“PITUTUR” DARI TIMUR
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar FKIP Universitas Lampung
Pada acara Diskusi Sumbang Saran di
Kabupaten Lampung Timur, kegiatan itu mengundang dua nara sumber; salah satu
diantaranya teman seniman sekaligus budayawan senior terkenal di Lampung. Kata-kata
bijak dari budayawan ini mengalir begitu deras dan tanpa henti. Kita yang
mendengar menjadi terpukau sekaligus kagum; begitu dahsyatnya budaya adiluhung
masa lalu yang dapat memandu perilaku para Pangrehprojo
pada waktu itu. Dengan gayanya yang khas berkostum mirip Pak Tino Sidin masa
lalu, beliau mendereskan kalimat-kalimat filosofis yang hanya bisa ditangkap
dengan rasa.
Antara lain Thesa yang beliau kemukakan
membuktikan bahwa jika membangun peradaban itu tidaklah hanya cukup mendirikan
bangunan yang menjulang kelangit saja, akan tetapi bagaimana membangun fisik
disertai dengan membangun budaya bagi pengguna atau pemanfaat bangunan fisik
itu juga penting. Pemerintahan yang sudah berkali-kali ganti di Republik ini
ternyata banyak sekali meninggalkan peninggalan fisik, akan tetapi masih kurang
meninggalkan warisan budaya. Hancurnya sarana fisik yang dibangun selama ini
ternyata bukan tidak kokohnya bangunan yang dibangun, akan tetapi lebih pada
budaya memanfaatkan bangunan itu yang masih sangat kurang. Pembudayaan perilaku
untuk cara pemanfaatan dari produk budaya yang berupa gedung, sering
tertinggal. Contoh dilingkungan kampus saja yang tempatnya orang pandai, tetapi
belum tentu disertai berbudaya. Kita masih sering melihat kendaraan roda empat
atau roda dua yang parkir di bawah tanda larangan parkir, dan itu seolah olah
sah-sah saja. Padahal Kampus mestinya tempat orang pandai juga tempat orang
berbudaya.
Berbicara masalah budaya adiluhung yang ada
ternyata banyak hal yang kita dapatkan; terutama berkaitan dengan ajaran budi, yang bersumber
pada ajaran agama, maupun norma sosial yang ada; diantara ajaran tersebut ialah
beberapa kata bijak di bawah ini:
1.Kita harus pandai tetapi tidak untuk
menggurui
Tampak sekali pada kalimat ini bahwa kepandaian
itu harus dituntut; namun setelah mendapatkannya, pengetahuan tersebut sebagai
sesuatu yang bebas nilai, kegunaannya sangat tergantung yang memilikinya.
Apakah pengetahuan itu akan digunakan untuk menyengsarakan orang lain,
membahagiakan orang lain, sangat tergantung kepada pemilik pengetahuan itu. Namun
kita diingatkan bahwa pengetahuan yang kita miliki hanya sebagian super kecil
dari anugerahilahi untuk kita. Oleh karena itu diingatkan bahwa sekalipun kita
pandai maka janganlah menggurui karena sebenarnya Maha Guru iru hanya Sang
Pencipta.
Pada konteks kekinian kata bijak ini masih
sangat relevan jika dikaitkan dengan situasi sosial sekarang. Dimana-mana kita
banyak menemukan pengetahuan sehasta berkotbah sedepa, sehingga yang mendengarnyapun
menjadi terheran-heran, karena banyak hal yang semula jelas menjadi tidak
jelas.
2.Kita harus cepat tetapi tidak untuk
mendahului
Konsep yang kedua ini menunjukkan bahwa
etika dalam tata pergaulan harus dijaga dengan baik, bahwa setiap kita harus
dapat melaksanakan segala sesuatu dengan cepat, itu merupakan keharusan; namun
kecepatan itu bukan untuk mendahului orang lain, karena jika itu dilakukan yang
terjadi adalah membuat malu orang lain; dan jika itu dilakukan maka akan kurang
baik jadinya. Jika kita ingin memiliki kecepatan penuh; maka diharapkan membuat
jalur sendiri yang di sana tidak ada orang lain yang sama dengan jalur kita.
Kemerdekaan untuk berekspresi dimungkinkan
seluas-luasnya; namun bukan berarti harus mengorbankan milik orang lain, dan
ini yang perlu dijaga.
Kata bijak yang kedua ini merupakan
rambu-rambu rohani bagi kita, terutama diera kompetitif ini. Berkompetisi
sebenarnya sudah ada sejak jaman nenekmoyang kita dulu, namun berkompetisi itu
bukanlah berarti berhadap-hadapan untuk saling membunuh, akan tetapi berpacu
berprestasi pada bidangnya masing-masing.
3.Kita harus tajam tetapi tidak untuk
melukai
Persoalan yang ketiga, hal ini sekarang
tampak dilanggar di mana-mana. Menjadi panutan masyarakat tetapi kerjaannya
melukai hati masyarakat. Saat mau pemilihan merayu sejadi-jadinya pada
masyarakat, setelah terpilih malah meninggalkan luka pada masyarakat
pemilihnya. Mulutnya menjadi pemakan bangkai, sehingga aroma busuk disebarkan
atas nama sesuatu yang diyakini kebenarannya sendiri.
Adalagi semula tokoh idola, ternyata jaman
sudah mengakhirinya, tetapi yang bersangkutan tetap demam panggung, sehingga
pekerjaan sehari-harinya hanya mencari panggung untuk tampil. Usia dan
pengalaman yang saharusnya menjadi tolok ukur untuk menjadi penasehat; ternyata
dihabiskan hanya untuk menjadi penghasut. Labido untuk selalu menjadi tokoh;
sekalipun sudah tidak sesuai dengan jamannya, tetap dilakukan bahkan dengan
cara apapun ditempuh; termasuk melukai hati orang lain. Tidak sadar bahwa
tampilannya menjadi bahan tertawaan orang lain yang usianya jauh di bawah
dirinya; bahkan tidak jarang berperilaku seperti lelucon yang tidak lucu.
Ketajaman berfikir, menganalisis; dan
mengkritisi adalah hak semua orang; tetapi bagaimana menyampaikannya dengan
penuh arif bijaksana, adalah merupakan petunjuk keluhuran budi seseorang.
Kemampuan untuk melaksanakan ini semua tidak tergantung kepada gelar
intelektual seseorang’ akan derajaat kepangkatan seseorang; akan tetapi lebih
kepada keluhuran budi.
Konsekwensi kultural sebagai orang timur
ternyata memiliki tata laku yang luhur. Oleh sebab itu tidaklah aneh jika
masyarakat timur ini sering dijadikan oase oleh masyarakat barat, karena
keluhuran budi. Namun akhir-akhir ini justru sering menunjukkan perilaku yang
tidak sesuai dengan etika ketimurannya.
Atasnama modrenisasi dan demokratisasi
sering dimunculkan perilaku kebebasan yang kebablasan; sehingga rakyat jelata
menjadi kebingungan merujuk kebenaran. Seolah-olah jika sudah memiliki status
sosial, maka apa saja dapat dilakukan dan melakukan. Image ini lah yang jika
tertumpuk pada masyarakat awam menjadi prustrasi kolektif; dan jika ada
pemicunya; maka tidak jarang akan menjadi “amok massa”, dan tidak jarang sulit
diprediksi dan jika sudah terjadi menjadi sulit dikendalikan.
Perilaku sosial yang tampak dari luar
sebagai “anomali” ; ternyata sebenarnya merupakan tumpukan frustrasi kolektif
yang selama ini tidak mendapatkan penyaluran. Oleh sebab itu belumlah terlambat
jika pada saat seperti sekarang ini negara hadir untuk mendampingi masyarakat
secara sosiologis. Penyelesaian persoalan pembangunan pedesaan tidaklah cukup
dengan hanya menggelontorkan dana milyaran rupiah ke pedesaan sebagai usaha
pembangunanfisik saja. Akan tetapi juga ada proses pendampingan oleh negara
guna memberikan bimbingan moral melalui instrumen kemasyarakatan yang ada,
termasuk didalamnya Lembaga Sosial Masyarakat.
Upaya serupa ini belumlah terlambat jika
dilihat dari aspek kondisi masyarakat saat ini, dimana berita-berita palsu,
ujaran kebencian, dan hal-hal lain yang bersifat destruktif telah menyeruak
ditengah masyarakat. Jika ini dibiarkan tanpa ada upaya-upaya yang cepat dari
semua kita; maka tidaklah mustahil negara ini akan meledak dari dalam karena
keterlambatan kita semua. Upaya-upaya tersebut tidak dapat kita serahkan
sepenuhnya kepada satu pihak saja; akan tetapi harus merupakan upaya massal
bersama dalam rangak menjaga kesatuan dan persatuan bangsa ini.
Adalah belum terlalu tertinggal jika
menjelang ramadhan tahun ini kita semua elemen bangsa kembali kekhitah kita
sebagai bangsa yang majemuk. Kita tidak bisa mendebat dan meminta untuk tidak
lahir dinegeri ini. Semua adalah sudah ketentuan Sang Pencipta menetapkan kita
lahir dinegeri beragam kaum ini. Merawat keberagaman ini berarti kita merawat
keberlangsungan negeri ini.
Negeri ini memerlukan pemimpin bukan hanya
cerdas, tetapi bijak; dan ada yang lebih utama lagi jika pemimpin lahir dari
tengah keberagaman seperti Indonesia ini, dia adalah hasil seleksi alamiah yang
luar biasa dan tentu berkualitas.
Selamat Melaksanakan Ibadah Puasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar