Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Kamis, 18 Mei 2017

DEMOKRASI “GRUDUK’


DEMOKRASI  “GRUDUK’

Oleh : Sudjarwo
Guru Besar FKIP Universitas Lampung

Pada saat menghadiri acara rapat penting di ruang khusus: penulis duduk berdampingan dengan dua orang doktor dari ilmu yang berbeda. Doktor pertama bidang keahliannya Fisika, doktor kedua adalah dari Bahasa Indonesia ; sebelum rapat mulai; kami bertiga terlibat pembicaraan menyangkut kondisi bangsa saat ini.  Salah satu yang dibicarakan adalah istilah “Gruduk” dalam bahasa Jawa yang sulit sekali dicari padanannya dalam bahasa Indonesia terutama dalam konteks rasa. Padahal fenomena Gruduk ini sekarang sedang menonjol. Kami sempat bernostalgia masa kecil yang juga sering grudukan dengan teman-teman; apalagi jika musim buah, sekalipun buah-buhan ada di halaman sendiri, tetapi jika malam hari sering menggeruduk tanaman tetangga desa.
Ternyata Gruduk sekarang menjadi tren; dan apapun peristiwanya upaya pengerahan masa untuk menggeruduk terhadap sesuatu; menjadi begitu menonjol. Harapan yang ingin dicapai ingin menunjukkan banyaknya dukungan terhadap sesuatu yang diyakini menjadi keyakinan kolektif; walaupun kebenarannya masih perlu diuji.
Peristiwa ini terjadi karena ada instrumen sosial yang tidak berfungsi di dalam masyarakat; atau paling tidak  fungsinya tidak maksimal dan tidak sesuai harapan kolektif.  Akibatnya enargi sosial tersumbat; yang kemudian membesar karena berhimpun menjadi massa, yang akibat lanjut mengalir menjadi “gruduk”. Menjadi pertanyaan instrumen sosial mana yang tidak berfungsi : Tulisan ini menengarai diantaranya adalah sebagai berikut:
1.Keyakinan terhadap hukum
Maksudnya adalah dalam masyarakat hidup keyakinan kolektif bahwa hukum itu ada dan digunakan untuk mengawal perilaku sosial mereka agar terjadi keharmonisan tatanan sosial, dan jika terjadi penyimpangan terhadap tata aturan sosial; maka hukum diharapkan menjadi pemutusnya. Jika kepercayaan akan penegakkan hukum dirasakan tidak memenuhi harapan masyarakat; maka akumulasi ketidakpercayaan inilah yang mendorong rasa senasib bersama, yang pada akhirnya membentuk kekecewaan kolektif atau frustrasi masaal; yang ini salah satu diantaranya adalah memicu adanya Gruduk.
2.Kehilangan Patron Sosial
Sudah menjadi semacam aksioma sosial bahwa setiap individu memiliki idola atau keyakinan panutan terhadap tokoh tertentu, baik secara regional, maupun nasional. Kita masih ingat pada Jaman belum semaju sekarang, saat  Soekarno  berpidato; semua rakyat mendengarkan radio walaupun dengan susah payah, dan banyak diantara mereka mengidolakan Soekarno. Dengan kemajuan teknologi sekarang Idola sosial terdiversifikasi kepada banyak tokoh. Celakanya sekarang tokoh-tokoh yang semula diidolakan ditengah jalan menurut mereka berkhianat; akhirnya massa yang terlanjur kecewa kepada tokoh idolanya menjadi terakumulasi, dan inipun menjadi mesiu untuk terjadinya Gruduk.
3.Adanya aktor intelektual
Perkembangan lanjut sekarang adalah adanya aktor intelektual yang menggagas, merancang, dan sampai mendanai untuk terjadinya Gruduk. Aktor ini bisa saja satu orang, atau beberapa orang, tergantung dari bagaimana dan apa tujuan dari akan dilakukan Gruduk ini.  Aktor intelektual ini sangat menguasai teknik pembentukan, pergerakan, sampai pendanaan untuk menggerakkan massa. Termasuk merancang issuw, memunculkan issue, membelokkan issue; sampai dengan membuat kontra issue. Oleh sebab itu sangat sulit sekali menafikan bahwa adanya pengerahan massa tidak ada aktor intelektual yang menjadi perancangnya.
Bisa dibayangkan jika ketiga hal tadi terjadi secara bersamaan, tentunya ini menimbulkan ledakan sosial yang dahsyat dan membahayakan keutuhan negara. Maka tidak salah dibeberapa negara menciptakan instrumen yang bernama intelejen negara; yang bertugas mengendus hal-hal tadi untuk segera mencari penangannya dengan cepat. 
Persoalan di atas akan menjadi lebih runyam lagi jika datangnya pelaku Pemancing Di Air Keruh; karena pelaku ini akan menggunakan cara adu domba yang disebarkan baik melalui issue maupun media sosial; guna mencapai tujuannya. Kelompok ini selalu ada sejak dahulu kala; bahkan mereka ini cenderung menggunakan cara apa saja untuk mewujudkan keinginannya.
Persoalan yang tersisa adalah bagaimana menyikapi hal ini. Pertanyaan ini sulit sekali dicari jawabannya, karena persoalan sosial sebagai pemantik terjadinya Gruduk untuk masing-masing daerah sangat beragam. Variabel penyerta dan pemicu terkadang berkelindan satu dengan yang lain. Sehingga deteksi dini adalah salah satu cara yang masih mungkin dilakukan.
Usaha yang perlu dilakukan adalah bagaimana Gruduk itu supaya tidak terjadi; Secara teoritis hal yang dapat dilakukan adalah:
Pertama, mereka yang diberi amanah oleh rakyat untuk menjadi pemimpin atau kelompok yang mewakili rakyat harus mampu menunjukkan unjuk kerja yang memihak kepada rakyat. Kebijakkan yang diambil harus betul-betul menunjukkan keberpihakan kepada rakyat. Jika rakyat merasa kebijakkan yang diambil melukai perasaan rakyat atau justru menjauh dari rakyat; tinggal menunggu saja waktunya pemimpin ini atau para wakil ini ditinggalkan rakyat, dan akumulasninya adalah jika ada pemantik maka kejadian ini bisa menjadi Gruduk.
Kedua, jangan membuat kebijakkan yang merasa rakyat ditinggal sendiri. Karena jika ini terjadi rasa senasib sepenanggungan akan mengikat mereka pada satu ikatan emosional. Ikatan emosional ini sangat mudah untuk tersulut menjadi Gruduk begitu ada diantara mereka muncul menjadi pahlawan; maka Gruduk akan datang bak air bah yang dapat meluap kemana-mana.
Ketiga, distribusikan kekuasaan sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing, sehingga akan terjadi juga pembagian resiko sosial dengan baik. Jika kekuasaan terpusat pada satu figur saja; maka yang terjadi adalah kultus individu. Akibat lain akan memunculkan broker, pembisik, dan penjilat. Jika ini yang terjadi maka pemimpin secara lambat tapi pasti akan tereliminasi dari rakyatnya. Hal ini juga dapat membuat proses Gruduk cepat terjadi.
Keempat, kemampuan untuk menyerap aspirasi masyarakat langsung sangat diperlukan. Dengan katalain pendengaran para pemimpin harus lebih tajam dari yang dipimpin. Untuk itu aksi langsung turun ke bawah adalah usaha yang harus terus dilakukan, sehingga rakyat merasa tidak ditinggalkan.
Lampung sebentar lagi akan masuk pusaran politik atas nama demokrasi melakukan pemilihan Kepala Daerah, walaupun masih cukup waktu nama para tokoh yang akan mencalonkan diri sudah membuka ancang-ancang, bahkan jurus-jurus pemanasan sudah dilakukan. Lapangan sudah di goyang, bendera sudah dikibar, baliho sudah disebar dilintasan jalan strategis. Namun jarang diantara para calon mengevaluasi secara personal bagaimana reaksi rakyat di luar para brokernya. Banyak diantara mereka yang tidak peduli dengan itu semua, kehadiran mereka hanya karena diidorong syahwat ingin tau, ingin hadiah, ingin jumpa teman, ingin keramaian. Jarang diantara mereka yang mau menemukenali para calon.
Para calon hanya diGruduk karena akumulasi kepentingan sesaat; dan jika mereka tidak menemukan apa yang diinginkan; tidak segan-segan mereka meninggalkan begitu saja. Contoh seperti ini sudah banyak; oleh sebab itu tidak salah jika melalui tulisan ini, dan itupun jika berkenan untuk para calon agar berhati-hati dan sangat berhitung menghadapi pesta demokrasi 18, karena peristiwa sosial itu sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya.
Mewaspadai Gruduk adalah juga mewaspadai gejolak sosial, apalagi menggerakkan Gruduk sekarang cukup menggunakan Media Sosial yang tidak terlihat, oleh sebab itu antisipasinyapun sulit sekali dilakukan. Oleh sebab itu bagi para petarung yang ingin memasuki gelanggang sudah seharusnya mempelajari aturan-aturan formal dari pertarungan, tetapi juga mempelajari karakteristik dari para konstituen; sehingga tidak masuk dalam jebakan sosial yang setiap saat lapar akan memangsa siapapun. Selamat bertarung tanpa Gruduk.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar