Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Jumat, 12 Mei 2017

KAMPUNG INGGRIS dari TIMUR

KAMPUNG INGGRIS dari TIMUR

Oleh : Sudjarwo

Guru Besar FKIP Universitas Lampung

Perkembangan trasportasi masa kini yang memudahkan mobilitas orang atau barang dari satu tepat ketempat lain, maka untuk mencapai Kampung Inggris nun jauh di Jawa Timur sana, ternyata tidak memerlukan waktu lama. Satu Jam sepuluh menit Tanjung Karang-Surabaya lewat udara, dan tiga jam tiga puluh menit Surabaya menuju Kampung Inggris menggunakan Bus Patas, semua perjalanan dapat diselesaikan dengan nyaman.

Sebelum mencapai daerah tersebut bayangan semula adalah perkampungan dengan berseliweran orang-orang bule dan bicara cas-cis-cus, serta budaya barat yang kental. Ternyata sesampai ditempat daerah ini tidak berbeda dengan perkampungan di Pulau Jawa pada umumnya, yaitu : padat penduduk, diversifikasi pekerjaan, antara pertanian, perdagangan, dan jasa yang saling berkait antarsatu dengan lainnya. Pembedanya adalah rumah-rumah yang ada berubah menjadi semacam barak atau camp yang berisi anak-anak muda dan sedikit orang tua yang hari harinya diisi dengan kegiatan belajar bahasa inggris.

Pesertanya tidak didominasi oleh orang sekitar tetapi justru hampir seluruh orang Indonesia ada di sana, bahkan ada saudara-saudara kita dari Vietnam, Camboja, dan beberapa negara Asia lainnya.

Semua di atas berlangsung dalam proses pendidikan non-formal yang secara terus menerus dengan prinsip Pendidikan Orang Dewasa, dan mendapatkan pengakuan Lembaga Kelas dunia, bahkan sertifikasi kekhususan dengan tuntutan standar tinggi sangat terkenal di daerah ini. Semua berlangsung mengalir dalam keseharian warga di sana, di bumi yang pernah melambungan nama Clifford Geertz pada jagad Antropologi Sosial dengan karya besar bukunya “The Religion of Jawa” yang diterjemahkan menjadi  Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa diekspose pertama pada tahun 1960 an awal, dengan menyamarkan nama daerah ini menjadi Mojokuto.

Ada sesuatu yang menarik dari semua di atas; yaitu apa yang terjadi sekarang ini semula dibangun dari seseorang yang memiliki jiwa kreatif tinggi, yang kemudian memunculkan gerakan ekonomi kreatif pedesaan; sehingga memberikan dampak yang luar biasa pada daerah sekitarnya, bahkan sampai keluar batas daerahnya. Ini ditandai dengan menyebarnya para alumni membuat Rumah Inggris di daerah asalnya, termasuk di Bandar lampung.

Pelajaran yang dapat dipetik dari semua itu adalah bagaimana satu daerah dimunculkan dengan ciri entitas yang berbeda dari daerah lain; dengan tetap mengedepankan local content. Hal serupa ini untuk Lampung belumlah begitu terlambat. Upaya penggalian potensi wisata sudah begitu banyak dilakukan, walaupun belum tampak adanya koordinasi antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota, bahkan sering tampak berjalan sendiri-sendiri. Event-event besar dan daerah potensial wisata belum tergarap dengan baik dan terkoordinasi dengan baik.

Pada suatu saat ada tamu dari Manca Negara yang berkunjung ke Kota ini menanyakan dimana mereka bisa melihat Bangunan atau informasi penting tentang adat budaya yang ada di daerah ini. Ternyata tidak mudah untuk menemukenali persoalan yang ditanyakan tamu tadi. Musium yang ada tidak begitu memuaskan karena mereka minta yang lebih spesifik. Mereka pernah membaca betapa agungnya budaya daerah ini pada masa lalu, dan mereka ingin melihat jejak-jejak itu dikota ini. Sayang yang mereka lihat semua sudah berbau metropolis, sementara yang berciri kearifan lokal, menurut mereka sudah sulit menemukannya.

Konsep pembangunan dunia ketiga yang pada tahun 80-an pernah ditulis oleh beberapa ahli, ternyata perlu dibaca kembali oleh para pengambil kebijakkan masa kini. Membangun kota atau daerah menjadi metropolis tidaklah salah, persoalannya adalah kemetropolisan itu tidak harus menggerus atau mengkooptasi yang tradisional. “kerakusan” modrenisasi tidak harus diperturutkan dengan mengorbankan apa saja demi suatu pencitraan. Justru di sana letak kearifan seorang pemimpin dituntut.

Identitas budaya suatu daerah bukanlah berarti ketradisionalan yang terbelakang, justru itu merupakan penanda bagaimana kepedulian untuk mengangkat kepada keluhuran entitas. Berfikir bahwa tradisional adalah keterbelakangan, ini merupakan warisan pemikiran dari penjajah yang harus dimerdekakan. Apalagi jika berfikir bahwa modren itu harus meninggalkan tradisi; paradigma seperti ini harus dikoreksi, jika kita tidak ingin tercerabut dari identitas diri dalam konteks budaya. Bahwa terjadi envolusi dan evolusi dalam budaya, itu adalah sunatullah yang tidak dapat dihindari.

Pola-pola Akulturasi, assimilasi, dan infiltrasi; itu merupakan aksioma budaya yang tidak terbantahkan. Namun bagaimana semua itu terdokumentasi secara baik, sehingga menjadi cognitif mind pada pelaku budaya. Jejak-jejak warisan budaya itu akan terekam secara kolektif pada pelaku budaya. Dia tidak pudar hanya karena gerusan budaya materialistik; karena tertanam sebagai tatanilai. Sehingga terwariskan secara baik untuk generasi penerus, dan sekaligus ini upaya agar mereka tidak kehilangan identitas.

Adalah sesuatu yang belum terlambat jika Kota Bandar lampung menjadi pelopor untuk melestarikan budaya Lampung dalam konteks Pepadun dan Peminggir dengan mewujudkan dalam bentuk simbolisasi bangunan, dengan semua perangkaat sosialnya. Sekaligus bangunan ini menjadi semacam promosi budaya. Even dilakukan secara bergantian dengan ditunjang pendanaan promosi yang cukup oleh pemerintah Kota.

Pada periodesasi tertentu digelar acara adat pada kedua rumah budaya itu yang sekaligus merupakan wahana sosialisasi kepada generasi penerus; dan juga sekaligus menjual dalam tanda petik kepada wisataan; baik dalam maupun luar negeri. Karena lokal content serupa ini sangat menunjang untuk memperkenalkan Bandarlampung ke kelas dunia.

Model ekonomi kreatif serupa ini perlu dikembangkan karena sekaligus juga merupakan media untuk  menularkan kepada kegiatan lain, paling tidak kegiatan yang menunjang kegiatan utama. Sebelumnya tentu harus dilakukan kajian akademik terlebih dahulu sehigga diperoleh landasan berpijak yang kokoh untuk membuat perencaanaan yang matang. Hal ini dilakukan untuk tidak terjebak kepada perencanaan yang berbasis pada keinginan, tetapi pada kebutuhan; sehingga rangkaian kegiatannya menjadi terukur.

Semangat membangun dengan berbasis pada budaya lokal adalah terobosan yang harus dilakukan agar kita tidak kehilangan roh. Upaya pimpinan daerah yang melestarikan simbol daerah kepada semua bangunan fisik, sudah seharusnya ditindaklanjuti dengan pembangunan non-fisik. Karena jika itu saja yang dilakukan, maka simbol itu akan berhenti pada tataran ornamen. Secara terus menerus perlahan tapi pasti, simbol-simbol fisik tadi akan kosong kehilangan roh. Mereka akan membuat hanya takut dengan peraturan daerah, bukan karena penghayatan terhadap nilai yang terkandung pada simbol.

Pembangunan bukan hanya sebatas menjulangkan beton ke langit, atau membentangkan Jembatan, menyusun batu pondasi, menempel bata;  akan tetapi harus lebih dari itu; dengan cara memberikan sentuhan budaya lokal, sehingga para pengguna fasilitas tidak merasa tercerabut dari akarnya, tetapi justru merasa nyaman karena fasilitas tadi mewakili nilai budayanya. 

Untuk mencapai hal tersebut sudah seharusnya mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan dan evalusi, para pemangku kepentingan, terutama dari mereka yang peduli akan pelestarian budaya, untuk dilibatkan. Sehingga terbangun diskusi-diskusi yang intens guna memunculkan aspek budaya sebagai roh pembangunan akan muncul dan terjaga.

Gugatan-gugatan kritis terhadap warna pembangunan seperti : Kapitalisme, Neo Lib, dan lain sebagainya yang akhir-akhir ini muncul. Itu terjadi bukan hanya kesalahan perancangan, akan tetapi juga ketidakpedulian kita selama ini kepada perencanaan pembangunan yang tidak diisi dengan local wisdom. Kita hanya meributkan hasil akhir; itupun setelah adanya Korban Pembangunan. Selagi itu dirasa menguntungkan, dan tidak menimbulkan korban, semua kita mendiamkan. Padahal gerusan ideologi itu berjalan terus mengikis habis kearifan lokal yang kita miliki.

Semua belum terlambat jika kita ingin memulai, karena yang paling berat itu adalah ayunan langkah pertama; oleh sebab itu mari kita menyatukan langkah, menyelamatkan negeri ini dengan tetap melestarikan nilai-nilai budaya lokal. Harapannya adalah pada masa yang akan datang kita tidak akan meninggalkan dosa sejarah, karena tidak mau melestarikan sejarah.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar