Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Kamis, 18 Mei 2017

DEMOKRASI “GRUDUK’


DEMOKRASI  “GRUDUK’

Oleh : Sudjarwo
Guru Besar FKIP Universitas Lampung

Pada saat menghadiri acara rapat penting di ruang khusus: penulis duduk berdampingan dengan dua orang doktor dari ilmu yang berbeda. Doktor pertama bidang keahliannya Fisika, doktor kedua adalah dari Bahasa Indonesia ; sebelum rapat mulai; kami bertiga terlibat pembicaraan menyangkut kondisi bangsa saat ini.  Salah satu yang dibicarakan adalah istilah “Gruduk” dalam bahasa Jawa yang sulit sekali dicari padanannya dalam bahasa Indonesia terutama dalam konteks rasa. Padahal fenomena Gruduk ini sekarang sedang menonjol. Kami sempat bernostalgia masa kecil yang juga sering grudukan dengan teman-teman; apalagi jika musim buah, sekalipun buah-buhan ada di halaman sendiri, tetapi jika malam hari sering menggeruduk tanaman tetangga desa.
Ternyata Gruduk sekarang menjadi tren; dan apapun peristiwanya upaya pengerahan masa untuk menggeruduk terhadap sesuatu; menjadi begitu menonjol. Harapan yang ingin dicapai ingin menunjukkan banyaknya dukungan terhadap sesuatu yang diyakini menjadi keyakinan kolektif; walaupun kebenarannya masih perlu diuji.
Peristiwa ini terjadi karena ada instrumen sosial yang tidak berfungsi di dalam masyarakat; atau paling tidak  fungsinya tidak maksimal dan tidak sesuai harapan kolektif.  Akibatnya enargi sosial tersumbat; yang kemudian membesar karena berhimpun menjadi massa, yang akibat lanjut mengalir menjadi “gruduk”. Menjadi pertanyaan instrumen sosial mana yang tidak berfungsi : Tulisan ini menengarai diantaranya adalah sebagai berikut:
1.Keyakinan terhadap hukum
Maksudnya adalah dalam masyarakat hidup keyakinan kolektif bahwa hukum itu ada dan digunakan untuk mengawal perilaku sosial mereka agar terjadi keharmonisan tatanan sosial, dan jika terjadi penyimpangan terhadap tata aturan sosial; maka hukum diharapkan menjadi pemutusnya. Jika kepercayaan akan penegakkan hukum dirasakan tidak memenuhi harapan masyarakat; maka akumulasi ketidakpercayaan inilah yang mendorong rasa senasib bersama, yang pada akhirnya membentuk kekecewaan kolektif atau frustrasi masaal; yang ini salah satu diantaranya adalah memicu adanya Gruduk.
2.Kehilangan Patron Sosial
Sudah menjadi semacam aksioma sosial bahwa setiap individu memiliki idola atau keyakinan panutan terhadap tokoh tertentu, baik secara regional, maupun nasional. Kita masih ingat pada Jaman belum semaju sekarang, saat  Soekarno  berpidato; semua rakyat mendengarkan radio walaupun dengan susah payah, dan banyak diantara mereka mengidolakan Soekarno. Dengan kemajuan teknologi sekarang Idola sosial terdiversifikasi kepada banyak tokoh. Celakanya sekarang tokoh-tokoh yang semula diidolakan ditengah jalan menurut mereka berkhianat; akhirnya massa yang terlanjur kecewa kepada tokoh idolanya menjadi terakumulasi, dan inipun menjadi mesiu untuk terjadinya Gruduk.
3.Adanya aktor intelektual
Perkembangan lanjut sekarang adalah adanya aktor intelektual yang menggagas, merancang, dan sampai mendanai untuk terjadinya Gruduk. Aktor ini bisa saja satu orang, atau beberapa orang, tergantung dari bagaimana dan apa tujuan dari akan dilakukan Gruduk ini.  Aktor intelektual ini sangat menguasai teknik pembentukan, pergerakan, sampai pendanaan untuk menggerakkan massa. Termasuk merancang issuw, memunculkan issue, membelokkan issue; sampai dengan membuat kontra issue. Oleh sebab itu sangat sulit sekali menafikan bahwa adanya pengerahan massa tidak ada aktor intelektual yang menjadi perancangnya.
Bisa dibayangkan jika ketiga hal tadi terjadi secara bersamaan, tentunya ini menimbulkan ledakan sosial yang dahsyat dan membahayakan keutuhan negara. Maka tidak salah dibeberapa negara menciptakan instrumen yang bernama intelejen negara; yang bertugas mengendus hal-hal tadi untuk segera mencari penangannya dengan cepat. 
Persoalan di atas akan menjadi lebih runyam lagi jika datangnya pelaku Pemancing Di Air Keruh; karena pelaku ini akan menggunakan cara adu domba yang disebarkan baik melalui issue maupun media sosial; guna mencapai tujuannya. Kelompok ini selalu ada sejak dahulu kala; bahkan mereka ini cenderung menggunakan cara apa saja untuk mewujudkan keinginannya.
Persoalan yang tersisa adalah bagaimana menyikapi hal ini. Pertanyaan ini sulit sekali dicari jawabannya, karena persoalan sosial sebagai pemantik terjadinya Gruduk untuk masing-masing daerah sangat beragam. Variabel penyerta dan pemicu terkadang berkelindan satu dengan yang lain. Sehingga deteksi dini adalah salah satu cara yang masih mungkin dilakukan.
Usaha yang perlu dilakukan adalah bagaimana Gruduk itu supaya tidak terjadi; Secara teoritis hal yang dapat dilakukan adalah:
Pertama, mereka yang diberi amanah oleh rakyat untuk menjadi pemimpin atau kelompok yang mewakili rakyat harus mampu menunjukkan unjuk kerja yang memihak kepada rakyat. Kebijakkan yang diambil harus betul-betul menunjukkan keberpihakan kepada rakyat. Jika rakyat merasa kebijakkan yang diambil melukai perasaan rakyat atau justru menjauh dari rakyat; tinggal menunggu saja waktunya pemimpin ini atau para wakil ini ditinggalkan rakyat, dan akumulasninya adalah jika ada pemantik maka kejadian ini bisa menjadi Gruduk.
Kedua, jangan membuat kebijakkan yang merasa rakyat ditinggal sendiri. Karena jika ini terjadi rasa senasib sepenanggungan akan mengikat mereka pada satu ikatan emosional. Ikatan emosional ini sangat mudah untuk tersulut menjadi Gruduk begitu ada diantara mereka muncul menjadi pahlawan; maka Gruduk akan datang bak air bah yang dapat meluap kemana-mana.
Ketiga, distribusikan kekuasaan sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing, sehingga akan terjadi juga pembagian resiko sosial dengan baik. Jika kekuasaan terpusat pada satu figur saja; maka yang terjadi adalah kultus individu. Akibat lain akan memunculkan broker, pembisik, dan penjilat. Jika ini yang terjadi maka pemimpin secara lambat tapi pasti akan tereliminasi dari rakyatnya. Hal ini juga dapat membuat proses Gruduk cepat terjadi.
Keempat, kemampuan untuk menyerap aspirasi masyarakat langsung sangat diperlukan. Dengan katalain pendengaran para pemimpin harus lebih tajam dari yang dipimpin. Untuk itu aksi langsung turun ke bawah adalah usaha yang harus terus dilakukan, sehingga rakyat merasa tidak ditinggalkan.
Lampung sebentar lagi akan masuk pusaran politik atas nama demokrasi melakukan pemilihan Kepala Daerah, walaupun masih cukup waktu nama para tokoh yang akan mencalonkan diri sudah membuka ancang-ancang, bahkan jurus-jurus pemanasan sudah dilakukan. Lapangan sudah di goyang, bendera sudah dikibar, baliho sudah disebar dilintasan jalan strategis. Namun jarang diantara para calon mengevaluasi secara personal bagaimana reaksi rakyat di luar para brokernya. Banyak diantara mereka yang tidak peduli dengan itu semua, kehadiran mereka hanya karena diidorong syahwat ingin tau, ingin hadiah, ingin jumpa teman, ingin keramaian. Jarang diantara mereka yang mau menemukenali para calon.
Para calon hanya diGruduk karena akumulasi kepentingan sesaat; dan jika mereka tidak menemukan apa yang diinginkan; tidak segan-segan mereka meninggalkan begitu saja. Contoh seperti ini sudah banyak; oleh sebab itu tidak salah jika melalui tulisan ini, dan itupun jika berkenan untuk para calon agar berhati-hati dan sangat berhitung menghadapi pesta demokrasi 18, karena peristiwa sosial itu sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya.
Mewaspadai Gruduk adalah juga mewaspadai gejolak sosial, apalagi menggerakkan Gruduk sekarang cukup menggunakan Media Sosial yang tidak terlihat, oleh sebab itu antisipasinyapun sulit sekali dilakukan. Oleh sebab itu bagi para petarung yang ingin memasuki gelanggang sudah seharusnya mempelajari aturan-aturan formal dari pertarungan, tetapi juga mempelajari karakteristik dari para konstituen; sehingga tidak masuk dalam jebakan sosial yang setiap saat lapar akan memangsa siapapun. Selamat bertarung tanpa Gruduk.


Jumat, 12 Mei 2017

SURAT PENCATATAN CIPTAAN (HAKI)

PILKADA (Petaka atau Berkah)

PILKADA
(Petaka atau Berkah)
Sudjarwo
Guru Besar Unila

Beberapa saat lalu negara kita dihirukpikukkan oleh hajat nasional yaitu diselenggarakannya Pemilihan Kepala Daerah secara serentak. Tidak kurang dari 102 daerah pemilihan menggelar hajat nasional ini. Dari Aceh sampai Papua pesta demokrasi ini berlangsung, tentu saja dengan banyak bumbu-bumbu; dari yang paling manis sampai yang paling pahit.

Namun demikian Pesta Demokrasi kali ini ada yang sangat menarik yaitu dari seratus lebih daerah yang menyelenggarakan Pesta Demokrasi, namun beritanya hanya didominasi oleh Pilkada Jakarta. Berita Jakarta ini mendominasi semua saluran televisi, bahkan radio yang ada. Menjadi lebih seru lagi ditambah dengan dominasi dari media sosial yang ada. Untuk yang terakhir ini beritanya menjadi “super seru” karena kita sulit membedakan berita itu “palsu” atau ssungguhan. Membacanyapun dari yang menaikkan bulu kudu, sampai berita yang membuat bibir tersungging senyum.

Hal tersebut wajar terjadi karena Jakarta adalah Ibu Kota Negara yang menjadi semacam tolok ukur bagi semua daerah untuk menakar demokrasi. Akan tetapi menjadi tidak elok tontonan tadi manakala muncul tokoh tokoh nasional yang muncul dengan menampilkan perilaku yang tidak sesuai dengan “baju” nya.  Adalagi perilaku yang seharusnya untuk ukuran usia dan status yang bersangkutan menampilkan laku yang teduh, ngayomi; ternyata  justru menampilkan perilaku garang, memusuhi semua yang berbeda. Namun apesnya pada saat pesta berlangsung, justru piring yang ada didepannya dipakai untuk makan orang lain.

Pada sisi lain juga menjadi sesuatu yang menarik, yaitu masih tingginya kartu suara yang tidak dipakai; atau dengan bahasa lain masih banyak mereka yang berhak tetapi tidak melaksanakan haknya. Jika kejadian itu di daerah, mungkin kendala jarak, transportasi, cuaca; menjadi pembenaran. Akan tetapi untuk Ibu Kota hal ini menjadi aneh, karena semua kendala di atas relatif nihil. Hal ini tentu ada sebab-sebab lain yang mendorong peristiwa itu terjadi.

Tontonan yang tidak bisa jadi tuntunan seperti di atas berbekas pada banyak anak negeri ini, sehingga mereka seolah mendapatkan contoh yang tidak patut dicontoh. Apalagi mereka merasa diberlakukan tidakadil oleh perlakuan media ataupun tokoh. Hal ini terjadi karena mereka merasa dilupakan oleh negeri ini, akibat dari terlalu digiring fokus mereka ke Jakarta, sementara mereka sendiri sedang melakukan perhelatan Pesra Demokrasi.

Pertanyaan tersisa adalah apa yang terjadi dalam masyarakat dengan adanya Pilkada. Jika pertanyaan ini kita jadikan acuan, maka ada pertanyaan lanjut pada kelompok mana ini ditujukan. Jika pertanyaan ini ditujukan pada kelompok awam, jawabannya adalah mereka lebih mengutamakan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Bahkan jika mereka dihadapkan pada pilihan memilih atau penghasilannya berkurang. Maka sudah dapat dipastikan mereka akan memilih pada mempertahankan penghasilan. Kelompok ekonomi subsistensi ini (meminjam istilah Sosiologi Pertanian), merasa lebih rentan ekonominya, oleh karena itu prioritas ekonomi menjadi utama. Tidak salah jika kelompok ini lebih tidak ikut pesta bukan karena tidak partisipatif, akan tetapi lebih pada “ketakutan kuali penanak nasinya” terguling.

Bagaimana dengan kelompok menengah bawah. Kelompok ini paling getol untuk menjadi partisipasi aktif dalam pesta demokrasi, namun bukan berarti partisipasi murni. Partisipasi mereka sangat rapuh dengan godaan material sesaat. Bahkan kelompok ini bisa berbuat kiri kanan Ok, dalam arti lebih mendahulukan kepentingan mereka, walaupun bersifat sesaat.

Kelompok ini tidak begitu tampak dipermukaan, akan tetapi secara riel ada ditengah masyarakat. Bahkan dari mereka sering muncul slogan “wani piro”. Kelompok ini seolah masa apung yang labil untuk mudah berubah. Tidak jarang dari mereka saat Pasangan Calon A mengadakan kampanye, mereka hadir. Saat pasangan lain kampanye dengan waktu yang berbeda, merekapun hadir. Ganti atribut dalam sesaat mereka dapat lakukan dengan mudah.

Kelompok menengah berbeda lagi. Karena secara ekonomi mereka lebih mapan dan memiliki akses media lebih luas ; mereka lebih bersifat “menunggu” dan “ melihat”. Mereka lebih cenderung menjadi masa apung, namun demikian mereka lebih konsisten jika sudah menetapkan pilihan. Kasus ini dibuktikan dengan Ibu Kota yang di gruduk (pinjam istilah pak BY) oleh masyarakat luar, tetapi tidak banyak menggoyahkan pilihan kelompok ini. Bahkan mereka menjadi semakin mengeras karena merasa diintervensi. Kelompok ini tidak bisa ditekan-tekan, akan tetapi lebih pada diberikan pilihan-pilihan, sehingga mereka merasa dihargai. Kelompok inilah sebenarnya merupakan kelompok penentu dalam keberhasilan Pemilihan, karena makin besar jumlah  tingkat partisipasi mereka, maka akan makin besar juga tingkat keterlibatan peserta pilih pada suatu daerah.

Kelompok menengah atas. Kelompok ini jumlahnya sedikit, tetapi memgang posisi kunci dalam strata masyarakat. Masing-masing anggota memiliki sejumlah pengikut, baik atas dasar hubungan darah, maupun pertemanan, serta kolega kepartaian/aliran. Kelompok ini menjadi semacam penggerak mesin sosial, bahkan bisa jadi juga merangkap menjadi donatur kegiatan.  Namun demikian kelompok ini sebenarnya sering dimanfaatkan oleh kelompok menengah bawah untuk dijadikan semcam “pemanfaatan situasi”.  Kelompok menengah atas ini mampu menggerakkan massa besar-besaran, bahkan masip dengan memanfaatkan kelompok menengah bawah, guna dijadikan “tunggangan sosial”. Tampak semacam simbiose mutualistis atau saling memanfaatkan dari keduanya.

Bagaimana dengan kelompok minoritas sosial lain. Dalam tulisan ini diberi istilah “sempalan bawah” dan Sempalan Atas”. Sempalan bawah adalah mereka yang secara sosial ekonomi termarginalkan karena kekurangannya. Kelompok ini sama sekali tidak mengacuhkan peristiwa sosial termasuk Pilkada. Bagi mereka hidup hari ini, dicari hari ini, dan untuk hari ini. Mereka abai dengan kondisi sosial sekitar; yang penting bagi mereka hari ini mencari, untuk dimakan hari ini, hari esok biarkan nanti.

Bagaimana dengan sempalan atas. Kelompok ini berbeda kutub dengan sempalan bawah. Ciri sempalan ini ialah secara ekonnomi mereka di atas rata-rata. Jumlahnya mereka sedikit, tetapi mengendalikan seluruh lapisan yang ada di negeri ini. Bukan hanya ekonomi, bahkan sampai pada sosial politik.  Partisipasi mereka pasip, tetapi modalnya yang aktif; sehingga mereka berkecenderungan sangat individualis. Jika dirasa iklim yang ada akan mengnganggu mereka secara ekonomi, maka mereka dengan mudah hengkang dari negeri ini pergi kenegeri lain. Tempat tinggal fisik bukan menjadi tumpuan, tetapi tempat tinggal modal itu utama. Perilaku mereka sangat sensitif jika menyangkut capital, karena harta kekayaannya tidak habis untuk tujuh turunan, tetapi  jika salahkelola bisa hilang dalam tujuh detik. Oleh karena itu mereka lebih senang bergerak dibelakang layar bak bayang-bayang maut yang hanya bisa dirasa tidak bisa diraba.  Suka tidak suka Pilkada membuat mereka sedikit terganggu; karena mereka selalu mepelototi situasi kondisi yang sewaktu-waktu berubah, dan jika itu terjadi mereka dengan segera memindahkan kapitalnya keluar dari negeri ini.

Pemilahan-pemilahan di atas hanya pemilahan imaginer;  untuk mempermudah analisis sosial. Sedangkan pada dunia nyata batas-batas imaginer itu tidaklah kentara benar, namun bisa diamati perilaku masyarakat untuk dilakukan pengkatagorian.  Perdebatan masalah ini bersifat abadi karena bisa saja seseorang dalam kategori material masuk golongan tertentu, tetapi dalam kategori sosial masuk golongan lainnya.

Menjadi sesuatu yang tersisa adalah apapun alasannya Pilkada akan menjadikan masyarakat terbelah secara imaginer. Menjadi tugas para pemimpin bangsa ini untuk membendung belahan itu untuk tidak menjadi belahan sosial, karena jika itu yang terjadi ; maka benturan sosial tidak dapat dielakkan. Belahan imaginer akan cepat menjadi belahan sosial riel jika ada pihak tertentu yang mengambil kesempatan dengan memancing di air keruh melalui hembusan SARA, atau menciptakan musuh imaginer ; sehingga terjadi destruktif sosial yang bisa menghancurkan Bangsa dan Negara ini.

Namun sebaliknya jika pelaku sosial bersikap dewasa dengan menyikapi perbedaan sebagai suatu sunatullah; maka yang terjadi adalah bangun demokrasi yang  harmonis. Inilah yang menjadi impian bersama kita dalam membangun bangsa. Semoga Pilkada bukan membawa petaka tetapi membawa berkah.

  



KEMBALI KE “ NOL “ KILOMETER

KEMBALI KE “ NOL “ KILOMETER

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila

Pada saat mengahadiri kegiatan pertemuan Pimpinan Pascasarjana  yang dilaksanakan  di Aceh,  even tersebut ditutup dengan mengunjungi daerah-daerah yang terkena Tsunami, bahkan terekam dalam musieum yang tidak pernah habis orang berkunjung ke sana; kemudian ditutup dengan mengunjungi Kota Sabang di Pulau We. Pulau paling Barat ini pada zaman Presiden Habibi, dibangun penanda yaitu “Titik Nol Kilometer Indonesia”. (Walaupun tidak tepat benar karena masih ada Pulau Terluar paling luar yaitu Pulau Rondo). 

Sepintas bangunan itu biasa-biasa saja bahkan masih tampak dalam finalisasi renovasi, kesannya sama pada waktu berkunjung ke Kota Khatulistiwa “Pontianak”, dan “Marauke” titik paling timur Indonesia.  Namun ada yang menarik yaitu masih perlunya peningkatan infrastruktur, sehingga tidak tertinggal dari daerah lain, Jarak yang ditempuh dengan tigapuluh menit berlayar menggunakan Kapal Cepat, dengan catatan cuacanya bersahabat, ternyata semua fasilitas pelabuhan begitu sederhana. Ruangan yang begitu panas, hiruk pikuk pedagang asongan serta teriakan jasa angkutan, tidak adanya fasilitas jamban;  menjadi satu lebur saat Kapal merapat bersandar di Pelabuhan.

Menjadi semakin lengkap dan lebar perbedaan itu jika dibandingkan dengan perilaku elite yang juga begitu dipahami oleh saudara-saudara kita yang ada di sana. Peristiwa-peristiwa nasional yang terjadi nun jauh di Ibu Kota; mereka ikuti dengan perasaan yang tidak begitu membahagiakan. Bahkan salah seorang supir “Otto” ; yang kehidupan mereka sangat tergantung “Tamu” dari luar, mengatakan bahwa jika uang yang dikorupsi untuk proyek Kartu Tanda Penduduk; digunakan membangun Kota Sabang, maka kota ini akan menjadi lima kali lebih megah yang ada sekarang. Luka sosial yang tampak terbaca di raut wajah pengemudi ini makin kentara manakala diskusi dilanjutkan dengan bagaimana masih perlunya perbaikan sarana prasarana di Pulau Ujung Barat ini.

Guncangan sosial mulai terasa dengan tereksposenya beberapa pelaku korupsi E-KTP mengembalikan uang hasil rampokkan ke pada negara. Hal ini menunjukkan semakin terang benerang, mana mungkin ada asap, jika tidak ada api. Menjadi persoalan adalah masih banyaknya  yang mengingkari.

Banyak diantara kita tidak merasa bahwa masyarakat awam mulai menunjukkan respon negatif, yaitu menunjukkan ketidakpercaaan masyarakat kepada eksekutif dan legeslatif. Kondisi ini akan menuju kepada titik nol kepercaayaan, dan jika ini terjadi; maka masyarakat kita akan berlaku apatis terhadap apa yang diperbuat oleh Eksekutif maupun Yudikatif.

Respon-respon seperti ini sudah mulai terasa saat ini; banyak anggota masyarakat sudah sangat acuh dengan Baliho berisi gambar calon baik Bupati maupun Gubernur. Mereka tampak tidak acuh kepada apa yang dipampangkan dimukanya, dan menjadi aneh lagi pada waktu ditanya kepada mereka yang memasang, jawabannya: hampir semua mereka tidak kenal dengan orang yang punya gambar atau sang calon, dan mereka melakukan hanya karena pertimbangan ekonomi “berapa” diberi saja.
Model transaksional seperti ini tentu sangat membahayakan tumbuhkembangnya demokrasi di negara ini. Seolah-olah kita secara sengaja dan masif menciptakan kondisi untuk terjun ketitik nol, akibatnya membuat partisipasi pada kegiatan politik menjadi rendah. Ada hukum paradok di sana, satu sisi mengenalkan diri melalui sosialisasi itu diperlukan, namun pada ukuran tertentu ternyata sosialisasi menjadikan kejenuhan sosial.

Satu sisi korupsi, sisi lain kejenuhan sosial, ternyata mulai menunjukkan korelasi yang makin erat, dan ini merupakan hasil sosial yang banyak diantara kita tidak mengira. Terbentuknya kejenuhan sosial seperti ini membuat pekerjaan kita menjadi lebih berat; karena membangkitkan kembali partisipasi itu jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan membangun partisipasi dari awal.  

Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya “Janji Kampanye” yang begitu duduk memangku jabatan hasil pilihan; yang bersangkutan merasa tidak punya beban untuk mewujudkan janjinya, bahkan ada bahasa Palembang yang menjadi jargon “Janji Kagek Bae” maksudnya ialah Janji nanti saja. Akibatnya dikalangan masyarakat menengah timbul istilah “Pejabat Hoak” yaitu pejabat pembohong. Kondisi ini juga memberi kontribusi pada terbentuknya sikap apatis, dan pragmatis. Tentu saja akan berakibat pada perilaku politik lanjutan, ada sebagian mereka menunggu serangan fajar, dan berapa besaran yang ditebar dalam serangan fajar, itu ikut menentukan.

Kondisi ini tidak kentara dipermukaan dalam wujud perilaku, tetapi hanya bisa di rasakan kehadirannya dalam sikap mereka. Hal ini sudah terbukti dari hasil pemilihan kepala daerah yang lalu, ada daerah-daerah yang oleh Petahana di anggap aman, ternyata justru Bom Waktu meledak di sana. Sebaliknya daerah yang diperkirakan rawan, ternyata dengan “gempuran ala ninja” daerah itu menjadi terselamatkan.   Model seperti ini sebenarnya sudah terjadi dimana-mana, karena kejenuhan massa sulit terdeteksi; apalagi ditengah pusaran politik pasti ada pecundang politik. Kelompok inilah yang selalu ingin ambil untung sehingga paling senang jika ada konflik sosial dalam peristiwa apapun.

Atas dasar peritiwa itu tidak ada jaminan Petahana dapat bertahan atau keluar sebagai pemenang; peluang untuk kembali ketitik nol, tetap akan mungkin terjadi.  Karena banyak sekali faktor yang dapat menjadikan itu semua terjadi.  

Berdasarkan semua di atas, ternyata masyarakat awan selalu menjadi korban untuk selalu terbawa pada titik nol. Korban massal seperti ini sangat jarang dipahami oleh banyak pihak, bahkan berlindung atas dasar Pembelajaran dalam Demokrasi ; maka peristiwa itu sah adanya. Luka sosial serupa ini sering kita buat tanpa harus mencoba untuk mencari obatnya; bahkan setiap selesai peristiwa sosial apapun jenisnya dan peristiwanya, banyak diantara kita abai akan hal ini. Padahal luka sosial tidak jarang berkembang menjadi dendam sosial.

Peristiwa sosial seperti Pemilu, baik Kepala Daerah maupun Presiden, Peristiwa Korupsi; semua itu akan menjadikan kenangan kolektif pada “jejak rekam” ingatan masyarakat.  Hal tersebut menjadi semacam referensi bagi masyarakat untuk menilai sesuatu.  Karena itu biaya sosial yang dikeluarkan oleh masyarakat menjadi begitu mahal, dan jika itu terus dibiarkan; maka akan menjadikan masyarakat mengalami sakit.

Berkaca dari peristiwa tersebut di atas, maka untuk Pemilu Kada di Lampung hendaknya para peserta dapat menjadikan referensi; setidaknya bahan renungan sebelum melangkah. Bahkan kebiasaan bagi-bagi sembako yang selama ini sering dilakukan; untuk saat ini bukan langkah populer lagi, karena yang akan terjadi sembako diambil pilihan tetap beda. Atau masyarakat makin cerdas untuk menjadikan sembako sebagai amunisi politik guna menjatuhkan Paslon.

Untuk para Petahana juga jangan merasa diri sudah aman karena sudah memberikan yang terbaik buat rakyat. Karena antara Petahana dan Rakyat, ada instrumen birokrasi yang terkadang melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat Petahana, justru yang terjadi sering apa yang dilakukan oleh instrumen birokrasi berbanding terbalik dengan yang dikehendaki Petahana.

Mobilisasi massa juga perlu dipikirkan ulang, karena banyak para pecundang politik yang berprilaku bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh Petahana, atau juga calon penantang. Karena tidak jarang pengerahan massa ini dijadikan lahan baru bagi pencari pekerjaan baru. Orang yang sama dengan jadwal yang berbeda pada calon yang berbeda, bisa dijadikan ajang pencari uang bagi para broker dalam pengerahan massa.

Perilaku-perilaku menyimpang serupa ini merupakan devian dari demokrasi, yang pada akhirnya jika ini dibiarkan, akan menyeret masyarakat pada perilaku politik transaksional, dan berakhir pada titik nadir.

Isue-isue lain yang sekarang marak adalah iseu primordialisme, yang juga tidak kalah bahayanya dengan hal-hal di atas. Semua ini mendorong bangsa ini menuju pada titik nol; jika para elite pemimpin tidak mampu mengelola negara ini secara baik. Negara-negara di luar sana banyak yang dapat kita jadikan contoh. Syiria yang berkeping-keping, Iran yang tidak pernah damai, Irak yang porak poranda, Pakistan yang selalu bertikai, dan masih banyak lagi. Dan jangan sampai berikutnya adalah kita. Dengan sekuat tenaga kita harus menghindarkan negara pada benturan sosial yang berakibat pada pecahnya negara ini.

Sedangkan di dalam negeri dalam ingatan sejarah masih tersisa. Negara-negara di Nusantara ini hancur berkeping tidak banyak dikontribusi oleh faktor luar, tetapi justru dari dalam. Pertanyaannya ialah apakah kita mau mengulangi kebodohan sejarah; apakah kita hanya ingin seperti Kerajaan Singasari yang seumur jagung, atau kita mau mengukir sejarah menjadi Majapahit Ke II. Semua berpulang kepada kita semua.












KAMPUNG INGGRIS dari TIMUR

KAMPUNG INGGRIS dari TIMUR

Oleh : Sudjarwo

Guru Besar FKIP Universitas Lampung

Perkembangan trasportasi masa kini yang memudahkan mobilitas orang atau barang dari satu tepat ketempat lain, maka untuk mencapai Kampung Inggris nun jauh di Jawa Timur sana, ternyata tidak memerlukan waktu lama. Satu Jam sepuluh menit Tanjung Karang-Surabaya lewat udara, dan tiga jam tiga puluh menit Surabaya menuju Kampung Inggris menggunakan Bus Patas, semua perjalanan dapat diselesaikan dengan nyaman.

Sebelum mencapai daerah tersebut bayangan semula adalah perkampungan dengan berseliweran orang-orang bule dan bicara cas-cis-cus, serta budaya barat yang kental. Ternyata sesampai ditempat daerah ini tidak berbeda dengan perkampungan di Pulau Jawa pada umumnya, yaitu : padat penduduk, diversifikasi pekerjaan, antara pertanian, perdagangan, dan jasa yang saling berkait antarsatu dengan lainnya. Pembedanya adalah rumah-rumah yang ada berubah menjadi semacam barak atau camp yang berisi anak-anak muda dan sedikit orang tua yang hari harinya diisi dengan kegiatan belajar bahasa inggris.

Pesertanya tidak didominasi oleh orang sekitar tetapi justru hampir seluruh orang Indonesia ada di sana, bahkan ada saudara-saudara kita dari Vietnam, Camboja, dan beberapa negara Asia lainnya.

Semua di atas berlangsung dalam proses pendidikan non-formal yang secara terus menerus dengan prinsip Pendidikan Orang Dewasa, dan mendapatkan pengakuan Lembaga Kelas dunia, bahkan sertifikasi kekhususan dengan tuntutan standar tinggi sangat terkenal di daerah ini. Semua berlangsung mengalir dalam keseharian warga di sana, di bumi yang pernah melambungan nama Clifford Geertz pada jagad Antropologi Sosial dengan karya besar bukunya “The Religion of Jawa” yang diterjemahkan menjadi  Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa diekspose pertama pada tahun 1960 an awal, dengan menyamarkan nama daerah ini menjadi Mojokuto.

Ada sesuatu yang menarik dari semua di atas; yaitu apa yang terjadi sekarang ini semula dibangun dari seseorang yang memiliki jiwa kreatif tinggi, yang kemudian memunculkan gerakan ekonomi kreatif pedesaan; sehingga memberikan dampak yang luar biasa pada daerah sekitarnya, bahkan sampai keluar batas daerahnya. Ini ditandai dengan menyebarnya para alumni membuat Rumah Inggris di daerah asalnya, termasuk di Bandar lampung.

Pelajaran yang dapat dipetik dari semua itu adalah bagaimana satu daerah dimunculkan dengan ciri entitas yang berbeda dari daerah lain; dengan tetap mengedepankan local content. Hal serupa ini untuk Lampung belumlah begitu terlambat. Upaya penggalian potensi wisata sudah begitu banyak dilakukan, walaupun belum tampak adanya koordinasi antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota, bahkan sering tampak berjalan sendiri-sendiri. Event-event besar dan daerah potensial wisata belum tergarap dengan baik dan terkoordinasi dengan baik.

Pada suatu saat ada tamu dari Manca Negara yang berkunjung ke Kota ini menanyakan dimana mereka bisa melihat Bangunan atau informasi penting tentang adat budaya yang ada di daerah ini. Ternyata tidak mudah untuk menemukenali persoalan yang ditanyakan tamu tadi. Musium yang ada tidak begitu memuaskan karena mereka minta yang lebih spesifik. Mereka pernah membaca betapa agungnya budaya daerah ini pada masa lalu, dan mereka ingin melihat jejak-jejak itu dikota ini. Sayang yang mereka lihat semua sudah berbau metropolis, sementara yang berciri kearifan lokal, menurut mereka sudah sulit menemukannya.

Konsep pembangunan dunia ketiga yang pada tahun 80-an pernah ditulis oleh beberapa ahli, ternyata perlu dibaca kembali oleh para pengambil kebijakkan masa kini. Membangun kota atau daerah menjadi metropolis tidaklah salah, persoalannya adalah kemetropolisan itu tidak harus menggerus atau mengkooptasi yang tradisional. “kerakusan” modrenisasi tidak harus diperturutkan dengan mengorbankan apa saja demi suatu pencitraan. Justru di sana letak kearifan seorang pemimpin dituntut.

Identitas budaya suatu daerah bukanlah berarti ketradisionalan yang terbelakang, justru itu merupakan penanda bagaimana kepedulian untuk mengangkat kepada keluhuran entitas. Berfikir bahwa tradisional adalah keterbelakangan, ini merupakan warisan pemikiran dari penjajah yang harus dimerdekakan. Apalagi jika berfikir bahwa modren itu harus meninggalkan tradisi; paradigma seperti ini harus dikoreksi, jika kita tidak ingin tercerabut dari identitas diri dalam konteks budaya. Bahwa terjadi envolusi dan evolusi dalam budaya, itu adalah sunatullah yang tidak dapat dihindari.

Pola-pola Akulturasi, assimilasi, dan infiltrasi; itu merupakan aksioma budaya yang tidak terbantahkan. Namun bagaimana semua itu terdokumentasi secara baik, sehingga menjadi cognitif mind pada pelaku budaya. Jejak-jejak warisan budaya itu akan terekam secara kolektif pada pelaku budaya. Dia tidak pudar hanya karena gerusan budaya materialistik; karena tertanam sebagai tatanilai. Sehingga terwariskan secara baik untuk generasi penerus, dan sekaligus ini upaya agar mereka tidak kehilangan identitas.

Adalah sesuatu yang belum terlambat jika Kota Bandar lampung menjadi pelopor untuk melestarikan budaya Lampung dalam konteks Pepadun dan Peminggir dengan mewujudkan dalam bentuk simbolisasi bangunan, dengan semua perangkaat sosialnya. Sekaligus bangunan ini menjadi semacam promosi budaya. Even dilakukan secara bergantian dengan ditunjang pendanaan promosi yang cukup oleh pemerintah Kota.

Pada periodesasi tertentu digelar acara adat pada kedua rumah budaya itu yang sekaligus merupakan wahana sosialisasi kepada generasi penerus; dan juga sekaligus menjual dalam tanda petik kepada wisataan; baik dalam maupun luar negeri. Karena lokal content serupa ini sangat menunjang untuk memperkenalkan Bandarlampung ke kelas dunia.

Model ekonomi kreatif serupa ini perlu dikembangkan karena sekaligus juga merupakan media untuk  menularkan kepada kegiatan lain, paling tidak kegiatan yang menunjang kegiatan utama. Sebelumnya tentu harus dilakukan kajian akademik terlebih dahulu sehigga diperoleh landasan berpijak yang kokoh untuk membuat perencaanaan yang matang. Hal ini dilakukan untuk tidak terjebak kepada perencanaan yang berbasis pada keinginan, tetapi pada kebutuhan; sehingga rangkaian kegiatannya menjadi terukur.

Semangat membangun dengan berbasis pada budaya lokal adalah terobosan yang harus dilakukan agar kita tidak kehilangan roh. Upaya pimpinan daerah yang melestarikan simbol daerah kepada semua bangunan fisik, sudah seharusnya ditindaklanjuti dengan pembangunan non-fisik. Karena jika itu saja yang dilakukan, maka simbol itu akan berhenti pada tataran ornamen. Secara terus menerus perlahan tapi pasti, simbol-simbol fisik tadi akan kosong kehilangan roh. Mereka akan membuat hanya takut dengan peraturan daerah, bukan karena penghayatan terhadap nilai yang terkandung pada simbol.

Pembangunan bukan hanya sebatas menjulangkan beton ke langit, atau membentangkan Jembatan, menyusun batu pondasi, menempel bata;  akan tetapi harus lebih dari itu; dengan cara memberikan sentuhan budaya lokal, sehingga para pengguna fasilitas tidak merasa tercerabut dari akarnya, tetapi justru merasa nyaman karena fasilitas tadi mewakili nilai budayanya. 

Untuk mencapai hal tersebut sudah seharusnya mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan dan evalusi, para pemangku kepentingan, terutama dari mereka yang peduli akan pelestarian budaya, untuk dilibatkan. Sehingga terbangun diskusi-diskusi yang intens guna memunculkan aspek budaya sebagai roh pembangunan akan muncul dan terjaga.

Gugatan-gugatan kritis terhadap warna pembangunan seperti : Kapitalisme, Neo Lib, dan lain sebagainya yang akhir-akhir ini muncul. Itu terjadi bukan hanya kesalahan perancangan, akan tetapi juga ketidakpedulian kita selama ini kepada perencanaan pembangunan yang tidak diisi dengan local wisdom. Kita hanya meributkan hasil akhir; itupun setelah adanya Korban Pembangunan. Selagi itu dirasa menguntungkan, dan tidak menimbulkan korban, semua kita mendiamkan. Padahal gerusan ideologi itu berjalan terus mengikis habis kearifan lokal yang kita miliki.

Semua belum terlambat jika kita ingin memulai, karena yang paling berat itu adalah ayunan langkah pertama; oleh sebab itu mari kita menyatukan langkah, menyelamatkan negeri ini dengan tetap melestarikan nilai-nilai budaya lokal. Harapannya adalah pada masa yang akan datang kita tidak akan meninggalkan dosa sejarah, karena tidak mau melestarikan sejarah.