Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Kamis, 02 Maret 2017

DIASPORA

Pada beberapa minggu lalu saat ada waktu untuk melaksanakan perjalanan suci ketanah Harom ; rombongan yang terdiri dari 36 orang berasal dari beberapa kawasan Indonesia, walaupun dominasi tetap dari Ibu Kota; ada sesuatu yang menarik yaitu ada dua anggota bersaudara terdiri dari Kakak dan adik. Sang Kakak perempuan lajang profesional sedangkan adik dari SMA Internasional Gandhi bernama Ando.

Dilihat dari  tampilan tidak ada yang menarik tetapi menjadi terperangah setelah mengenal lebih dekat; ternyata Ando sudah dua kali ke Tanah Suci, pertama dengan kedua orang tuanya, dan kali ini dengan sang kakak. Ando lima bersaudara dan dia adalah si bungsu. Kakak-kakaknya yang tiga sedang berlibur ke Eropa, sedangkan dia diperintahkan melalui Kakak nomor empat untuk pergi ke Tanah Suci tanpa di kawal orang tua. Anak mami ini harus melakukana semua mandiri tanpa boleh minta bantuan siapapun kecuali amat terdesak. Dari pembicaraan yang intens ternyata Ando menikmati perjalanan ini karena bisa menggunakan bahasa Indonesia sepanjang hari. Ando merasa terasing dinegeri sendiri karena dari bangun tidur sampai tidur lagi dia harus menggunakan Bahasa Asing, karena sekolah di Sekolahan asing.  Menggunakan bahasa asing seperti saat mampir di Dhoha Qatar, anak ini sangat fasih sehingga Guide yang ada merasa kuwalahan melayani pertanyaan-pertanyaan bocah SMA kelas dua ini. Tetapi bagi Ando itu penyiksaan. 

Aneh tapi nyata, ternyata di Indonesia saat ini ada segelintir anak bangsa yang hidup di negerinya sendiri menjadi terasing. Kemakmuran yang dinikmati keluarga ini dan cita-cita keluarga untuk tampil mendunia seluruh keturunannya; ternyata membawa individu di dalam keluarga itu menuju kepada alam yang tereliminasi. Dan mereka sangat rindu akan suasana keindonesiaan yang sesungguhnya.

Sesampai di Kota Suci Makkah rombongan didampingi oleh seorang anak muda bernama Abdulrahman. Anak muda ini lahir tahun 2000, ibu dari Pamekasan Madura dan Ayah dari Kediri Jawa Timur, Ustad muda ini lahir dan besar di Tanah Suci, karena kedua orang tuanya adalah eks TKI yang sukses dan tidak ingin kembali ke Indonesia. Sehari-hari  anak muda ini menggunakan bahasa Arab. Bahasa Indonesia dia belajar dari sang Ayah, termasuk menulis Tulisan Bahasa Indonesia, sedangkan dari Ibu belajar Bahasa Madura. Ustad muda yang masih belajar di Aliyah ini sangat senang menjadi pemandu kami karena bisa memperlancar bahasa indonesia dan melatih menulis sendiri Bahasa Indonesia. Abdulrahman sangat mencintai Indonesia, dia bercita-cita membuka pesantren di Tanah Jawa tempat leluhur dari Ayahnya. Dia ingin sekali pada waktunya jika memiliki cukup biaya untuk melihat seperti apa Indonesia itu. Anak tunggal ini begitu bersemangat jika mendengar berita-berita Indonesia, bahkan  anak muda ini melalui media sosial, membuka jaringan pertemanan senasib untuk memikirkan bagaimana Indonesia kedepan dan peran apa yang bisa mereka lakukan.

Berkaca dari dua peristiwa di atas membuat hati ini menjadi miris sekaligus bangga. Ternyata anak-anak muda Indonesia masih banyak yang memiliki kecintaan terhadap negerinya.  Banyak anggapan selama ini bahwa anak-anak muda mengalami kemerosotan nilai-nilai keindonesiaan, ternyata tidaklah semua benar. Ada diantara mereka yang tetap gigih mempertahankan keindonesiaannya di dada, sekalipun berada  di negara lain bahkan lahir dan besar di negara lain.

Justru berbanding terbalik jika menyikapi keadaan masyarakat saat ini yang kebingungan menghadapi ulah sebagian tokoh masyarakat. Kondisi ini menjadi lebih rumit lagi karena ada tokoh nasional yang ikut mencari panggung, dengan cara memanfaatkan celah sosial yang terbentuk karena akibat dari adanya pusaran sosial. 

Kejernihan pemikiran kaum muda ini terkristalisasi pada kesepakatan Cibubur baru-baru ini yang tertuang sebagai “komitmen Kebangsaan” pada waktu Jambore Pramuka Mahasiswa (terlepas status hukum pelaksanaan kegiatan itu tidak dibahas di sini). Walaupun karena jiwa mudanya, maka dalam mengeksposenya sedikit kebablasan, sehingga membuat seorang tokoh nasional sedikit kebakaran jenggot. Namun esensinya adalah mereka lebih berfikir cerdas untuk tidak menerima warisan hutang dan SARA, kemudian mempertahankan Pancasila sebagai Filosofi bangsa. Bentuk kecintaan pada Tanah Air yang cerdas ini menunjukkan bahwa mereka masih sangat peduli akan NKRI sebagai Tanah Tumpah Darah nya.

Bonus demografi yang menghampiri Indonesia saat ini, seharusnya dipersiapkan dengan baik oleh pemerintah dengan membuat kebijakan yang konprehensif untuk generasi muda. Jika ini tidak dilakukan dengan segera, maka momen yang bagus ini akan hilang dengan sia-sia.  Karena merekalah nantinya yang akan memimpin Indonesia ini pada saat 2045, atau satu abad usia Indonesia Merdeka.  Takaran keberhasilan akan tampak di sana, karena ada semacam evaluasi sejarah yang akan berjalan. Terus atau tenggelam, pecah apa bersatu, adalah parameter yang tampak akan muncul di sana, dan semua itu adalah hasil kerja nyata kita selama ini. 

Menjadi pertanyaan tersisa sekarang  “bagaimana mengalirkan Pancasila ke urat nadi mereka” sehingga bangsa ini tetap utuh dalam bingkai  Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti yang kita sama-sama perjuangkan ini. 

Urusan mengalirkan Pancasila Keurat nadi mereka jangan disalahartikan mengagamakan Pancasila, akan tetapi sebagai peneguhan jati diri sebagai Orang Indonesia, itu yang dimaksud. Dengan demikian tugas generasi sekarang menanamkan Merah Putih dan Garuda Pancasila di dada setiap kaum muda Indonesia adalah kuwajiban suci yang harus terus menerus dilakukan, jika tidak ingin Indonesia ini terpecah atau tenggelam ditelan sejarah.

Bukti-bukti sejarah masa lalu telah banyak membuktikan ; justru kehancuran suatunegara itu terjadi antaralain adalah disumbang dari kesalahan pengelolaan generasi penerus, oleh para pendahulunya. Pengelolaan disini memiliki arti yang sagat luas; yaitu dari masalah pendidikan, penanaman ideologi, dan kesejahteraan dan kepastian masa depan. 

Para pemimpin  bangsa ini bisa saja memanggil mereka para diaspora untuk kembali pulang ke Tanah Air; persoalannya adalah apakah kita secara sosial sudah mempersiapkan tempat untuk mereka. Ruang-ruang sosial yang mereka harapkan adalah ruang-ruang yang dapat memberikan kontribusi nyata kepada negaranya. Tidak jarang mereka merasa teraasing di negerinya sendiri akibat dari ketidak siapan kita menerima mereka. Jago-Jago ini memerlukan arena gelanggang untuk berkiprah; oleh sebab itu ajakan pulang membangun negeri tidaklah cukup menjadi penjamin secara sosial bagi mereka. Harus ada tindakan nyata mereka akan diberdaayakan dimana, sebagai apa, dan apa hak dan kuwajibannya.

Semoga dalam menyikapi bonus demografi, Indonesia mampu menangkap moment ini untuk mempersiapkan generasi muda yang lebih baik lagi. Karena pada waktunya nanti anak-anak Indonesia secara fisik tidak ada di Indonesia, namun tautan cinta tanah air menjadikan mereka tertambat pada Ibu Pertiwi.
  

   





Tidak ada komentar:

Posting Komentar