Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Rabu, 20 Desember 2017

HARI IBU

HARI  IBU
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar dan Direktur Pascasarjana Unila

Entah sudah berapa kali judul tulisan  ini ditulis dan diganti dengan beberapa kalimat, namun terasa masih tidak begitu tepat, ternyata kembali lagi ke judul sesuai tema dan peristiwa. Semua kita hapir tidak pernah gagal paham, ada dua peristiwa yang selalu diperingati di Indonesia berkaitaan dengan sosok wanita mulia yaitu Hari Kartini dan Hari Ibu. Walau dalam kenyatannya kedua hari itu “Mother Day “ yang jatuh pada 22 Desember lebih mendunia.
Sosok Ibu sebagai pengejawantahan cinta kasih yang digambarkan bak matahari yang selalu memberi tetapi tidak mengharap kembali, adalah simbolisasi dari kekhasan ciptaan illahi yang memiliki derajat kelebihan dari lainnya.  Rosul pernah ditanya oleh sahabat siapa yang harus di hormati di dunia ini, ternyata sampai tiga kali jawaban beliau selalu “ibumu, ibumu, ibumu”, baru kemudian Bapak mu.
Kemuliaan seorang Ibu juga dapat kita temukan dalam keseharian; sekalipun beliau belum makan, dan mungkin lapar, tidak pernah mengatakan kepada anak-anaknya. Sebelum anak-anaknya makan, beliau tidak akan makan duluan, dan alasannyapun begitu bijak; makanlah kalian karena Ibu belum begitu lapar.
Cerita Mahabratapun tidak luput dari peran Ibu; ini kita bisa baca Peran Dewi Kunthinalibroto ibu para Pendawa. Versi Mahabrata Jawa ;  Ibu Kunthi ini mengasuh tiga orang anak kandungnya dan dua orang anak tirinya begitu penuh tanggungjawab sampai mengantarkannya kepada kemenangan perang Baratayuda. Dengan penuh kasih Ibu Kunthi tidak membedakan antara anak kandungnya dengan anak tirinya. Beliau mengasuh, membesarkan dan mendidiknya sehingga sukses menuju pengembalian singgasana kerajaan Hastinapura.
Masih sederet lagi cerita mengenai Ibu yang mengharubiru perasaan, namun semua itu akhir-akhir ini dirusak oleh sebagian kecil mereka yang ingin mengingkari tugas kodrati ini.  Akhir-akhir ini kita juga banyak dikejutkan adanya penemuan janin yang tidak berdosa disembarang tempat. Perbuatan yang dilakukan oleh identitas ibu ini justru merusak citra kemuliaan Ibu sebagai mahluk yang dikenal welas asih.
Sisi lain lagi adalah atas nama kesamaan hak dan kebebasan; maka sering kita disuguhkan dengan hal-hal yang sejatinya bertentangan dengan azaz kodrati sebgai ibu. Sehingga peran ganda lebih diberi makna multitafsir yang tidak jarang makna aslinya menjadi bias. Karena itu celah untuk melakukan rasionalisasi making terbuka; dan ini sering tidak disadari oleh semua pihak sehingga menyandera kaum Ibu dalam arti bisa berbuat apa saja demi satu kata yaitu emansipasi. Akibat pemahaman yang sesat akan emansipasi menjadikan sesuatu menjadi kering tanpa makna.
Dewi Ajeng Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Din; dan masih banyak lagi para tokoh wanita, yang ternyata dalam kesehariannya tidak pernah melepaskan diri dari kodrat kewanitaan. Namun demikian mereka tetap disegani dari masa generasinya sampai hari ini. Hal ini karena mereka memiliki kharisma Ibu yang begitu kental sehingga spektrumnya melampaui jamannya.
Persoalan lanjut adalah apakah dengan jaman Now sekarang ini “mother Day” masih relevan. Tentu jawabannya bisa YA bisa juga TIDAK. Karena menilik kondisi sekarang yang sudah sangat tidak bersekat antardunia; maka perubahan antara YA dan Tidak juga menjadi sesuatu yang tidak mengejutkan. Bisa saja ketokohan saat ini mungkin melebihi jaman beliau-beliau di atas jika itu ukurannya adalah popularitas keahlian; atau bisa juga ukuran akademis; namun jika dilihat dari keberterusan ideologis, mungkin akan menjadi berbeda.
Ibu yang bukan hanya memiliki tugas biologis saja, tetapi juga ternyata bisa meneruskembangkan ajaran-ajaran ideologis yang tak tertandingi kegigihannya. Kita tentu ingat di Indonesia ini ada Ketua Partai seorang Ibu yang usianya sudah 70 tahun, dan setiap penggantian pucuk pimpinan partai selalu tidak ada tokoh yang tampil untuk bertanding dengan beliau. Kharismatik yang beliau bangun ternyata belum tertandingi sampai hari ini dan tampaknya itu akan menembus batas dan waktu.
Menjadi tugas kita semua sekarang ialah bagaimana memaknai hari ibu itu agar selalu sesuai tuntutan jaman, sehingga setiap perayaan dilakukan akan tidak kehilangan Ruh nya. Barang kali sebagian pembaca masih ingat perayaan hari ibu disekitar tahun 50 sampai dengan 60 an dilakukan dengan penuh serimonial, bahkan tampak sedikit jor-joran. Namun seiring perjalanan waktu perayaan itu meredub bagaikan lilin kehabisan batang. Akhir-akhir ini pemberian ucapan selamat cukup ditulis di media sosial saja; tidak perlu harus bertatap muka, apalagi harus menggunakan kebaya; kemudian melakukan ritual upacara kebesaran;  hal itu sudah sulit untuk dilakukan.
Model seperti apa yang tepat sekarang untuk memperingati jasa jasa Ibu ; ternyata belum kita temukan . Hal ini terjadi karena pergeseran makna ibu yang semula bagai induk ayam yang selalu merengkuh anak-anaknya melalui sayapnya, melindunginya, bahkan mencarikan makan untuk anak-anaknya dengan cara memanggil dengan suara khas bahwa induk ayam mendapatkan makanan untuk anaknya. Sekarang berubah seperti halnya induk ikan Mujahir atau Nila dan sejenisnya; yang dengan tenang melepaskan anak-anak mereka melalui mulutnya; untuk bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan. Induk secara perlahan menjauh-menjauh agar anak-anak mampu mandiri untuk menjadi dirinya sendiri. Induk hanya akan dengan sigab menyedot anak-anaknya ke dalam mulut jika keadaan memang membahayakan.
Perubahan pola asuh serupa ini membuat konsep ibu menjadi perlu di redefinisi kembali; karena perubahan dari mengayomi, menjadi tut wuri ; adalah perubahan fondamental tugas keibuan. Ukuran besaran jumlah anak, yang semula didominasi oleh peran ayah; sekarang sudah bergeser pada ibu. Ibulah yang menetapkan berapa jumlah anak yang diinginkan. Revolusi Sosial Keluarga serupa ini tentunya  akan berdampak pada banyak hal, dari demografis, sosiologis, bahkan  sampai pada ekonomis.
Pergeseran tersebut menunjukkan bahwa peran ibu di dalam rumah tangga menjadi begitu sentral; bahkan harus diakui bahwa peran-peran ini pada dasarnya menjadikan buah simalakama bagi ibu. Pada sisi lain adalah mengangkat harkat dan martabat dari ketokohan Ibu, namun pada sisi lain berarti menambah tugas-tugas baru yang harus dilakukan oleh Ibu. Dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Pascasarjana FKIP Universitas Lampung, ternyata ditemukan bahwa keberhasilan homeschooling, sangat ditentukan oleh sejauh mana frekuensi ibu dalam meluangkan waktu memberikan pendidikan pada anaknya, di samping perhatian psikologis.
Tidaklah salah jika ada joke yang mengatakan, Jika anak berhasil yang akan ditanya Bapaknya siapa, dan jika anak itu gagal akan diumpat ibunya siapa. Ketidak adilan ini adalah cacat bawaan yang dibawa oleh pergeseran jaman, atau dapat juga dikatakan sebagai residu sosial akibat perubahan sosial.
Namun ada sesuatu yang tidak berubah sampai kapanpun sesutu yang melekat pada Ibu ; yaitu Surga ditelapak Kaki Ibu. Ungkapan ini menunjukkan begitu luhurnya sosok ibu yang sampai ditamsilkan sebagai tuhan yang terlihat. Dengan takzim dan  rasa hormat yang setingi-tingginya pada para Ibu, melalui tulisan ini kami menghaturkan ucap “Selamat Hari Ibu”, terimakasih Ibu, karenamulah kami bisa seperti ini. Tanpamu kami tidak ada, tanpamu kami tiada daya, dan tanpamu kami bukan apa-apa.



















    





Sabtu, 09 Desember 2017

CATATAN AKHIR TAHUN

CATATAN AKHIR TAHUN
Sudjarwo
Guru Besar FKIP dan Direktur Pascasarjana Unila

Sebenarnya tulisan ini tidak ingin di produksi karena ada dua alasan; pertama, berkeinginan agar ada penulis muda yang menjadi penerus; sehingga pada waktunya nanti ada penulis baru yang lebih “now” mengikuti pergolakan jamannya, sehingga persiapan untuk naik gunung “madegpanditho” yang akan penulis lakukan dapat berjalan mulus tanpa aral.  Alasan kedua adalah alasan sosialpsikologis yaitu suatu kondisi yang membuat seseorang menjatuhkan pilihan untuk “diam” karena alasan yang sulit dinarasi.

Namun semua itu menjadi batal karena desakan tanggungjawab akademik yang muncul akibat dari menyimak kondisi sosial yang mengemuka, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali menuliskan narasi pemikiran kehadapan sidang pembaca, diusia yang sudah tidak muda lagi ini.

Peristiwa demi peristiwa melintas di panggung Bumi Pertiwi ini; semula merupakan riak-riak kecil, namun dipenghujung tahun ini tampaknya berpotensi menjadi besar, dan bisa jadi liar. Seperti biasa kondisi ini dimanfaatkan oleh para petualang untuk berselancar guna memenuhi syahwat politiknya. Sehingga tidak jarang yang dilakukannya menggunakan hukum Machiavelli.

Hal ini kita simak dengan adanya angin Putingbeliung yang menerpa salah satu organisasi politik terbesar (dahulu) di Republik ini, merupakan gambaran nyata bagaimana “salah kelola” nya suatu manajemen publik oleh mesin organisasi. Sisi lain ada organisasi yang tanpa bentuk hanya dengan berbasis massa, selalu bergerak mencari mangsa untuk dijadikan batu pijakkan melakukan mobilisasi massa; sehingga tercipta ruang atau medan untuk berhadap-hadapan dengan penguasa, yang selalu disublimasikan sebagai “musuh”, bukan saudaranya; padahal kelompok ini mengusung simbol-simbol agama sebagai alat untuk melakukan mobilisasi. Agama yang dikenal sangat sejuk mengayomi seluruh mahluk dibumi ini; ternyata direkayasa untuk dibalik menjadi raksasa yang menakutkan. Untuk masih banyak para Ulama linuwih yang memberikan pesan-pesan damai agar tidak terjadi kondisi yang membahayakan kesatuan negeri.

Kondisi lain yang juga ikut mewarnai varian ini ialah pusaran ekonomi; dimana pola ekonomi riel berubah menjadi ekonomi maya. Dampaknya tampak dahsyat sekali, banyak Swalayan yang harus tutup, penyedia jasa riel bangkrut karena ada jasa maya yang hidup berkembang. Sekarang pesan Ayam Goreng tidak harus antri dihadapan penggorengan penjual, cukup melakukan aplikasi tertentu, maka Ayam Goreng akan hadir di meja makan kita.

Peredaran uang tidak perlu melalui transaksi riel yang ini berdampak pengurangan tenaga kerja perbankan. Pengiriman uang tidak harus melalui Kantor Pos, tetapi cukup melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM) semua bisa diselesaikan dengan mesin pintar ini, dampaknya Kantor Pos cukup dilayani oleh satu dua orang saja, dan kondisi ini sudah berlaku mulai lima tahun terakhir. Kantor Telegram sudah lama gulung tikar karena cukup dengan Pesan Pendek  (SanDek) semua terlayani dengan sempurna.

Peristiwa lain yang tidak kalah seru; ialah korupsi berlangsung masih begitu masif. Hal ini dibuktikan dengan setiap bulan Komisi Pemberantasan Korupsi selalu menangkap tangan pejabat bertransaksi haram. Jika kita lihat pelakunya tidak ada yang “orang kecil”, tetapi semua bersapari atau berseragam dengan sederet pangkat di pundaknya. Namun lembaga yang disayangi rakyat ini ternyata dibenci oknum pejabat. Buktinya hampir setiap hari selalu ada uji materi perundangan yang berkaitan dengan aturan main lembaga anti rasuah ini. Sampai-sampai anggota parlemen terhormat yang tidak punya partaipun ikut meramaikannya. Tentu alasannya dibuat serasional mungkin bahkan seakademik mungkin, jika perlu menggunakan diksi yang orang lain tidak mengerti.

Peristiwa-peristiwa di atas akselerasinya akan makin kencang di tahun mendatang karena ada dua peristiwa besar yang akan dijadikan “medan kurusetra” bagi para petarung di negeri ini. Menjadi persoalan adalah bukan para petarungnya, akan tetapi adalah para pengikut yang menyertainya. Dari sekarang sudah terasa, petarung yang turun gelanggang belum ada; tetapi gelanggang sudah digoyang.  Tidak jarang penggoyangnya lebih heboh dari petarungnya. Tanda-tanda itu sudah mulai tampak dari sekarang; spanduk dipasang di mana-mana; sementara petarungnya duduk manis; hanya aliran “manis” (baca: uang) yang terus mengalir. Berbagai cara dilakukan dari yang halal sampai yang haram dilakukan; sehingga masyarakat menjadi sesat, seolah kiamat sudah dekat.

Berkaca dari semua di atas, menjadikan ingatan melayang di masa lalu yaitu peringatan luhur yang diwedar oleh Pujangga Besar jamannya yang mengatan “Sak bejo-bejane wong kang lali, isih bejo wong kang eleng lan waspodo”  terjemahan bebasnya kira-kira seuntung-untungnya orang yang lupa masih beruntung mereka yang ingat dan waspada. Maksudnya ialah bahwa orang yang selalu ingat akan aturan dunia dan akherat itu lebih dijamin selamat dibandingkan dengan mereka yang ubud dunia.

Hanya masyarakat sering dibuat bingung justru karena mereka yang seharusnya memberi contoh terbaiknya, tetapi justru berbuat kebalikannya.  Orang tua bahkan Tokoh Senior yang seyogyanya memberikan “piwulang luhur” pada generasi penerusnya, ternyata malah ikut naik mobil berbekal pelantang suara, menyampaikan yang seharusnya bukan porsinya.

Mudah-mudahan dipenutup tahun ini kondisi bangsa menjadi lebih baik guna menyongsong tahun-tahun yang akan datang. Perbedaan adalah anugerah, oleh sebab itu mari kita bergandenga tangan memajukan negeri ini dengan merajut perbedaan menjadi kekuatan. 

SUGENG TUTUP TAUN LAN SUGENG MAPAK WARSO ENGGAL.







Rabu, 23 Agustus 2017

MADHEG PANDITO


MADHEG PANDITO
Oleh: Sudjarwo Guru Besar FKIP Unila

Pada waktu menyimak lakon Mahabarata ternyata kata kunci lakon itu ada pada tangan seorang tokoh bernama Prabu Kresna yang memiliki kerajaan bernama Dwarawati. Tokoh ini memegang Kitab Jitabsara yang berisi alur cerita Mahabarata; siapa  berperang dengan siapa, dan yang harus kalah dan menang siapa. Versi pedalangan Jawa kitab ini selalu dijadikan acuan oleh Kresna guna mengatur lakunya perang besar Bharatayudha.
Prabu Kresna sebagai tokoh sentral dalam peperangan itu bahkan pernah menjadi Kusirnya Harjuna pada saat berperang melawan Adipati Karna di Tegal Kurusetra; yaitu suatu daerah medan tempur untuk berhadap-hadapan satu lawan satu antara prajurit Pandawa dan Hastinapura dan juga para panglima perangnya.
Tokoh Kresna ini menjadi sangat penting pada waktu Perang Baratayudha. Tidak ada satu alur ceritapun dalam peperangan itu tanpa melibatkan beliau. Diawali dengan diplomasi untuk penyerahan Hastinapura secara damai; yang dalam pewayangan terkenal dengan lakon Kresno Duto; walau beliau sendiri sudah mengetahui bahwa itu tidak mungkin, karena jika terjadi maka perang Baratayudha tidak akan jadi, tetapi tetap dilakoni karena memang jantranya harus begitu. Terakhir peran beliau adalah Pendawa Mandito yang juga mengakhiri perjalanan Kresna didunia dan harus menuju kepertapaan guna menjemput maut. Beliau menjalani “sepotonya” Dewi Gendari Ibunya para Kurawa : yang mengharuskan Kresna melihat kehancuran wangsanya didepan matanya sendiri, serta harus rela mati kena anak panah yang nyasar kepadanya saat dia bertapa.
Cerita singkat itu hanya sebagai pengantar pikir untuk melihat kembali bagaimana perjalanan para tokoh kita dewasa ini dalam mengisi kemerdekaan.  Ada tokoh yang berperan sebagai Pejuang Kemerdekaan, ada yang berperan sebagai Pengantar Kepintu Gerbang Kemerdekaan, ada yang berperan sebagai Pengisi Kemerdekaan. Masing-masing peran memiliki fungsi dan tugas masing-masing; yang juga memiliki iklim masing-masing. Masing-masing peran itu sangat penting karena merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Banyak tokoh bangsa ini yang masuk kategori Pengantar Kepintu Gerbang Kemerdekaan, berjuang tidak sempat menyaksikan “pernyataan kemerdekaan” dibacakan. Mereka telah lebih dahulu mendahului menghadap sang Khalik, baik karena usia maupun karena korban perjuangannya. Demikian juga mereka yang berada pada barisan “pencetus” kemerdekaan, bahkan perjuangan mereka bersimbah darah. Berbeda dengan yang berposisi pada pengisi kemerdekaan. Ada diantara mereka justru mengisi pundi-pundi pribadi dengan cara tidak sah. Ada juga yang mengisinya dengan memperturutkan Labido Politiknya; walaupun dengan cara-cara yang tidak sesuai aturan.
Soal Labido Politik ini memang sangat menarik karena tidak mengenal waktu tempat, usia dan jenis kelamin. Dari semenjak zaman purba hingga kini, ternyata labido ini mendorong seseorang ingin berkuasa; untuk memenuhi hasrat itu tidak jarang upaya mencari panggung selalu dilakukan, baik dengan cara-cara terhormat maupun dengan cara-cara yang kurang santun. Ironisnya juga tidak jarang pencari panggung ini  mantan tokoh yang seyogyanya harus menjadi penasehat; justru menjadi pemain. Tampak ketidaksiapan untuk menepi dari zaman dan memberi peluang yang muda untuk tampil.
Jumlah mereka memang tidak banyak, tetapi karena tidak banyak itu justru semua perilaku mereka menjadi begitu kentara. Persoalannya ialah apa yang ditampilkan pada masa lalu sering berbanding terbalik dengan perilaku yang ditampilkan sekarang.
Seyogyanya para tokoh ini menyadari bahwa tantangan jamannya sudah berbeda, iklimnya sudah berbeda, kebutuhannyapun sudah berbeda. Justru yang dipentingkan adalah bagaimana memberi suri tauladan dan nasehat kepada mereka yang sedang melakoni jamannya agar tidak tersesat; bukan justru ikut bermain, bahkan ingin menjadi pelaku utama. Kesesatan berfikir serupa ini hendaknya perlu dihindari, agar para generasi penerus mampu menyelesaikan episode lakonnya dengan baik dan benar.
Tidak ada sesuatu pekerjaan yang sempurna di dunia ini, oleh sebab itu adalah lumrah jika episode keberhasilan didalam proses perjalanannya ada sisi-sisi ketidak berhasilan. Hal inilah seyogyanya ditunjukkan kepada generasi penerus agar tidak mengulanginya. Penjelasan bijak sangat diperlukan dalam konteks ini; oleh karena itu Madheg Pandito itu bukan harus menjauh dari dunia nyata, lalu menuju ke atas gunung guna bertapa atau bersemedi untuk kepentingan sendiri. Untuk saat ini justru harus ada ditengah masyarakat, namun tidak lebur bersama mereka; akan tetapi menjadi sesuluh mereka dalam menjalani peran kehidupan.
Peran ini sekarang menjadi langka, banyak diantara mereka menutup diri, atau mencari panggung baru. Jika pilihannya menutup diri; maka peran Madheg Pandito mereka maknai meninggalkan dunia ini untuk kontemplasi mesu budi, menuju alam keabadian secara mandiri. Pilihan ini tidak salah, karena menentukan jalan hidup sendiri adalah bagian dari Hak-Hak Azazi. Namun pilihan kedua; mencari panggung baru, kemudian ingin ikut berperan terus dalam urusan dunia, juga tidak salah. Menjadi persoalan jika keduanya disikapi secara ekstrim, dalam arti berlebihan sehingga tampak tidak etis, bahkan cenderung norak.
Perilaku seperti di atas akan membawa bangsa ini ke arah Jalan yang sempit Gang yang rumit, karena para Panditho yang seharusnya memberikan jalan terang kepada alam dan umat sekitarnya, justru memberikan perilaku sebaliknya. Hal ini akan berimbas kepada Generasi Millenia yang lahir di atas tahun 80 an, mereka akan kehilangan panutan; bahkan disinyalir mereka suka politik tetapi tidak mau ikut berpolitik, karena salah satu alasannya ialah tidak menemukan tokoh idola. Mereka mengalami disorientasi tokoh; karena apa yang mereka baca dengan apa yang mereka lihat sangat jauh berbeda.
Lebih parah lagi tokoh yang seharusnya menghormati perbedaan sebagai sunatullah; justru mengangkat panji-panji merasa menang sendiri dan paling berhak atas kapling Syurga. Padahal semula waktu muda tokoh ini menebarkan kebhinekaan dimana-mana; akan tetapi menjelang usia senja justru menjadi penebar teror ideologi yang masif. Bahkan memiliki kecenderungan baru yaitu memksakan kehendak kepada pihak lain. Ketokohan diwaktu muda sebagai pejuang demokrasi seolah pudar dibawa jaman. Semula orang sangat takjub dengan ketokohannya, justru akhir-akhir ini mereka merasa menemukan sosok lain dari tokoh ini.
Bagaimana jika tokoh waktu muda paling tidak pernah berbuat salah langkah dalam menapaki sejarah pengabdiannya; kemudian di ujung usia menjadi tokoh, pergi kepertapaan untuk melakukan pertaubatan. Ternyata nasib tokoh seperti masih jauh lebih baik, karena banyak orang memberi apresiasi; bahkan cenderung memaafkan kesalahan masa lalunya. Tidak jarang simpati yang diberikan menjadi berlebihan dan mengkultuskan, bahkan diperlakukan sebagai seorang “Juru Selamat” yang hadir di dunia.
Suka tidak suka saat ini Indonesia memasuki era generasi baru, generasi Millenia yaitu generasi yang tidak pernah lepas dari genggam teknologi. Bahkan generasi ini sering disebut generasi Global. Teknologi informasi menjadi masuk kebutuhan primer, seperti juga papan, sandang, dan pangan bagi mereka. Tentu saja kebutuhan psikologis mereka sangat berbeda jika dingkan dengan generasi-generasi sebelumnya.
Mereka memerlukan para “Wiku” yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Ukuran Madheg Pandito bagi generasi ini bukan lagi yang teriak-teriak di jalanan atau diatas mobil komando; Atau juga mereka tidak butuh lagi dengan orang yang bersila di atas batu bersemayam di puncak gunung, akan tetapi ukuran mereka sekarang seorang Wiku itu jika menguasai banyak aplikasi dari teknologi untuk mendapatkan kemudahan. Dari pesan makanan, pesan Taxi, pesan tukang service mobil, dan semua kebutuhan kehidupan; cukup hanya menyentuh layar Gaget yang ada ditangannya.
Arus perubahan serupa ini membuat dunia senyap ditengah kermaian. Komunikasi personal semakin masif tetapi tidak harus terdengar bersuara. Semuanya berjalan dalam kesenyapan, bahkan kegaduhanpun berlangsung dalam senyap. Warga masyarakatnya yang disebut nitizen ini berkembang bagai amuba yang begitu cepat membelah diri. Genersi ini tidak butuh menonton TV berjam-jam kecuali acara kesukaan masal, mereka juga tidak suka retorika yang menggebu-gebu; tetapi mereka lebih suka memperhatikan layar mini dengan seribu informasi.
Mari para Pandito kita mengenali perilaku ini; jika kita berharap negeri ini menjadi lebih baik dimasa depan, maka sebenarnya semua tergantung dari generasi ini. Belum terlalu terlambat kita memperhatikan dan memfasilitasi generasi ini tumbuh guna menerima tongkat estafet Indonesai masa depan.





















Kamis, 20 Juli 2017

MELINTAS GUNUNG MENURUN LEMBAH

Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila

Perjalanan “ritual” mudik lebaran sudah usai, semua menuju pada keseimbangan lagi; bergerilya mengais rezki; dengan semangat baru, harapan baru. Namun demikian tetap ada yang membekas dalam alam ingatan di sana, jauh di alam sadar, berupa memori yang terkadang tidak selamanya mengenakkan.
Slogan  “mudik adalah perjuangan, bertemu keluarga adalah kebahagiaan” merupakan sesuatu yang tepat, karena kata “perjuangan” pada kalimat awal memiliki makna yang begitu luas dan dalam, baik secara fisik maupun secara spirit. Perjuangan untuk masih-masing wilayah memang berbeda, baik tantangannya, bentuknya dan daya tahan yang harus disiapkan. Namun spiritnya tetap sama yaitu berjuang untuk mencapai tujuan.
Pemudik di Pulau Jawa relatif dimanjakan oleh pemerintah, jika dibandingkan di daerah lain. Sarana prasarana sudah dipersiapkan jauh hari; bahkan cenderung dibuat sebaik dan semewah mungkin. Dari kondisi jalan, penerang jalan, bahkan sampai kamar kecilpun disiapkan. Belum lagi liputan pemberitaan yang cenderung dibesarkan sedemikian rupa. Berbeda dengan untuk daerah lain luar Pulau Jawa; liputan hanya dilakukan sekilas serta informasi tidak begitu ditail; baru menjadi berita jika ada kecelakaan yang merengut korban jiwa, itupun tidak seheboh jika kejadian di Pulau Jawa.
Sepenggal pengalaman ini diperoleh saat melakukan Touring lebaran yang baru saja berlalu melintasi Jalan Lintas Tengah Sumatera sampai ke Bengkulu. Pada hari pertama lebaran meninggalkan Provinsi Lampung, situasi masih sangat lengang bahkan cenderung sepi. Sarana dan presarana jalan masih cukup bagus, bahkan kendaraan bisa dipacu maksimal.  Namun begitu masuk wilayah Sumatera Selatan terutama jalur Baturaja – Muaraenim; keadaan berubah drastis, sarana jalan menyempit dan banyak yang terbis kiri kanan jalan. Tampak sekali prasarana jalan masih kurang perhatian. Trans Sumatra sejak diresmikan sampai sekarang, fasilitasnya begitu begitu saja. Bahkan jalan yang menembus hutan Bukit Barisan; nyaris tidak ada perubahan yang berarti dibandingkan dengan sarana yang ada di Pulau Jawa.
Keadaan di atas tidak juga beda fasilitas jalan antara Lubuk Linggau menuju Bengkulu melalui Curup. Padahal daerah ini memiliki potensi wisata yang tidak kalah menariknya dengan Puncak-Jawa Barat. Jalan yang berliku dan kecil menembus hutan Bukit Barisan; dan daerah ini memiliki sejarah panjang terutama Curup dan Tabamenanjung, yang mengukir sejarah perjuangan melawan penjajah; ternyata tetap merana dengan kekurangannya.
Berkaca pada pada kondisi di atas ternyata masa Orde baru yang ingin menidakkan tapak tilas Soekarno Presiden Pertama Republik, masih meninggalkan luka sejarah yang masih harus dirasakan sampai hari ini. Terlepas dari perbedaan kepentingan para pemimpin; tetapi rakyat bukanlah obyek yang harus dikorbankan.
Seharusnya para Wakil Rakyat yang ada di Gedung Parlemen Jakarta sesekali merasakan naik kendaraan darat milik umum (rakyat), merasakan gelombang dan guncangan jalan ini. Jangan hanya pandai mengguncang tatanan negara di Jakarta saja, dengan berdalih membela rakyat; tetapi rakyat yang mana tidak jelas.
Ini baru satu sisi dari republik yang seluas ini, dan note bone tidak jauh dari Ibu Kota Negara, bisa dibayangkan bagaimana keadaan yang ada di Natuna, atau di Pulau Siberut, dan lain sebagainya. Mungkin lebih parah dan lebih mengenaskan.
Jalan Tol Sumatera yang sudah digagas oleh presiden RI pertama, ternyata baru sekarang dilaksanakan, itupun dengan berbagai kendala. Pertanyaan tersembunyi kenapa jalan TOL hanya identik dengan Pulau Jawa. Lalu apa yang dipikirkan oleh pemimpin negeri ini selama sekian tahun dalam melihat keterbatasan sarana ini. Apakah Indonesia itu hanya Pulau Jawa. Pertanyaan pertanyaan begini sering mengganggu banyak pihak, walau jarang mereka mau mengemukakan hanya dengan satu alasan tidak mau mengganggu harmoni. Tampak sekali bahwa pencitraan yang selama ini dibangun ternyata keropos didalam.
Hikma perjalanan mudik lebaran ternyata membuat tersisanya perenungan akan nasib negeri ini. Kemerdekaan yang sudah setengah abad lebih ini belum dinikmati oleh semua lapisan masyarakat di bumi pertiwi. Ritual mudik yang bagi sebagian orang adalah oase kehidupan, namun bagi yang lain adalah perjuangan untuk mencapai tujuan.
Ritual mudik seperti di Indonesia, juga ditemukan dibeberapa negara tetangga; hanya saja ritual mudik yang ada di Indonesia memiiliki kekhasan tersendiri. Kekhasan itu diantaranya adalah ritual mudik seolah menjadi hajatan nasional, sehingga perhatian semua pihak, termasuk pemerintah menjadi sangat besar. Bukan hanya personal tetapi juga termasuk anggaran, menjadi beban negara yang tidak sedikit. Namun disayangkan sekalipun sudah menjadi agenda tahunan; ternyata pemerintah selama ini belum begitu strategis menanganinya; sehingga pemerintah yang sekarang justru penerima beban terberat dari pemerintahan sebelumnya, apakah ini akan berlanjut ke depan, walahualam.
Wacana atau rencana pemindahan Ibu Kota Negara, juga akan berdampak pada pelayanan ritual mudik ini. Berandai-andai jika Pusat Pemerintahan Negara akan berada di Kalimantan; maka pelayanan ritual mudik akan mengalami pergeseran yang luar biasa; dan ini akan meretas sejarah baru bagi negara ini.
Sejarah mencatat bahwa selama ini pusat pemerintahan negara-negara besar yang pernah hidup di nusantara ini ada di Pulau Jawa, hanya Kerajaan Sriwijaya yang ada di luar Pulau Jawa. Dan jika nanti pada waktunya Ibu Kota Negara akan dipindah keluar Pulau Jawa; maka sejarah Sriwijaya akan terulang dinegeri ini setelah sekian abad berlalu. Hanya meninggalkan pertanyaan ialah sejauh mana kesiapan untuk melakukan itu semua.
Ukuran parameter mudik lebaran menjadi salah satu tolok ukur diantaranya; hal ini bisa dibayangkan jika ibu kota negara masih di Jakarta saja, Sumatera masih terbata-bata dalam mengejar ketertinggalannya, bagaimana kalau pindah menjauh dari Sumatera, apakah ada jaminan untuk lebih baik, atau sebaliknya. Pertanyaan-pertanyaan ini memang kelihatan terlalu dini untuk dilontarkan; namun kita bisa belajar dari negara-negara lain yang juga memiliki pengalaman pernah melakukan pemindahan Ibu Kota Pemerintahannya.
Kajian-kajian akademis dan penelitian konpregensif perlu dilakukan; sehingga pemindahan ibu kota negara bukan berarti pemindahan kemiskinan baru; akan tetapi betul-betul dapat bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini perlu diperhatikan karena bisa dibayangkan ibu kota baru akan menarik urbanisasi baru, dan pada waktunya begitu musim mudik tiba, maka pemerintah akan ada pekerjaan baru menyiapkan sarana prasarana menyambut ritual mudik di daerah ibu kota yang baru.
Dilihat dari segi pemerataan pembangunan hal ini tentu menguntungkan bagi daerah baru; namun juga perlu diperhatikan bahwa untuk pengatasan masalahnya tidak bisa diselesaikan dengan bilangan waktu hari atau bulan; akan tetapi justru akan memakan waktu tahun yang cukup panjang. Jadi apa yang diungkapkan oleh Wakil Presiden Yusuf Kalla; bahwa waktu yang diperlukan untuk pemindahan ibu kota negara tidak kurang sepuluh tahun lamanya. Estimasi ini adalah sesuatu yang logis, mengingat persiapan non-fisik jauh memerlukan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan persiapan fisik.
Ternyata dimensi mudik untuk wilayah Sumatera yang harus melintas Gunung dan menurunin Lembah membawa alam pemikiran sendiri buat Indonesia. Tanah air tercinta ini sangat memerlukan pemimpin yang arif bijaksana; pemimpin yang tidak hanya pandai mengeluh, pemimpin yang tidak menghujat wakilnya ditengah khalayak, pemimpin yang taat aturan, pemimpin yang tidak suka mencari kambing hitam, tetapi pemimpin yang berjiwa besar mau mengakui kekurangan ditengah kelebihannya.
Demikian juga Tanah Air tercinta ini memerlukan wakil rakyat yang tidak hanya pandai menyalahkan kerja orang lain, wakil rakyat yang hanya merasa menang sendiri, wakil rakyat yang dengan mudah berucap tanpa sadar ucapannya menyakiti rakyat. Rakyat sekarang sudah sangat cerdas, dan pada waktunya wakil yang seperti ini tidak akan dipilih kembali. Rakyat sekarang memerlukan wakil yang cerdas tetapi juga santun. Paham akan etika ketimuran yang sarat dengan simbol-simbol kesusilaan dan kepatutan.
Semoga mudik lebaran tahun adalah mudik terakhir dengan kekurangannya; dan jika Sang Pencipta masih memberi kesempatan untuk menikmati mudik pada tahun yang akan datang, kekurangan selama ini akan berbalik menjadi kelebihan.









Kamis, 15 Juni 2017

LAPAR MATA

LAPAR  MATA

Oleh : Sudjarwo

Guru Besar FKIP Universitas Lampung

Pada bulan Romadhon seperti sekarang ini Pusat Perbelanjaan, pasar tradisional, dan Pasar “Terkejut”, pada waktu-waktu tertentu sangat padat pengunjung; dan semua ingin melahap isi pasar tersebut. Walaupun dominasi kaum Ibu paling banyak; bukan berarti kaum Bapak tidak.  Justru kaum Bapak sering ikut berdesak merengsek ketengah “medan perburuan”; guna mencari yang diinginkan; bukan yang dibutuhkan.
Suasana seperti ini seolah-olah menjadi ciri khas Romadhon; bahkan menjadi semakin ramai menjelang Hari Raya Idhul Fitri. Ditengah hiruk pikuk itu kita sulit membedakan apakah yang belanja dan berjualan sedang melaksanakan ibadah Puasa. Namun ada satu hal yang tampak luar biasa adalah Lapar Mata yang semakin menjadi-jadi. Perilaku massal seperti ini tampak sekali dari pengamatan kita selama ini.
Namun sebenarnya Lapar Mata untuk di bulan Romadhon itu masih manusiawi, dan sangat lumrah, terutama bagi mereka yang baru pertama menjalankan ibadah puasa; menjadi tidak lumrah jika Lapar Mata itu mengidap pada mereka yang sangat getol berkorupsi. Tidak peduli apakah itu pejabat atau rakyat, birokrat atau wakil rakyat; jika sudah terkena penyakit Lapar Mata ini, tidak dapat membedakan lagi mana miliknya dan milik orang lain. Harta sudah berjibunpun dirasa masih kurang; bahkan tidak segan-segan “merampok” yang bukan miliknya.
Pada akhir-akhir ini kita sering mendapatkan suguhan dari media massa, baik tulis maupun elektronik; yang mewartakan bagaimana semakin sistimatik dan rapinya perilaku Lapar Mata ini, bahkan bukan menjadi perilaku individual, sudah berubah bentuk menjadi perilaku berjamaah. Keterangan atau gelar “Wajar Tanpa” yang dikeluarkan oleh lembaga yang selama ini ditakuti oleh penyelenggara negarapun, sudah bisa diatur maunya seperti apa bunyi yang dinginkan. Seolah resonansi bunyipun sudah bisa dipesan seperti terompet Tahun Baru. Bahkan ada yang lebih seru lagi rasa garam yang aslinya adalah “asin”, akan tetapi ditangan peLapar Mata menjadi “manis”. Dan yang bisa mengubah ini tidak tanggung-tanggung adalah Direktur; yang notebene sudah digajih Puluhan Juta Rupiah perbulan oleh Negara.
Menjadi pertanyaan adalah bagaimana gejala Lapar Mata yang satu ini bisa tumbuh sedemikian rupa, seolah raksasa yang bisa bertriwikrama sekehendak hati. Berdasarkan analisis perilaku sosial yang dibangun dari Teori Lapar Sosial; ternyata manusia setelah berkelompok dan bersepakat untuk mencapai tujuan bersama; maka perasaan bersama yang muncul adalah bagaimana upaya untuk mencapai tujuan bersama itu dengan seefektif mungkin; terlepas jalan yang akan ditempuh itu merugikan orang lain atau tidak. Maka dengan kelemahan inilah muncul Teori Moral Sosial yang diperlukan untuk memberikian rambu-rambu guna pencapaian tujuan sosial.
Kita menjadi paham jika sekelompok pengusaha berkumpul menyatu bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama; maka koorporasi ini menjadi raksasa untuk melibas siapa saja yang merintangi pencapaian tujuan mereka. Menjadi persoalan bila sekelompok pejabat, baik birokrat, politisi maupun  pejabat publik, menyatu bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama; berperilaku yang tidak sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat. Untuk berkolusi bersama dalam memperkaya diri dengan dalih apapun, ini menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat.
Lapar Mata bisa berakibat menjadi Lapar Panggung; dan peristiwa ini tampaknya merebak di muka bumi negara tercita kita ini. Alih-alih memberi kesempatan pada generasi penerus untuk melanjutkan estafet generasi, justru kakek-kakek/nenek-nenek sibuk menciptakan panggung sandiwaranya karena lapar popularitas. Alih-alih memberikan Tauziah yang berkesejukan; justru menjadi propokator untuk sesuatu hal; sehingga terbuka ruang panggung untuk dapat menampilkan akting yang jika disimak tampak sekali kejanggalannya dan sering tidak lucu.
Era demokrasi seperti sekarang ini ternyata membawa Lapar Mata untuk segala hal dapat terjadi. Semula Pahlawan, sayang ternyata Pecundang, Semula Petualang, sayang ternyata Penghalang. Perubahan dengan berpayung pada eforia Demokrasi menjadi begitu cepat; apalagi jika masalahnya bersentuhan dengan pribadi atau kelompok; cepat sekali berubah menjadi reaktif yang protektif . Aturan seolah-olah hanya berlaku untuk orang lain; bukan untuk diri dan kelompoknya.
Hak “bertanya” boleh mereka ajukan kepada siapa saja; bahkan berlindung pada perundangan untuk melakukan ancaman dan atau penekanan, walaupun tidak tepat, mereka upayakan untuk tepat; tetapi hak itu tidak untuk orang lain bertanya kepada mereka. Atas nama kekebalan institusi maka perisai ini paling aman untuk dilakukan; mereka dapat menggunakannya “kapan saja, dimana saja, untuk apa saja”; Jika dirasa itu mengancam kepentingan mereka, maka senjata itu mereka turunkan, dengan dalih “koreksi”, tetapi bukan untuk “koreksi diri” nya.
Lapar mata yang dapat berkembang menjadi Lapar Kuasa ini tampaknya akan terus berkembang secara liar kesemua sektor kehidupan manusia. Ini membuktikan betapa dahsyatnya labido manusia dan memang sudah dipesankan dalam ajaran suci agama bahwa manusia itu walaupun sudah diberi satu gunung emas, maka dia akan ingin mendapatkan dua, jika dua sudah terpenuhi dia ingin empat. Kerakusan seperti ini seharusnya bulan suci Romadhon dapat dijadikan bulan introspeksi; ternyata justru bulan ibadah ini tidak menyentuh sama sekali. Bahkan terkesan tidak mempengaruhi sama sekali dengan kelaparan akan kekuasaan.
Lapar kuasa juga dapat memakan korban dalam bentuk fisik; apakah itu reklamasi pantai, garam, flyover, helikopter, jalan tol ; apa saja bisa dilibas. Kita bisa geleng kepala bagaimana bisa terjadi pejabat adu kuasa, atas nama kepentingan rakyat, maka semua bisa dilanggar dengan kuasa. Hasilnya lagi-lagi pembenaran teori Peter Berger tentang Piramidal Kurban Manusia menjadi kenyataan. Rakyat kecillah yang menjadi korban segalanya, dan harus menanggung beban resiko segalanya.
Belum lagi Lapar Kuasa pun bisa memecahkan perkongsian yang semula disepakati waktu mencalon bersama; tetapi karena Lapar Mata yang berubah menjadi Lapar Kuasa, maka kesepakatan kebersamaanpun bisa dikorbankan; dan ironisnya ini diumbar diranah publik. Alhasil masyarakat bisa menilai memimpin satu orang saja tidak mampu, apalagi mau memimpin masyarakat luas.
Masyarakat seolah-olah diberi tontonan gratis tentang bagaimana sesungguhnya laparnya serigala belum selapar manusia, padahal kita semua tau bahwa harkat manusia jauh diatas serigala. Kelaparan akan kekuasaan ini juga diplesetkan oleh banyak pihak dengan jargon “beri aku segenggam kekuasaan, itu jauh lebih berharga dari pada sejuta kebenaran”. Jika ini yang terjadi maka kita tinggal menunggu kerusakan masif pada masyarakat kita.
Dimana-mana kita melihat sisi lain sebagai dampak pengiring dari perkembangan demokrasi adalah munculnya “lapar Kuasa”. Ini tampaknya merupakan cacat bawaan dari bayi yang bernama Demokrasi. Oleh karena itu kita diharuskan berhati-hati dalam menyikapi semua implikasi negatif ini. Kita harus menyiapkan instrumen sosial guna meminimalisir dampak pengiring ini, sehingga sistem tadi tidak menciderai rakyat.
Jargon yang mengatakan “mau pensiun jadi rakyat” adalah lambang simbolis dari keputusasaan menghadapi sistem yang ada. Atau sikap “wani piro” adalah bahasa simbol yang dimunculkan karena merasa tidak mendapatkan manfaat dari sumbangan suara pada waktu pilihan. Akhirnya bahasa-bahasa simbol seperti ini menjadi “oase” bagi rakyat jelata dalam menghadapi Lapar Mata yang bertiwikrama menjadi Lapar kuasa, yang menghinggapi sebagian dari para petinggi hasil pilihannya.
Pada bulan suci ini semoga kita mampu melakukan pengendalian diri untuk tidak Lapar Mata dalam arti yang sebenarnya maupun simbolik; agar tidak bertiwikrama menjadi Lapar Kuasa. Kita semua tidak mengentahui apakah puasa ini merupakan puasa terakhir pada diri kita. Tidak ada yang mampu menjamin apakah kita masih diberi hak untuk melaksanakan puasa ditahun depan. Oleh karena itu tidaklah salah jika kita mengatakannya jangan-jangan ini merupakan puasa kita yang terakhir di bumi ini.
Semoga kita semua mampu memberikan yang terbaik yang kita miliki kepada negeri ini, minimal kontribusi kita adalah doa agar negeri ini tetap utuh dan sejahtera rakyatnya. Karena salah satu diantaranya yang dapat mengubah nasib adalah doa; hanya kapan dan dimana doa itu dikabulkan; itu adalah wilayah Sang Maha Pencipta. Selamat Melaksanakan Saum Romadhon bagi yang melaksanakannya.





  




Rabu, 14 Juni 2017

“PITUTUR” DARI TIMUR


PITUTUR” DARI TIMUR

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar FKIP Universitas Lampung
Pada acara Diskusi Sumbang Saran di Kabupaten Lampung Timur, kegiatan itu mengundang dua nara sumber; salah satu diantaranya teman seniman sekaligus budayawan senior terkenal di Lampung. Kata-kata bijak dari budayawan ini mengalir begitu deras dan tanpa henti. Kita yang mendengar menjadi terpukau sekaligus kagum; begitu dahsyatnya budaya adiluhung masa lalu yang dapat memandu perilaku para Pangrehprojo pada waktu itu. Dengan gayanya yang khas berkostum mirip Pak Tino Sidin masa lalu, beliau mendereskan kalimat-kalimat filosofis yang hanya bisa ditangkap dengan rasa.
Antara lain Thesa yang beliau kemukakan membuktikan bahwa jika membangun peradaban itu tidaklah hanya cukup mendirikan bangunan yang menjulang kelangit saja, akan tetapi bagaimana membangun fisik disertai dengan membangun budaya bagi pengguna atau pemanfaat bangunan fisik itu juga penting. Pemerintahan yang sudah berkali-kali ganti di Republik ini ternyata banyak sekali meninggalkan peninggalan fisik, akan tetapi masih kurang meninggalkan warisan budaya. Hancurnya sarana fisik yang dibangun selama ini ternyata bukan tidak kokohnya bangunan yang dibangun, akan tetapi lebih pada budaya memanfaatkan bangunan itu yang masih sangat kurang. Pembudayaan perilaku untuk cara pemanfaatan dari produk budaya yang berupa gedung, sering tertinggal. Contoh dilingkungan kampus saja yang tempatnya orang pandai, tetapi belum tentu disertai berbudaya. Kita masih sering melihat kendaraan roda empat atau roda dua yang parkir di bawah tanda larangan parkir, dan itu seolah olah sah-sah saja. Padahal Kampus mestinya tempat orang pandai juga tempat orang berbudaya.
Berbicara masalah budaya adiluhung yang ada ternyata banyak hal yang kita dapatkan; terutama  berkaitan dengan ajaran budi, yang bersumber pada ajaran agama, maupun norma sosial yang ada; diantara ajaran tersebut ialah beberapa kata bijak di bawah ini:
1.Kita harus pandai tetapi tidak untuk menggurui
Tampak sekali pada kalimat ini bahwa kepandaian itu harus dituntut; namun setelah mendapatkannya, pengetahuan tersebut sebagai sesuatu yang bebas nilai, kegunaannya sangat tergantung yang memilikinya. Apakah pengetahuan itu akan digunakan untuk menyengsarakan orang lain, membahagiakan orang lain, sangat tergantung kepada pemilik pengetahuan itu. Namun kita diingatkan bahwa pengetahuan yang kita miliki hanya sebagian super kecil dari anugerahilahi untuk kita. Oleh karena itu diingatkan bahwa sekalipun kita pandai maka janganlah menggurui karena sebenarnya Maha Guru iru hanya Sang Pencipta.
Pada konteks kekinian kata bijak ini masih sangat relevan jika dikaitkan dengan situasi sosial sekarang. Dimana-mana kita banyak menemukan pengetahuan sehasta berkotbah sedepa, sehingga yang mendengarnyapun menjadi terheran-heran, karena banyak hal yang semula jelas menjadi tidak jelas.
2.Kita harus cepat tetapi tidak untuk mendahului
Konsep yang kedua ini menunjukkan bahwa etika dalam tata pergaulan harus dijaga dengan baik, bahwa setiap kita harus dapat melaksanakan segala sesuatu dengan cepat, itu merupakan keharusan; namun kecepatan itu bukan untuk mendahului orang lain, karena jika itu dilakukan yang terjadi adalah membuat malu orang lain; dan jika itu dilakukan maka akan kurang baik jadinya. Jika kita ingin memiliki kecepatan penuh; maka diharapkan membuat jalur sendiri yang di sana tidak ada orang lain yang sama dengan jalur kita.
Kemerdekaan untuk berekspresi dimungkinkan seluas-luasnya; namun bukan berarti harus mengorbankan milik orang lain, dan ini yang perlu dijaga.
Kata bijak yang kedua ini merupakan rambu-rambu rohani bagi kita, terutama diera kompetitif ini. Berkompetisi sebenarnya sudah ada sejak jaman nenekmoyang kita dulu, namun berkompetisi itu bukanlah berarti berhadap-hadapan untuk saling membunuh, akan tetapi berpacu berprestasi pada bidangnya masing-masing.   
3.Kita harus tajam tetapi tidak untuk melukai  
Persoalan yang ketiga, hal ini sekarang tampak dilanggar di mana-mana. Menjadi panutan masyarakat tetapi kerjaannya melukai hati masyarakat. Saat mau pemilihan merayu sejadi-jadinya pada masyarakat, setelah terpilih malah meninggalkan luka pada masyarakat pemilihnya. Mulutnya menjadi pemakan bangkai, sehingga aroma busuk disebarkan atas nama sesuatu yang diyakini kebenarannya sendiri.
Adalagi semula tokoh idola, ternyata jaman sudah mengakhirinya, tetapi yang bersangkutan tetap demam panggung, sehingga pekerjaan sehari-harinya hanya mencari panggung untuk tampil. Usia dan pengalaman yang saharusnya menjadi tolok ukur untuk menjadi penasehat; ternyata dihabiskan hanya untuk menjadi penghasut. Labido untuk selalu menjadi tokoh; sekalipun sudah tidak sesuai dengan jamannya, tetap dilakukan bahkan dengan cara apapun ditempuh; termasuk melukai hati orang lain. Tidak sadar bahwa tampilannya menjadi bahan tertawaan orang lain yang usianya jauh di bawah dirinya; bahkan tidak jarang berperilaku seperti lelucon yang tidak lucu.
Ketajaman berfikir, menganalisis; dan mengkritisi adalah hak semua orang; tetapi bagaimana menyampaikannya dengan penuh arif bijaksana, adalah merupakan petunjuk keluhuran budi seseorang. Kemampuan untuk melaksanakan ini semua tidak tergantung kepada gelar intelektual seseorang’ akan derajaat kepangkatan seseorang; akan tetapi lebih kepada keluhuran budi.
Konsekwensi kultural sebagai orang timur ternyata memiliki tata laku yang luhur. Oleh sebab itu tidaklah aneh jika masyarakat timur ini sering dijadikan oase oleh masyarakat barat, karena keluhuran budi. Namun akhir-akhir ini justru sering menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan etika ketimurannya.
Atasnama modrenisasi dan demokratisasi sering dimunculkan perilaku kebebasan yang kebablasan; sehingga rakyat jelata menjadi kebingungan merujuk kebenaran. Seolah-olah jika sudah memiliki status sosial, maka apa saja dapat dilakukan dan melakukan. Image ini lah yang jika tertumpuk pada masyarakat awam menjadi prustrasi kolektif; dan jika ada pemicunya; maka tidak jarang akan menjadi “amok massa”, dan tidak jarang sulit diprediksi dan jika sudah terjadi menjadi sulit dikendalikan.
Perilaku sosial yang tampak dari luar sebagai “anomali” ; ternyata sebenarnya merupakan tumpukan frustrasi kolektif yang selama ini tidak mendapatkan penyaluran. Oleh sebab itu belumlah terlambat jika pada saat seperti sekarang ini negara hadir untuk mendampingi masyarakat secara sosiologis. Penyelesaian persoalan pembangunan pedesaan tidaklah cukup dengan hanya menggelontorkan dana milyaran rupiah ke pedesaan sebagai usaha pembangunanfisik saja. Akan tetapi juga ada proses pendampingan oleh negara guna memberikan bimbingan moral melalui instrumen kemasyarakatan yang ada, termasuk didalamnya Lembaga Sosial Masyarakat.
Upaya serupa ini belumlah terlambat jika dilihat dari aspek kondisi masyarakat saat ini, dimana berita-berita palsu, ujaran kebencian, dan hal-hal lain yang bersifat destruktif telah menyeruak ditengah masyarakat. Jika ini dibiarkan tanpa ada upaya-upaya yang cepat dari semua kita; maka tidaklah mustahil negara ini akan meledak dari dalam karena keterlambatan kita semua. Upaya-upaya tersebut tidak dapat kita serahkan sepenuhnya kepada satu pihak saja; akan tetapi harus merupakan upaya massal bersama dalam rangak menjaga kesatuan dan persatuan bangsa ini.
Adalah belum terlalu tertinggal jika menjelang ramadhan tahun ini kita semua elemen bangsa kembali kekhitah kita sebagai bangsa yang majemuk. Kita tidak bisa mendebat dan meminta untuk tidak lahir dinegeri ini. Semua adalah sudah ketentuan Sang Pencipta menetapkan kita lahir dinegeri beragam kaum ini. Merawat keberagaman ini berarti kita merawat keberlangsungan negeri ini.
Negeri ini memerlukan pemimpin bukan hanya cerdas, tetapi bijak; dan ada yang lebih utama lagi jika pemimpin lahir dari tengah keberagaman seperti Indonesia ini, dia adalah hasil seleksi alamiah yang luar biasa dan tentu berkualitas.
Selamat Melaksanakan Ibadah Puasa.













Kamis, 18 Mei 2017

DEMOKRASI “GRUDUK’


DEMOKRASI  “GRUDUK’

Oleh : Sudjarwo
Guru Besar FKIP Universitas Lampung

Pada saat menghadiri acara rapat penting di ruang khusus: penulis duduk berdampingan dengan dua orang doktor dari ilmu yang berbeda. Doktor pertama bidang keahliannya Fisika, doktor kedua adalah dari Bahasa Indonesia ; sebelum rapat mulai; kami bertiga terlibat pembicaraan menyangkut kondisi bangsa saat ini.  Salah satu yang dibicarakan adalah istilah “Gruduk” dalam bahasa Jawa yang sulit sekali dicari padanannya dalam bahasa Indonesia terutama dalam konteks rasa. Padahal fenomena Gruduk ini sekarang sedang menonjol. Kami sempat bernostalgia masa kecil yang juga sering grudukan dengan teman-teman; apalagi jika musim buah, sekalipun buah-buhan ada di halaman sendiri, tetapi jika malam hari sering menggeruduk tanaman tetangga desa.
Ternyata Gruduk sekarang menjadi tren; dan apapun peristiwanya upaya pengerahan masa untuk menggeruduk terhadap sesuatu; menjadi begitu menonjol. Harapan yang ingin dicapai ingin menunjukkan banyaknya dukungan terhadap sesuatu yang diyakini menjadi keyakinan kolektif; walaupun kebenarannya masih perlu diuji.
Peristiwa ini terjadi karena ada instrumen sosial yang tidak berfungsi di dalam masyarakat; atau paling tidak  fungsinya tidak maksimal dan tidak sesuai harapan kolektif.  Akibatnya enargi sosial tersumbat; yang kemudian membesar karena berhimpun menjadi massa, yang akibat lanjut mengalir menjadi “gruduk”. Menjadi pertanyaan instrumen sosial mana yang tidak berfungsi : Tulisan ini menengarai diantaranya adalah sebagai berikut:
1.Keyakinan terhadap hukum
Maksudnya adalah dalam masyarakat hidup keyakinan kolektif bahwa hukum itu ada dan digunakan untuk mengawal perilaku sosial mereka agar terjadi keharmonisan tatanan sosial, dan jika terjadi penyimpangan terhadap tata aturan sosial; maka hukum diharapkan menjadi pemutusnya. Jika kepercayaan akan penegakkan hukum dirasakan tidak memenuhi harapan masyarakat; maka akumulasi ketidakpercayaan inilah yang mendorong rasa senasib bersama, yang pada akhirnya membentuk kekecewaan kolektif atau frustrasi masaal; yang ini salah satu diantaranya adalah memicu adanya Gruduk.
2.Kehilangan Patron Sosial
Sudah menjadi semacam aksioma sosial bahwa setiap individu memiliki idola atau keyakinan panutan terhadap tokoh tertentu, baik secara regional, maupun nasional. Kita masih ingat pada Jaman belum semaju sekarang, saat  Soekarno  berpidato; semua rakyat mendengarkan radio walaupun dengan susah payah, dan banyak diantara mereka mengidolakan Soekarno. Dengan kemajuan teknologi sekarang Idola sosial terdiversifikasi kepada banyak tokoh. Celakanya sekarang tokoh-tokoh yang semula diidolakan ditengah jalan menurut mereka berkhianat; akhirnya massa yang terlanjur kecewa kepada tokoh idolanya menjadi terakumulasi, dan inipun menjadi mesiu untuk terjadinya Gruduk.
3.Adanya aktor intelektual
Perkembangan lanjut sekarang adalah adanya aktor intelektual yang menggagas, merancang, dan sampai mendanai untuk terjadinya Gruduk. Aktor ini bisa saja satu orang, atau beberapa orang, tergantung dari bagaimana dan apa tujuan dari akan dilakukan Gruduk ini.  Aktor intelektual ini sangat menguasai teknik pembentukan, pergerakan, sampai pendanaan untuk menggerakkan massa. Termasuk merancang issuw, memunculkan issue, membelokkan issue; sampai dengan membuat kontra issue. Oleh sebab itu sangat sulit sekali menafikan bahwa adanya pengerahan massa tidak ada aktor intelektual yang menjadi perancangnya.
Bisa dibayangkan jika ketiga hal tadi terjadi secara bersamaan, tentunya ini menimbulkan ledakan sosial yang dahsyat dan membahayakan keutuhan negara. Maka tidak salah dibeberapa negara menciptakan instrumen yang bernama intelejen negara; yang bertugas mengendus hal-hal tadi untuk segera mencari penangannya dengan cepat. 
Persoalan di atas akan menjadi lebih runyam lagi jika datangnya pelaku Pemancing Di Air Keruh; karena pelaku ini akan menggunakan cara adu domba yang disebarkan baik melalui issue maupun media sosial; guna mencapai tujuannya. Kelompok ini selalu ada sejak dahulu kala; bahkan mereka ini cenderung menggunakan cara apa saja untuk mewujudkan keinginannya.
Persoalan yang tersisa adalah bagaimana menyikapi hal ini. Pertanyaan ini sulit sekali dicari jawabannya, karena persoalan sosial sebagai pemantik terjadinya Gruduk untuk masing-masing daerah sangat beragam. Variabel penyerta dan pemicu terkadang berkelindan satu dengan yang lain. Sehingga deteksi dini adalah salah satu cara yang masih mungkin dilakukan.
Usaha yang perlu dilakukan adalah bagaimana Gruduk itu supaya tidak terjadi; Secara teoritis hal yang dapat dilakukan adalah:
Pertama, mereka yang diberi amanah oleh rakyat untuk menjadi pemimpin atau kelompok yang mewakili rakyat harus mampu menunjukkan unjuk kerja yang memihak kepada rakyat. Kebijakkan yang diambil harus betul-betul menunjukkan keberpihakan kepada rakyat. Jika rakyat merasa kebijakkan yang diambil melukai perasaan rakyat atau justru menjauh dari rakyat; tinggal menunggu saja waktunya pemimpin ini atau para wakil ini ditinggalkan rakyat, dan akumulasninya adalah jika ada pemantik maka kejadian ini bisa menjadi Gruduk.
Kedua, jangan membuat kebijakkan yang merasa rakyat ditinggal sendiri. Karena jika ini terjadi rasa senasib sepenanggungan akan mengikat mereka pada satu ikatan emosional. Ikatan emosional ini sangat mudah untuk tersulut menjadi Gruduk begitu ada diantara mereka muncul menjadi pahlawan; maka Gruduk akan datang bak air bah yang dapat meluap kemana-mana.
Ketiga, distribusikan kekuasaan sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing, sehingga akan terjadi juga pembagian resiko sosial dengan baik. Jika kekuasaan terpusat pada satu figur saja; maka yang terjadi adalah kultus individu. Akibat lain akan memunculkan broker, pembisik, dan penjilat. Jika ini yang terjadi maka pemimpin secara lambat tapi pasti akan tereliminasi dari rakyatnya. Hal ini juga dapat membuat proses Gruduk cepat terjadi.
Keempat, kemampuan untuk menyerap aspirasi masyarakat langsung sangat diperlukan. Dengan katalain pendengaran para pemimpin harus lebih tajam dari yang dipimpin. Untuk itu aksi langsung turun ke bawah adalah usaha yang harus terus dilakukan, sehingga rakyat merasa tidak ditinggalkan.
Lampung sebentar lagi akan masuk pusaran politik atas nama demokrasi melakukan pemilihan Kepala Daerah, walaupun masih cukup waktu nama para tokoh yang akan mencalonkan diri sudah membuka ancang-ancang, bahkan jurus-jurus pemanasan sudah dilakukan. Lapangan sudah di goyang, bendera sudah dikibar, baliho sudah disebar dilintasan jalan strategis. Namun jarang diantara para calon mengevaluasi secara personal bagaimana reaksi rakyat di luar para brokernya. Banyak diantara mereka yang tidak peduli dengan itu semua, kehadiran mereka hanya karena diidorong syahwat ingin tau, ingin hadiah, ingin jumpa teman, ingin keramaian. Jarang diantara mereka yang mau menemukenali para calon.
Para calon hanya diGruduk karena akumulasi kepentingan sesaat; dan jika mereka tidak menemukan apa yang diinginkan; tidak segan-segan mereka meninggalkan begitu saja. Contoh seperti ini sudah banyak; oleh sebab itu tidak salah jika melalui tulisan ini, dan itupun jika berkenan untuk para calon agar berhati-hati dan sangat berhitung menghadapi pesta demokrasi 18, karena peristiwa sosial itu sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya.
Mewaspadai Gruduk adalah juga mewaspadai gejolak sosial, apalagi menggerakkan Gruduk sekarang cukup menggunakan Media Sosial yang tidak terlihat, oleh sebab itu antisipasinyapun sulit sekali dilakukan. Oleh sebab itu bagi para petarung yang ingin memasuki gelanggang sudah seharusnya mempelajari aturan-aturan formal dari pertarungan, tetapi juga mempelajari karakteristik dari para konstituen; sehingga tidak masuk dalam jebakan sosial yang setiap saat lapar akan memangsa siapapun. Selamat bertarung tanpa Gruduk.


Jumat, 12 Mei 2017

SURAT PENCATATAN CIPTAAN (HAKI)

PILKADA (Petaka atau Berkah)

PILKADA
(Petaka atau Berkah)
Sudjarwo
Guru Besar Unila

Beberapa saat lalu negara kita dihirukpikukkan oleh hajat nasional yaitu diselenggarakannya Pemilihan Kepala Daerah secara serentak. Tidak kurang dari 102 daerah pemilihan menggelar hajat nasional ini. Dari Aceh sampai Papua pesta demokrasi ini berlangsung, tentu saja dengan banyak bumbu-bumbu; dari yang paling manis sampai yang paling pahit.

Namun demikian Pesta Demokrasi kali ini ada yang sangat menarik yaitu dari seratus lebih daerah yang menyelenggarakan Pesta Demokrasi, namun beritanya hanya didominasi oleh Pilkada Jakarta. Berita Jakarta ini mendominasi semua saluran televisi, bahkan radio yang ada. Menjadi lebih seru lagi ditambah dengan dominasi dari media sosial yang ada. Untuk yang terakhir ini beritanya menjadi “super seru” karena kita sulit membedakan berita itu “palsu” atau ssungguhan. Membacanyapun dari yang menaikkan bulu kudu, sampai berita yang membuat bibir tersungging senyum.

Hal tersebut wajar terjadi karena Jakarta adalah Ibu Kota Negara yang menjadi semacam tolok ukur bagi semua daerah untuk menakar demokrasi. Akan tetapi menjadi tidak elok tontonan tadi manakala muncul tokoh tokoh nasional yang muncul dengan menampilkan perilaku yang tidak sesuai dengan “baju” nya.  Adalagi perilaku yang seharusnya untuk ukuran usia dan status yang bersangkutan menampilkan laku yang teduh, ngayomi; ternyata  justru menampilkan perilaku garang, memusuhi semua yang berbeda. Namun apesnya pada saat pesta berlangsung, justru piring yang ada didepannya dipakai untuk makan orang lain.

Pada sisi lain juga menjadi sesuatu yang menarik, yaitu masih tingginya kartu suara yang tidak dipakai; atau dengan bahasa lain masih banyak mereka yang berhak tetapi tidak melaksanakan haknya. Jika kejadian itu di daerah, mungkin kendala jarak, transportasi, cuaca; menjadi pembenaran. Akan tetapi untuk Ibu Kota hal ini menjadi aneh, karena semua kendala di atas relatif nihil. Hal ini tentu ada sebab-sebab lain yang mendorong peristiwa itu terjadi.

Tontonan yang tidak bisa jadi tuntunan seperti di atas berbekas pada banyak anak negeri ini, sehingga mereka seolah mendapatkan contoh yang tidak patut dicontoh. Apalagi mereka merasa diberlakukan tidakadil oleh perlakuan media ataupun tokoh. Hal ini terjadi karena mereka merasa dilupakan oleh negeri ini, akibat dari terlalu digiring fokus mereka ke Jakarta, sementara mereka sendiri sedang melakukan perhelatan Pesra Demokrasi.

Pertanyaan tersisa adalah apa yang terjadi dalam masyarakat dengan adanya Pilkada. Jika pertanyaan ini kita jadikan acuan, maka ada pertanyaan lanjut pada kelompok mana ini ditujukan. Jika pertanyaan ini ditujukan pada kelompok awam, jawabannya adalah mereka lebih mengutamakan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Bahkan jika mereka dihadapkan pada pilihan memilih atau penghasilannya berkurang. Maka sudah dapat dipastikan mereka akan memilih pada mempertahankan penghasilan. Kelompok ekonomi subsistensi ini (meminjam istilah Sosiologi Pertanian), merasa lebih rentan ekonominya, oleh karena itu prioritas ekonomi menjadi utama. Tidak salah jika kelompok ini lebih tidak ikut pesta bukan karena tidak partisipatif, akan tetapi lebih pada “ketakutan kuali penanak nasinya” terguling.

Bagaimana dengan kelompok menengah bawah. Kelompok ini paling getol untuk menjadi partisipasi aktif dalam pesta demokrasi, namun bukan berarti partisipasi murni. Partisipasi mereka sangat rapuh dengan godaan material sesaat. Bahkan kelompok ini bisa berbuat kiri kanan Ok, dalam arti lebih mendahulukan kepentingan mereka, walaupun bersifat sesaat.

Kelompok ini tidak begitu tampak dipermukaan, akan tetapi secara riel ada ditengah masyarakat. Bahkan dari mereka sering muncul slogan “wani piro”. Kelompok ini seolah masa apung yang labil untuk mudah berubah. Tidak jarang dari mereka saat Pasangan Calon A mengadakan kampanye, mereka hadir. Saat pasangan lain kampanye dengan waktu yang berbeda, merekapun hadir. Ganti atribut dalam sesaat mereka dapat lakukan dengan mudah.

Kelompok menengah berbeda lagi. Karena secara ekonomi mereka lebih mapan dan memiliki akses media lebih luas ; mereka lebih bersifat “menunggu” dan “ melihat”. Mereka lebih cenderung menjadi masa apung, namun demikian mereka lebih konsisten jika sudah menetapkan pilihan. Kasus ini dibuktikan dengan Ibu Kota yang di gruduk (pinjam istilah pak BY) oleh masyarakat luar, tetapi tidak banyak menggoyahkan pilihan kelompok ini. Bahkan mereka menjadi semakin mengeras karena merasa diintervensi. Kelompok ini tidak bisa ditekan-tekan, akan tetapi lebih pada diberikan pilihan-pilihan, sehingga mereka merasa dihargai. Kelompok inilah sebenarnya merupakan kelompok penentu dalam keberhasilan Pemilihan, karena makin besar jumlah  tingkat partisipasi mereka, maka akan makin besar juga tingkat keterlibatan peserta pilih pada suatu daerah.

Kelompok menengah atas. Kelompok ini jumlahnya sedikit, tetapi memgang posisi kunci dalam strata masyarakat. Masing-masing anggota memiliki sejumlah pengikut, baik atas dasar hubungan darah, maupun pertemanan, serta kolega kepartaian/aliran. Kelompok ini menjadi semacam penggerak mesin sosial, bahkan bisa jadi juga merangkap menjadi donatur kegiatan.  Namun demikian kelompok ini sebenarnya sering dimanfaatkan oleh kelompok menengah bawah untuk dijadikan semcam “pemanfaatan situasi”.  Kelompok menengah atas ini mampu menggerakkan massa besar-besaran, bahkan masip dengan memanfaatkan kelompok menengah bawah, guna dijadikan “tunggangan sosial”. Tampak semacam simbiose mutualistis atau saling memanfaatkan dari keduanya.

Bagaimana dengan kelompok minoritas sosial lain. Dalam tulisan ini diberi istilah “sempalan bawah” dan Sempalan Atas”. Sempalan bawah adalah mereka yang secara sosial ekonomi termarginalkan karena kekurangannya. Kelompok ini sama sekali tidak mengacuhkan peristiwa sosial termasuk Pilkada. Bagi mereka hidup hari ini, dicari hari ini, dan untuk hari ini. Mereka abai dengan kondisi sosial sekitar; yang penting bagi mereka hari ini mencari, untuk dimakan hari ini, hari esok biarkan nanti.

Bagaimana dengan sempalan atas. Kelompok ini berbeda kutub dengan sempalan bawah. Ciri sempalan ini ialah secara ekonnomi mereka di atas rata-rata. Jumlahnya mereka sedikit, tetapi mengendalikan seluruh lapisan yang ada di negeri ini. Bukan hanya ekonomi, bahkan sampai pada sosial politik.  Partisipasi mereka pasip, tetapi modalnya yang aktif; sehingga mereka berkecenderungan sangat individualis. Jika dirasa iklim yang ada akan mengnganggu mereka secara ekonomi, maka mereka dengan mudah hengkang dari negeri ini pergi kenegeri lain. Tempat tinggal fisik bukan menjadi tumpuan, tetapi tempat tinggal modal itu utama. Perilaku mereka sangat sensitif jika menyangkut capital, karena harta kekayaannya tidak habis untuk tujuh turunan, tetapi  jika salahkelola bisa hilang dalam tujuh detik. Oleh karena itu mereka lebih senang bergerak dibelakang layar bak bayang-bayang maut yang hanya bisa dirasa tidak bisa diraba.  Suka tidak suka Pilkada membuat mereka sedikit terganggu; karena mereka selalu mepelototi situasi kondisi yang sewaktu-waktu berubah, dan jika itu terjadi mereka dengan segera memindahkan kapitalnya keluar dari negeri ini.

Pemilahan-pemilahan di atas hanya pemilahan imaginer;  untuk mempermudah analisis sosial. Sedangkan pada dunia nyata batas-batas imaginer itu tidaklah kentara benar, namun bisa diamati perilaku masyarakat untuk dilakukan pengkatagorian.  Perdebatan masalah ini bersifat abadi karena bisa saja seseorang dalam kategori material masuk golongan tertentu, tetapi dalam kategori sosial masuk golongan lainnya.

Menjadi sesuatu yang tersisa adalah apapun alasannya Pilkada akan menjadikan masyarakat terbelah secara imaginer. Menjadi tugas para pemimpin bangsa ini untuk membendung belahan itu untuk tidak menjadi belahan sosial, karena jika itu yang terjadi ; maka benturan sosial tidak dapat dielakkan. Belahan imaginer akan cepat menjadi belahan sosial riel jika ada pihak tertentu yang mengambil kesempatan dengan memancing di air keruh melalui hembusan SARA, atau menciptakan musuh imaginer ; sehingga terjadi destruktif sosial yang bisa menghancurkan Bangsa dan Negara ini.

Namun sebaliknya jika pelaku sosial bersikap dewasa dengan menyikapi perbedaan sebagai suatu sunatullah; maka yang terjadi adalah bangun demokrasi yang  harmonis. Inilah yang menjadi impian bersama kita dalam membangun bangsa. Semoga Pilkada bukan membawa petaka tetapi membawa berkah.

  



KEMBALI KE “ NOL “ KILOMETER

KEMBALI KE “ NOL “ KILOMETER

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila

Pada saat mengahadiri kegiatan pertemuan Pimpinan Pascasarjana  yang dilaksanakan  di Aceh,  even tersebut ditutup dengan mengunjungi daerah-daerah yang terkena Tsunami, bahkan terekam dalam musieum yang tidak pernah habis orang berkunjung ke sana; kemudian ditutup dengan mengunjungi Kota Sabang di Pulau We. Pulau paling Barat ini pada zaman Presiden Habibi, dibangun penanda yaitu “Titik Nol Kilometer Indonesia”. (Walaupun tidak tepat benar karena masih ada Pulau Terluar paling luar yaitu Pulau Rondo). 

Sepintas bangunan itu biasa-biasa saja bahkan masih tampak dalam finalisasi renovasi, kesannya sama pada waktu berkunjung ke Kota Khatulistiwa “Pontianak”, dan “Marauke” titik paling timur Indonesia.  Namun ada yang menarik yaitu masih perlunya peningkatan infrastruktur, sehingga tidak tertinggal dari daerah lain, Jarak yang ditempuh dengan tigapuluh menit berlayar menggunakan Kapal Cepat, dengan catatan cuacanya bersahabat, ternyata semua fasilitas pelabuhan begitu sederhana. Ruangan yang begitu panas, hiruk pikuk pedagang asongan serta teriakan jasa angkutan, tidak adanya fasilitas jamban;  menjadi satu lebur saat Kapal merapat bersandar di Pelabuhan.

Menjadi semakin lengkap dan lebar perbedaan itu jika dibandingkan dengan perilaku elite yang juga begitu dipahami oleh saudara-saudara kita yang ada di sana. Peristiwa-peristiwa nasional yang terjadi nun jauh di Ibu Kota; mereka ikuti dengan perasaan yang tidak begitu membahagiakan. Bahkan salah seorang supir “Otto” ; yang kehidupan mereka sangat tergantung “Tamu” dari luar, mengatakan bahwa jika uang yang dikorupsi untuk proyek Kartu Tanda Penduduk; digunakan membangun Kota Sabang, maka kota ini akan menjadi lima kali lebih megah yang ada sekarang. Luka sosial yang tampak terbaca di raut wajah pengemudi ini makin kentara manakala diskusi dilanjutkan dengan bagaimana masih perlunya perbaikan sarana prasarana di Pulau Ujung Barat ini.

Guncangan sosial mulai terasa dengan tereksposenya beberapa pelaku korupsi E-KTP mengembalikan uang hasil rampokkan ke pada negara. Hal ini menunjukkan semakin terang benerang, mana mungkin ada asap, jika tidak ada api. Menjadi persoalan adalah masih banyaknya  yang mengingkari.

Banyak diantara kita tidak merasa bahwa masyarakat awam mulai menunjukkan respon negatif, yaitu menunjukkan ketidakpercaaan masyarakat kepada eksekutif dan legeslatif. Kondisi ini akan menuju kepada titik nol kepercaayaan, dan jika ini terjadi; maka masyarakat kita akan berlaku apatis terhadap apa yang diperbuat oleh Eksekutif maupun Yudikatif.

Respon-respon seperti ini sudah mulai terasa saat ini; banyak anggota masyarakat sudah sangat acuh dengan Baliho berisi gambar calon baik Bupati maupun Gubernur. Mereka tampak tidak acuh kepada apa yang dipampangkan dimukanya, dan menjadi aneh lagi pada waktu ditanya kepada mereka yang memasang, jawabannya: hampir semua mereka tidak kenal dengan orang yang punya gambar atau sang calon, dan mereka melakukan hanya karena pertimbangan ekonomi “berapa” diberi saja.
Model transaksional seperti ini tentu sangat membahayakan tumbuhkembangnya demokrasi di negara ini. Seolah-olah kita secara sengaja dan masif menciptakan kondisi untuk terjun ketitik nol, akibatnya membuat partisipasi pada kegiatan politik menjadi rendah. Ada hukum paradok di sana, satu sisi mengenalkan diri melalui sosialisasi itu diperlukan, namun pada ukuran tertentu ternyata sosialisasi menjadikan kejenuhan sosial.

Satu sisi korupsi, sisi lain kejenuhan sosial, ternyata mulai menunjukkan korelasi yang makin erat, dan ini merupakan hasil sosial yang banyak diantara kita tidak mengira. Terbentuknya kejenuhan sosial seperti ini membuat pekerjaan kita menjadi lebih berat; karena membangkitkan kembali partisipasi itu jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan membangun partisipasi dari awal.  

Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya “Janji Kampanye” yang begitu duduk memangku jabatan hasil pilihan; yang bersangkutan merasa tidak punya beban untuk mewujudkan janjinya, bahkan ada bahasa Palembang yang menjadi jargon “Janji Kagek Bae” maksudnya ialah Janji nanti saja. Akibatnya dikalangan masyarakat menengah timbul istilah “Pejabat Hoak” yaitu pejabat pembohong. Kondisi ini juga memberi kontribusi pada terbentuknya sikap apatis, dan pragmatis. Tentu saja akan berakibat pada perilaku politik lanjutan, ada sebagian mereka menunggu serangan fajar, dan berapa besaran yang ditebar dalam serangan fajar, itu ikut menentukan.

Kondisi ini tidak kentara dipermukaan dalam wujud perilaku, tetapi hanya bisa di rasakan kehadirannya dalam sikap mereka. Hal ini sudah terbukti dari hasil pemilihan kepala daerah yang lalu, ada daerah-daerah yang oleh Petahana di anggap aman, ternyata justru Bom Waktu meledak di sana. Sebaliknya daerah yang diperkirakan rawan, ternyata dengan “gempuran ala ninja” daerah itu menjadi terselamatkan.   Model seperti ini sebenarnya sudah terjadi dimana-mana, karena kejenuhan massa sulit terdeteksi; apalagi ditengah pusaran politik pasti ada pecundang politik. Kelompok inilah yang selalu ingin ambil untung sehingga paling senang jika ada konflik sosial dalam peristiwa apapun.

Atas dasar peritiwa itu tidak ada jaminan Petahana dapat bertahan atau keluar sebagai pemenang; peluang untuk kembali ketitik nol, tetap akan mungkin terjadi.  Karena banyak sekali faktor yang dapat menjadikan itu semua terjadi.  

Berdasarkan semua di atas, ternyata masyarakat awan selalu menjadi korban untuk selalu terbawa pada titik nol. Korban massal seperti ini sangat jarang dipahami oleh banyak pihak, bahkan berlindung atas dasar Pembelajaran dalam Demokrasi ; maka peristiwa itu sah adanya. Luka sosial serupa ini sering kita buat tanpa harus mencoba untuk mencari obatnya; bahkan setiap selesai peristiwa sosial apapun jenisnya dan peristiwanya, banyak diantara kita abai akan hal ini. Padahal luka sosial tidak jarang berkembang menjadi dendam sosial.

Peristiwa sosial seperti Pemilu, baik Kepala Daerah maupun Presiden, Peristiwa Korupsi; semua itu akan menjadikan kenangan kolektif pada “jejak rekam” ingatan masyarakat.  Hal tersebut menjadi semacam referensi bagi masyarakat untuk menilai sesuatu.  Karena itu biaya sosial yang dikeluarkan oleh masyarakat menjadi begitu mahal, dan jika itu terus dibiarkan; maka akan menjadikan masyarakat mengalami sakit.

Berkaca dari peristiwa tersebut di atas, maka untuk Pemilu Kada di Lampung hendaknya para peserta dapat menjadikan referensi; setidaknya bahan renungan sebelum melangkah. Bahkan kebiasaan bagi-bagi sembako yang selama ini sering dilakukan; untuk saat ini bukan langkah populer lagi, karena yang akan terjadi sembako diambil pilihan tetap beda. Atau masyarakat makin cerdas untuk menjadikan sembako sebagai amunisi politik guna menjatuhkan Paslon.

Untuk para Petahana juga jangan merasa diri sudah aman karena sudah memberikan yang terbaik buat rakyat. Karena antara Petahana dan Rakyat, ada instrumen birokrasi yang terkadang melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat Petahana, justru yang terjadi sering apa yang dilakukan oleh instrumen birokrasi berbanding terbalik dengan yang dikehendaki Petahana.

Mobilisasi massa juga perlu dipikirkan ulang, karena banyak para pecundang politik yang berprilaku bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh Petahana, atau juga calon penantang. Karena tidak jarang pengerahan massa ini dijadikan lahan baru bagi pencari pekerjaan baru. Orang yang sama dengan jadwal yang berbeda pada calon yang berbeda, bisa dijadikan ajang pencari uang bagi para broker dalam pengerahan massa.

Perilaku-perilaku menyimpang serupa ini merupakan devian dari demokrasi, yang pada akhirnya jika ini dibiarkan, akan menyeret masyarakat pada perilaku politik transaksional, dan berakhir pada titik nadir.

Isue-isue lain yang sekarang marak adalah iseu primordialisme, yang juga tidak kalah bahayanya dengan hal-hal di atas. Semua ini mendorong bangsa ini menuju pada titik nol; jika para elite pemimpin tidak mampu mengelola negara ini secara baik. Negara-negara di luar sana banyak yang dapat kita jadikan contoh. Syiria yang berkeping-keping, Iran yang tidak pernah damai, Irak yang porak poranda, Pakistan yang selalu bertikai, dan masih banyak lagi. Dan jangan sampai berikutnya adalah kita. Dengan sekuat tenaga kita harus menghindarkan negara pada benturan sosial yang berakibat pada pecahnya negara ini.

Sedangkan di dalam negeri dalam ingatan sejarah masih tersisa. Negara-negara di Nusantara ini hancur berkeping tidak banyak dikontribusi oleh faktor luar, tetapi justru dari dalam. Pertanyaannya ialah apakah kita mau mengulangi kebodohan sejarah; apakah kita hanya ingin seperti Kerajaan Singasari yang seumur jagung, atau kita mau mengukir sejarah menjadi Majapahit Ke II. Semua berpulang kepada kita semua.