamu kami bukan apa-apa.