Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Selasa, 04 April 2017

HARI RAYA NYEPI – PELANGI DARI LAMPUNG

Pada saat melihat kalender tertanggal 28 Maret ternyata berwarna merah, mata nanar ke bawah melihat catatan kaki, ternyata tanggal tersebut adalah Hari Raya Nyepi. Sepintas tidak ada yang aneh, akan tetapi lamunan melayang kepada peristiwa beberapa tahun lalu, dimana saat itu salah satu orang dekat penulis bernama Nengah menjadi tangan kanan penulis dalam menggerakkan roda kegiatan akademik. Saat seperti ini beliau meminta ijin untuk tidak ngantor beberapa hari guna mempersiapkan ubo rampe menyambut Hari Raya Nyepi.

Sosok satu ini sangat perhatian dengan sesama teman sekalipun berbeda keyakinan, sebagai contoh jika yang muslim mendapatkan Hadia Lebaran menjelang Idul Fitri, maka mereka yang beragama Nasrani diberikan Hadiah Natal menjelang Perayaan Natal 25 Desember, namun pada saat Hari Raya Nyepi, beliau tidak memberikan apapun kepada teman yang beragama Hindu seperti dirinya. Begitu ditanya, alasannya justru nyepi itu menjauhi semua urusan dunia.

Kata “Nyepi” sendiri dalam kontek bahasa adalah sunyi, senyap, lenggang, tidak ada kegiatan. Hari Raya Nyepi yang merupakan Tahun Baru dari saudara kita yang menganut Agama Hindu, memulai awal tahunnya dengan melakukan kegiatan dengan tidak melakukan kegiatan apapun. Begitu saklarnya hari tersebut; maka semua kegiatan kehidupan di Pulau Bali ditiadakan, bahkan Bandara akan ditutup kecuali untuk kegiatan darurat.

Demikian juga halnya di Lampung, semua pemukiman saudara kita yang beragama Hindu, khususnya saudara kita dari Bali, akan melakukan kegiatan yang sama; yaitu melakukan “nyepi” dari seluruh kegiatan kehidupan selama satu hari satu malam. Desa atau pemukiman merekapun dijaga “Pecalang” atau petugas adat yang khusus menjaga ketentraman wilayahnya dan untuk mentaati ajaran Hindu.

Penulis tidak ingin masuk pada wilayah aqidah, karena bukan pada media ini tempatnya, akan tetapi ada sisi menarik dari peristiwa Hari Raya Nyepi ini dilihat dari perspektif sosiologis, dengan kacamata “keberagaman”, yang pada akhir-akhir ini sering mulai terusik.
Provinsi Lampung yang sudah lama menerima warga lain dari luar daerah bahkan luar pulau, merajut perbedaan dalam kebersamaan. Hari Besar agama apapun yang diakui oleh negara, semua ada di Lampung, dan dapat berjalan sebagaimana adanya. Kondisi harmoni seperti ini sudah sangat lama terjadi. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apa kunci dari semua ini. Mengapa di Provinsi yang beragam seperti ini tidak pernah terjadi benturan dalam penyelenggaraan kegiatan keagamaan.

Kata kuncinya adalah sikap terbukanya masyarakat lampung terhadap pendatang. Tidak peduli apa keyakinan mereka, sejauh mereka para pendatang mau menghormati eksistensi dari para warga lampung; maka segala sesuatu dapat dibicarakan. Sikap kesetaraan seperti ini memungkinkan proses pemahaman melalui pertukaran nilai akan terjadi.
Sisi lain yang juga mendukung ialah pemukiman yang tidak bercampur dengan perkampungan warga asli, justru kaum pendatang seolah-olah diberi hak ulayat tersendiri secara otonom di suatu wilayah tertentu. Mereka bertumbuh dan berkembang sesuai dengan hukum sosialnya masing-masing. Kondisi ini menciptakan suasana interaksi setara; sehingga ada semacam rasa saling menjaga garis sosial masing-masing.

Pada generasi pertama’ kedua dan ketiga tampaknya masih sangat terjaga; namun begitu pada generasi keempat, seiring perkembangan kehidupan yang semakin komplek, lahan semakin menyempit, jumlah penduduk semakin berlipat, hubungan sosial tidak lagi harus berhadap muka secara langsung tetapi menggunakan media yang bersifat masal dan masif, kondisi geopolitik yang semakin libral; maka benturan sosial mudah sekali tersulut. Variabel pemicunya sangat bereragam.

Ada sesuatu yang berkembang kearah positif secara sosiologis sedang berlangsung di Provinsi Lampung, yaitu pada generasi masa kini persoalan primordial secara perlahan mulai terkikis. Kondisi ini terjadi karena disumbang oleh tingginya amalgamasi yaitu pernikahan silang antarkelompok akibat dari terbukanya interaksi yang terbangun.  Semula konsep “kami” berorientasi pada subetnik, sekarang melampaui wilayah itu dan lebih cenderung pada konsep kepentingan bersama. Asimilasi dan akulturasi berjalan lambat tapi pasti dan bahkan cenderung sempurna, oleh karena itu gejolak sosial di daerah ini cenderung bersifat lokal, tidak menjadi masif.

Akibat lanjut toleransi akan tumbuh secara perlahan tapi pasti. Pada acara-acara keagamaan bentuk toleransi ini begitu tampak. Pada acara Hari Raya Nyepi seperti ini, warga non Hindu tidak akan mau melewati jalan desa dimana warganya ada penganut Hindu, mereka tidak ingin mengusik saudaranya yang sedang melakukan “hamati geni, hamati laku”. Bentuk toleransi yang begini pada masyarakat Lampung berdasarkan penelusuran sejarah sudah lama terjadi. Bahkan tidak ditemukan catatan “cawe-cawenya” pemerintah untuk mengatur, akan tetapi murni kesadaran warga sendiri.

Keserasihan sosial ini dapat kita lihat bagaimana pasangan calon yang maju pada pemilihan kepala daerah. Tampak sekali harmonisasi sosial yang ditampilkan oleh para pelaku politik untuk mendulang suara didaerah pemilihan. Jargon dan bahasa lokal menjadi dominan untuk membangkitkan sentimen politik. Namun pada kenyataannya emosi sosial ini tidak dapat membendung pemilihan yang berdasarkan variabel kekerabatan dan ikatan emosional.
Ternyata mosaik yang ditampilkan Lampung tampak begitu indah. Perayaan keagamaan, termasuk didalamnya “Nyepi”, adalah bentuk dari “Pelangi dari Lampung” yang tidak hanya elok dipandang, tetapi juga bisa dijadikan contoh. Keberagaman serupa ini merupakan karunia keilahian yang luar biasa kekuatannya.

Namun demikian ada tugas yang belum selesai kita lakukan, salah satu diantaranya ialah melakukan perawatan sosial terhadap mozaik sosial ini. Jika ini tidak kita lakukan dengan disain yang baik dan kehati-hatian yang tinggi, maka tidak jarang akan berubah menjadi thsunami sosial, dalam bentuk amok masa yang tidak terbendung. Ingat kasus penghancuran patung di Kalianda, adalah bentuk kitidak mampuan elite birokrasi memelihara keragaman yang ada di dalam masyarakat.

Bisa juga dalam bentuk “Bungkam” yaitu sikap yang ditampilkan dengan tidak menampakkan ekspresi. Jika ini terjadi maka yang muncul adalah sifat apatisme sosial, dan ini juga membahayakan bagi keberlangsungan masyarakat, karena anggotanya memilih untuk tidak melakukan apapun.

Semoga dengan semangat Hari Raya Nyepi ini kita mampu semakin tajam melihat keberagaman yang ada di Provinsi Lampung. Dengan demikian kita akan semakin menjadi arif menyikapi perbedaan yang ada diantara kita. Perbedaan itu adalah sisi lain dari kesamaan, oleh karena itu keduanya tidak dapat kita abaikan begitu saja, tetapi bagaimana mengelolanya menjadi kekuatan dahsyat untuk membangun bangsa ini. Mata uang tidak akan memiliki harga jika hanya kita melihat dari satu sisinya, akan menjadi bernilai jika kita mau menerima sisi lain yang membuat pembeda. 



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar