Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Kamis, 15 Juni 2017

LAPAR MATA

LAPAR  MATA

Oleh : Sudjarwo

Guru Besar FKIP Universitas Lampung

Pada bulan Romadhon seperti sekarang ini Pusat Perbelanjaan, pasar tradisional, dan Pasar “Terkejut”, pada waktu-waktu tertentu sangat padat pengunjung; dan semua ingin melahap isi pasar tersebut. Walaupun dominasi kaum Ibu paling banyak; bukan berarti kaum Bapak tidak.  Justru kaum Bapak sering ikut berdesak merengsek ketengah “medan perburuan”; guna mencari yang diinginkan; bukan yang dibutuhkan.
Suasana seperti ini seolah-olah menjadi ciri khas Romadhon; bahkan menjadi semakin ramai menjelang Hari Raya Idhul Fitri. Ditengah hiruk pikuk itu kita sulit membedakan apakah yang belanja dan berjualan sedang melaksanakan ibadah Puasa. Namun ada satu hal yang tampak luar biasa adalah Lapar Mata yang semakin menjadi-jadi. Perilaku massal seperti ini tampak sekali dari pengamatan kita selama ini.
Namun sebenarnya Lapar Mata untuk di bulan Romadhon itu masih manusiawi, dan sangat lumrah, terutama bagi mereka yang baru pertama menjalankan ibadah puasa; menjadi tidak lumrah jika Lapar Mata itu mengidap pada mereka yang sangat getol berkorupsi. Tidak peduli apakah itu pejabat atau rakyat, birokrat atau wakil rakyat; jika sudah terkena penyakit Lapar Mata ini, tidak dapat membedakan lagi mana miliknya dan milik orang lain. Harta sudah berjibunpun dirasa masih kurang; bahkan tidak segan-segan “merampok” yang bukan miliknya.
Pada akhir-akhir ini kita sering mendapatkan suguhan dari media massa, baik tulis maupun elektronik; yang mewartakan bagaimana semakin sistimatik dan rapinya perilaku Lapar Mata ini, bahkan bukan menjadi perilaku individual, sudah berubah bentuk menjadi perilaku berjamaah. Keterangan atau gelar “Wajar Tanpa” yang dikeluarkan oleh lembaga yang selama ini ditakuti oleh penyelenggara negarapun, sudah bisa diatur maunya seperti apa bunyi yang dinginkan. Seolah resonansi bunyipun sudah bisa dipesan seperti terompet Tahun Baru. Bahkan ada yang lebih seru lagi rasa garam yang aslinya adalah “asin”, akan tetapi ditangan peLapar Mata menjadi “manis”. Dan yang bisa mengubah ini tidak tanggung-tanggung adalah Direktur; yang notebene sudah digajih Puluhan Juta Rupiah perbulan oleh Negara.
Menjadi pertanyaan adalah bagaimana gejala Lapar Mata yang satu ini bisa tumbuh sedemikian rupa, seolah raksasa yang bisa bertriwikrama sekehendak hati. Berdasarkan analisis perilaku sosial yang dibangun dari Teori Lapar Sosial; ternyata manusia setelah berkelompok dan bersepakat untuk mencapai tujuan bersama; maka perasaan bersama yang muncul adalah bagaimana upaya untuk mencapai tujuan bersama itu dengan seefektif mungkin; terlepas jalan yang akan ditempuh itu merugikan orang lain atau tidak. Maka dengan kelemahan inilah muncul Teori Moral Sosial yang diperlukan untuk memberikian rambu-rambu guna pencapaian tujuan sosial.
Kita menjadi paham jika sekelompok pengusaha berkumpul menyatu bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama; maka koorporasi ini menjadi raksasa untuk melibas siapa saja yang merintangi pencapaian tujuan mereka. Menjadi persoalan bila sekelompok pejabat, baik birokrat, politisi maupun  pejabat publik, menyatu bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama; berperilaku yang tidak sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat. Untuk berkolusi bersama dalam memperkaya diri dengan dalih apapun, ini menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat.
Lapar Mata bisa berakibat menjadi Lapar Panggung; dan peristiwa ini tampaknya merebak di muka bumi negara tercita kita ini. Alih-alih memberi kesempatan pada generasi penerus untuk melanjutkan estafet generasi, justru kakek-kakek/nenek-nenek sibuk menciptakan panggung sandiwaranya karena lapar popularitas. Alih-alih memberikan Tauziah yang berkesejukan; justru menjadi propokator untuk sesuatu hal; sehingga terbuka ruang panggung untuk dapat menampilkan akting yang jika disimak tampak sekali kejanggalannya dan sering tidak lucu.
Era demokrasi seperti sekarang ini ternyata membawa Lapar Mata untuk segala hal dapat terjadi. Semula Pahlawan, sayang ternyata Pecundang, Semula Petualang, sayang ternyata Penghalang. Perubahan dengan berpayung pada eforia Demokrasi menjadi begitu cepat; apalagi jika masalahnya bersentuhan dengan pribadi atau kelompok; cepat sekali berubah menjadi reaktif yang protektif . Aturan seolah-olah hanya berlaku untuk orang lain; bukan untuk diri dan kelompoknya.
Hak “bertanya” boleh mereka ajukan kepada siapa saja; bahkan berlindung pada perundangan untuk melakukan ancaman dan atau penekanan, walaupun tidak tepat, mereka upayakan untuk tepat; tetapi hak itu tidak untuk orang lain bertanya kepada mereka. Atas nama kekebalan institusi maka perisai ini paling aman untuk dilakukan; mereka dapat menggunakannya “kapan saja, dimana saja, untuk apa saja”; Jika dirasa itu mengancam kepentingan mereka, maka senjata itu mereka turunkan, dengan dalih “koreksi”, tetapi bukan untuk “koreksi diri” nya.
Lapar mata yang dapat berkembang menjadi Lapar Kuasa ini tampaknya akan terus berkembang secara liar kesemua sektor kehidupan manusia. Ini membuktikan betapa dahsyatnya labido manusia dan memang sudah dipesankan dalam ajaran suci agama bahwa manusia itu walaupun sudah diberi satu gunung emas, maka dia akan ingin mendapatkan dua, jika dua sudah terpenuhi dia ingin empat. Kerakusan seperti ini seharusnya bulan suci Romadhon dapat dijadikan bulan introspeksi; ternyata justru bulan ibadah ini tidak menyentuh sama sekali. Bahkan terkesan tidak mempengaruhi sama sekali dengan kelaparan akan kekuasaan.
Lapar kuasa juga dapat memakan korban dalam bentuk fisik; apakah itu reklamasi pantai, garam, flyover, helikopter, jalan tol ; apa saja bisa dilibas. Kita bisa geleng kepala bagaimana bisa terjadi pejabat adu kuasa, atas nama kepentingan rakyat, maka semua bisa dilanggar dengan kuasa. Hasilnya lagi-lagi pembenaran teori Peter Berger tentang Piramidal Kurban Manusia menjadi kenyataan. Rakyat kecillah yang menjadi korban segalanya, dan harus menanggung beban resiko segalanya.
Belum lagi Lapar Kuasa pun bisa memecahkan perkongsian yang semula disepakati waktu mencalon bersama; tetapi karena Lapar Mata yang berubah menjadi Lapar Kuasa, maka kesepakatan kebersamaanpun bisa dikorbankan; dan ironisnya ini diumbar diranah publik. Alhasil masyarakat bisa menilai memimpin satu orang saja tidak mampu, apalagi mau memimpin masyarakat luas.
Masyarakat seolah-olah diberi tontonan gratis tentang bagaimana sesungguhnya laparnya serigala belum selapar manusia, padahal kita semua tau bahwa harkat manusia jauh diatas serigala. Kelaparan akan kekuasaan ini juga diplesetkan oleh banyak pihak dengan jargon “beri aku segenggam kekuasaan, itu jauh lebih berharga dari pada sejuta kebenaran”. Jika ini yang terjadi maka kita tinggal menunggu kerusakan masif pada masyarakat kita.
Dimana-mana kita melihat sisi lain sebagai dampak pengiring dari perkembangan demokrasi adalah munculnya “lapar Kuasa”. Ini tampaknya merupakan cacat bawaan dari bayi yang bernama Demokrasi. Oleh karena itu kita diharuskan berhati-hati dalam menyikapi semua implikasi negatif ini. Kita harus menyiapkan instrumen sosial guna meminimalisir dampak pengiring ini, sehingga sistem tadi tidak menciderai rakyat.
Jargon yang mengatakan “mau pensiun jadi rakyat” adalah lambang simbolis dari keputusasaan menghadapi sistem yang ada. Atau sikap “wani piro” adalah bahasa simbol yang dimunculkan karena merasa tidak mendapatkan manfaat dari sumbangan suara pada waktu pilihan. Akhirnya bahasa-bahasa simbol seperti ini menjadi “oase” bagi rakyat jelata dalam menghadapi Lapar Mata yang bertiwikrama menjadi Lapar kuasa, yang menghinggapi sebagian dari para petinggi hasil pilihannya.
Pada bulan suci ini semoga kita mampu melakukan pengendalian diri untuk tidak Lapar Mata dalam arti yang sebenarnya maupun simbolik; agar tidak bertiwikrama menjadi Lapar Kuasa. Kita semua tidak mengentahui apakah puasa ini merupakan puasa terakhir pada diri kita. Tidak ada yang mampu menjamin apakah kita masih diberi hak untuk melaksanakan puasa ditahun depan. Oleh karena itu tidaklah salah jika kita mengatakannya jangan-jangan ini merupakan puasa kita yang terakhir di bumi ini.
Semoga kita semua mampu memberikan yang terbaik yang kita miliki kepada negeri ini, minimal kontribusi kita adalah doa agar negeri ini tetap utuh dan sejahtera rakyatnya. Karena salah satu diantaranya yang dapat mengubah nasib adalah doa; hanya kapan dan dimana doa itu dikabulkan; itu adalah wilayah Sang Maha Pencipta. Selamat Melaksanakan Saum Romadhon bagi yang melaksanakannya.





  




Rabu, 14 Juni 2017

“PITUTUR” DARI TIMUR


PITUTUR” DARI TIMUR

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar FKIP Universitas Lampung
Pada acara Diskusi Sumbang Saran di Kabupaten Lampung Timur, kegiatan itu mengundang dua nara sumber; salah satu diantaranya teman seniman sekaligus budayawan senior terkenal di Lampung. Kata-kata bijak dari budayawan ini mengalir begitu deras dan tanpa henti. Kita yang mendengar menjadi terpukau sekaligus kagum; begitu dahsyatnya budaya adiluhung masa lalu yang dapat memandu perilaku para Pangrehprojo pada waktu itu. Dengan gayanya yang khas berkostum mirip Pak Tino Sidin masa lalu, beliau mendereskan kalimat-kalimat filosofis yang hanya bisa ditangkap dengan rasa.
Antara lain Thesa yang beliau kemukakan membuktikan bahwa jika membangun peradaban itu tidaklah hanya cukup mendirikan bangunan yang menjulang kelangit saja, akan tetapi bagaimana membangun fisik disertai dengan membangun budaya bagi pengguna atau pemanfaat bangunan fisik itu juga penting. Pemerintahan yang sudah berkali-kali ganti di Republik ini ternyata banyak sekali meninggalkan peninggalan fisik, akan tetapi masih kurang meninggalkan warisan budaya. Hancurnya sarana fisik yang dibangun selama ini ternyata bukan tidak kokohnya bangunan yang dibangun, akan tetapi lebih pada budaya memanfaatkan bangunan itu yang masih sangat kurang. Pembudayaan perilaku untuk cara pemanfaatan dari produk budaya yang berupa gedung, sering tertinggal. Contoh dilingkungan kampus saja yang tempatnya orang pandai, tetapi belum tentu disertai berbudaya. Kita masih sering melihat kendaraan roda empat atau roda dua yang parkir di bawah tanda larangan parkir, dan itu seolah olah sah-sah saja. Padahal Kampus mestinya tempat orang pandai juga tempat orang berbudaya.
Berbicara masalah budaya adiluhung yang ada ternyata banyak hal yang kita dapatkan; terutama  berkaitan dengan ajaran budi, yang bersumber pada ajaran agama, maupun norma sosial yang ada; diantara ajaran tersebut ialah beberapa kata bijak di bawah ini:
1.Kita harus pandai tetapi tidak untuk menggurui
Tampak sekali pada kalimat ini bahwa kepandaian itu harus dituntut; namun setelah mendapatkannya, pengetahuan tersebut sebagai sesuatu yang bebas nilai, kegunaannya sangat tergantung yang memilikinya. Apakah pengetahuan itu akan digunakan untuk menyengsarakan orang lain, membahagiakan orang lain, sangat tergantung kepada pemilik pengetahuan itu. Namun kita diingatkan bahwa pengetahuan yang kita miliki hanya sebagian super kecil dari anugerahilahi untuk kita. Oleh karena itu diingatkan bahwa sekalipun kita pandai maka janganlah menggurui karena sebenarnya Maha Guru iru hanya Sang Pencipta.
Pada konteks kekinian kata bijak ini masih sangat relevan jika dikaitkan dengan situasi sosial sekarang. Dimana-mana kita banyak menemukan pengetahuan sehasta berkotbah sedepa, sehingga yang mendengarnyapun menjadi terheran-heran, karena banyak hal yang semula jelas menjadi tidak jelas.
2.Kita harus cepat tetapi tidak untuk mendahului
Konsep yang kedua ini menunjukkan bahwa etika dalam tata pergaulan harus dijaga dengan baik, bahwa setiap kita harus dapat melaksanakan segala sesuatu dengan cepat, itu merupakan keharusan; namun kecepatan itu bukan untuk mendahului orang lain, karena jika itu dilakukan yang terjadi adalah membuat malu orang lain; dan jika itu dilakukan maka akan kurang baik jadinya. Jika kita ingin memiliki kecepatan penuh; maka diharapkan membuat jalur sendiri yang di sana tidak ada orang lain yang sama dengan jalur kita.
Kemerdekaan untuk berekspresi dimungkinkan seluas-luasnya; namun bukan berarti harus mengorbankan milik orang lain, dan ini yang perlu dijaga.
Kata bijak yang kedua ini merupakan rambu-rambu rohani bagi kita, terutama diera kompetitif ini. Berkompetisi sebenarnya sudah ada sejak jaman nenekmoyang kita dulu, namun berkompetisi itu bukanlah berarti berhadap-hadapan untuk saling membunuh, akan tetapi berpacu berprestasi pada bidangnya masing-masing.   
3.Kita harus tajam tetapi tidak untuk melukai  
Persoalan yang ketiga, hal ini sekarang tampak dilanggar di mana-mana. Menjadi panutan masyarakat tetapi kerjaannya melukai hati masyarakat. Saat mau pemilihan merayu sejadi-jadinya pada masyarakat, setelah terpilih malah meninggalkan luka pada masyarakat pemilihnya. Mulutnya menjadi pemakan bangkai, sehingga aroma busuk disebarkan atas nama sesuatu yang diyakini kebenarannya sendiri.
Adalagi semula tokoh idola, ternyata jaman sudah mengakhirinya, tetapi yang bersangkutan tetap demam panggung, sehingga pekerjaan sehari-harinya hanya mencari panggung untuk tampil. Usia dan pengalaman yang saharusnya menjadi tolok ukur untuk menjadi penasehat; ternyata dihabiskan hanya untuk menjadi penghasut. Labido untuk selalu menjadi tokoh; sekalipun sudah tidak sesuai dengan jamannya, tetap dilakukan bahkan dengan cara apapun ditempuh; termasuk melukai hati orang lain. Tidak sadar bahwa tampilannya menjadi bahan tertawaan orang lain yang usianya jauh di bawah dirinya; bahkan tidak jarang berperilaku seperti lelucon yang tidak lucu.
Ketajaman berfikir, menganalisis; dan mengkritisi adalah hak semua orang; tetapi bagaimana menyampaikannya dengan penuh arif bijaksana, adalah merupakan petunjuk keluhuran budi seseorang. Kemampuan untuk melaksanakan ini semua tidak tergantung kepada gelar intelektual seseorang’ akan derajaat kepangkatan seseorang; akan tetapi lebih kepada keluhuran budi.
Konsekwensi kultural sebagai orang timur ternyata memiliki tata laku yang luhur. Oleh sebab itu tidaklah aneh jika masyarakat timur ini sering dijadikan oase oleh masyarakat barat, karena keluhuran budi. Namun akhir-akhir ini justru sering menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan etika ketimurannya.
Atasnama modrenisasi dan demokratisasi sering dimunculkan perilaku kebebasan yang kebablasan; sehingga rakyat jelata menjadi kebingungan merujuk kebenaran. Seolah-olah jika sudah memiliki status sosial, maka apa saja dapat dilakukan dan melakukan. Image ini lah yang jika tertumpuk pada masyarakat awam menjadi prustrasi kolektif; dan jika ada pemicunya; maka tidak jarang akan menjadi “amok massa”, dan tidak jarang sulit diprediksi dan jika sudah terjadi menjadi sulit dikendalikan.
Perilaku sosial yang tampak dari luar sebagai “anomali” ; ternyata sebenarnya merupakan tumpukan frustrasi kolektif yang selama ini tidak mendapatkan penyaluran. Oleh sebab itu belumlah terlambat jika pada saat seperti sekarang ini negara hadir untuk mendampingi masyarakat secara sosiologis. Penyelesaian persoalan pembangunan pedesaan tidaklah cukup dengan hanya menggelontorkan dana milyaran rupiah ke pedesaan sebagai usaha pembangunanfisik saja. Akan tetapi juga ada proses pendampingan oleh negara guna memberikan bimbingan moral melalui instrumen kemasyarakatan yang ada, termasuk didalamnya Lembaga Sosial Masyarakat.
Upaya serupa ini belumlah terlambat jika dilihat dari aspek kondisi masyarakat saat ini, dimana berita-berita palsu, ujaran kebencian, dan hal-hal lain yang bersifat destruktif telah menyeruak ditengah masyarakat. Jika ini dibiarkan tanpa ada upaya-upaya yang cepat dari semua kita; maka tidaklah mustahil negara ini akan meledak dari dalam karena keterlambatan kita semua. Upaya-upaya tersebut tidak dapat kita serahkan sepenuhnya kepada satu pihak saja; akan tetapi harus merupakan upaya massal bersama dalam rangak menjaga kesatuan dan persatuan bangsa ini.
Adalah belum terlalu tertinggal jika menjelang ramadhan tahun ini kita semua elemen bangsa kembali kekhitah kita sebagai bangsa yang majemuk. Kita tidak bisa mendebat dan meminta untuk tidak lahir dinegeri ini. Semua adalah sudah ketentuan Sang Pencipta menetapkan kita lahir dinegeri beragam kaum ini. Merawat keberagaman ini berarti kita merawat keberlangsungan negeri ini.
Negeri ini memerlukan pemimpin bukan hanya cerdas, tetapi bijak; dan ada yang lebih utama lagi jika pemimpin lahir dari tengah keberagaman seperti Indonesia ini, dia adalah hasil seleksi alamiah yang luar biasa dan tentu berkualitas.
Selamat Melaksanakan Ibadah Puasa.