Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Rabu, 20 Desember 2017

HARI IBU

HARI  IBU
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar dan Direktur Pascasarjana Unila

Entah sudah berapa kali judul tulisan  ini ditulis dan diganti dengan beberapa kalimat, namun terasa masih tidak begitu tepat, ternyata kembali lagi ke judul sesuai tema dan peristiwa. Semua kita hapir tidak pernah gagal paham, ada dua peristiwa yang selalu diperingati di Indonesia berkaitaan dengan sosok wanita mulia yaitu Hari Kartini dan Hari Ibu. Walau dalam kenyatannya kedua hari itu “Mother Day “ yang jatuh pada 22 Desember lebih mendunia.
Sosok Ibu sebagai pengejawantahan cinta kasih yang digambarkan bak matahari yang selalu memberi tetapi tidak mengharap kembali, adalah simbolisasi dari kekhasan ciptaan illahi yang memiliki derajat kelebihan dari lainnya.  Rosul pernah ditanya oleh sahabat siapa yang harus di hormati di dunia ini, ternyata sampai tiga kali jawaban beliau selalu “ibumu, ibumu, ibumu”, baru kemudian Bapak mu.
Kemuliaan seorang Ibu juga dapat kita temukan dalam keseharian; sekalipun beliau belum makan, dan mungkin lapar, tidak pernah mengatakan kepada anak-anaknya. Sebelum anak-anaknya makan, beliau tidak akan makan duluan, dan alasannyapun begitu bijak; makanlah kalian karena Ibu belum begitu lapar.
Cerita Mahabratapun tidak luput dari peran Ibu; ini kita bisa baca Peran Dewi Kunthinalibroto ibu para Pendawa. Versi Mahabrata Jawa ;  Ibu Kunthi ini mengasuh tiga orang anak kandungnya dan dua orang anak tirinya begitu penuh tanggungjawab sampai mengantarkannya kepada kemenangan perang Baratayuda. Dengan penuh kasih Ibu Kunthi tidak membedakan antara anak kandungnya dengan anak tirinya. Beliau mengasuh, membesarkan dan mendidiknya sehingga sukses menuju pengembalian singgasana kerajaan Hastinapura.
Masih sederet lagi cerita mengenai Ibu yang mengharubiru perasaan, namun semua itu akhir-akhir ini dirusak oleh sebagian kecil mereka yang ingin mengingkari tugas kodrati ini.  Akhir-akhir ini kita juga banyak dikejutkan adanya penemuan janin yang tidak berdosa disembarang tempat. Perbuatan yang dilakukan oleh identitas ibu ini justru merusak citra kemuliaan Ibu sebagai mahluk yang dikenal welas asih.
Sisi lain lagi adalah atas nama kesamaan hak dan kebebasan; maka sering kita disuguhkan dengan hal-hal yang sejatinya bertentangan dengan azaz kodrati sebgai ibu. Sehingga peran ganda lebih diberi makna multitafsir yang tidak jarang makna aslinya menjadi bias. Karena itu celah untuk melakukan rasionalisasi making terbuka; dan ini sering tidak disadari oleh semua pihak sehingga menyandera kaum Ibu dalam arti bisa berbuat apa saja demi satu kata yaitu emansipasi. Akibat pemahaman yang sesat akan emansipasi menjadikan sesuatu menjadi kering tanpa makna.
Dewi Ajeng Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Din; dan masih banyak lagi para tokoh wanita, yang ternyata dalam kesehariannya tidak pernah melepaskan diri dari kodrat kewanitaan. Namun demikian mereka tetap disegani dari masa generasinya sampai hari ini. Hal ini karena mereka memiliki kharisma Ibu yang begitu kental sehingga spektrumnya melampaui jamannya.
Persoalan lanjut adalah apakah dengan jaman Now sekarang ini “mother Day” masih relevan. Tentu jawabannya bisa YA bisa juga TIDAK. Karena menilik kondisi sekarang yang sudah sangat tidak bersekat antardunia; maka perubahan antara YA dan Tidak juga menjadi sesuatu yang tidak mengejutkan. Bisa saja ketokohan saat ini mungkin melebihi jaman beliau-beliau di atas jika itu ukurannya adalah popularitas keahlian; atau bisa juga ukuran akademis; namun jika dilihat dari keberterusan ideologis, mungkin akan menjadi berbeda.
Ibu yang bukan hanya memiliki tugas biologis saja, tetapi juga ternyata bisa meneruskembangkan ajaran-ajaran ideologis yang tak tertandingi kegigihannya. Kita tentu ingat di Indonesia ini ada Ketua Partai seorang Ibu yang usianya sudah 70 tahun, dan setiap penggantian pucuk pimpinan partai selalu tidak ada tokoh yang tampil untuk bertanding dengan beliau. Kharismatik yang beliau bangun ternyata belum tertandingi sampai hari ini dan tampaknya itu akan menembus batas dan waktu.
Menjadi tugas kita semua sekarang ialah bagaimana memaknai hari ibu itu agar selalu sesuai tuntutan jaman, sehingga setiap perayaan dilakukan akan tidak kehilangan Ruh nya. Barang kali sebagian pembaca masih ingat perayaan hari ibu disekitar tahun 50 sampai dengan 60 an dilakukan dengan penuh serimonial, bahkan tampak sedikit jor-joran. Namun seiring perjalanan waktu perayaan itu meredub bagaikan lilin kehabisan batang. Akhir-akhir ini pemberian ucapan selamat cukup ditulis di media sosial saja; tidak perlu harus bertatap muka, apalagi harus menggunakan kebaya; kemudian melakukan ritual upacara kebesaran;  hal itu sudah sulit untuk dilakukan.
Model seperti apa yang tepat sekarang untuk memperingati jasa jasa Ibu ; ternyata belum kita temukan . Hal ini terjadi karena pergeseran makna ibu yang semula bagai induk ayam yang selalu merengkuh anak-anaknya melalui sayapnya, melindunginya, bahkan mencarikan makan untuk anak-anaknya dengan cara memanggil dengan suara khas bahwa induk ayam mendapatkan makanan untuk anaknya. Sekarang berubah seperti halnya induk ikan Mujahir atau Nila dan sejenisnya; yang dengan tenang melepaskan anak-anak mereka melalui mulutnya; untuk bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan. Induk secara perlahan menjauh-menjauh agar anak-anak mampu mandiri untuk menjadi dirinya sendiri. Induk hanya akan dengan sigab menyedot anak-anaknya ke dalam mulut jika keadaan memang membahayakan.
Perubahan pola asuh serupa ini membuat konsep ibu menjadi perlu di redefinisi kembali; karena perubahan dari mengayomi, menjadi tut wuri ; adalah perubahan fondamental tugas keibuan. Ukuran besaran jumlah anak, yang semula didominasi oleh peran ayah; sekarang sudah bergeser pada ibu. Ibulah yang menetapkan berapa jumlah anak yang diinginkan. Revolusi Sosial Keluarga serupa ini tentunya  akan berdampak pada banyak hal, dari demografis, sosiologis, bahkan  sampai pada ekonomis.
Pergeseran tersebut menunjukkan bahwa peran ibu di dalam rumah tangga menjadi begitu sentral; bahkan harus diakui bahwa peran-peran ini pada dasarnya menjadikan buah simalakama bagi ibu. Pada sisi lain adalah mengangkat harkat dan martabat dari ketokohan Ibu, namun pada sisi lain berarti menambah tugas-tugas baru yang harus dilakukan oleh Ibu. Dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Pascasarjana FKIP Universitas Lampung, ternyata ditemukan bahwa keberhasilan homeschooling, sangat ditentukan oleh sejauh mana frekuensi ibu dalam meluangkan waktu memberikan pendidikan pada anaknya, di samping perhatian psikologis.
Tidaklah salah jika ada joke yang mengatakan, Jika anak berhasil yang akan ditanya Bapaknya siapa, dan jika anak itu gagal akan diumpat ibunya siapa. Ketidak adilan ini adalah cacat bawaan yang dibawa oleh pergeseran jaman, atau dapat juga dikatakan sebagai residu sosial akibat perubahan sosial.
Namun ada sesuatu yang tidak berubah sampai kapanpun sesutu yang melekat pada Ibu ; yaitu Surga ditelapak Kaki Ibu. Ungkapan ini menunjukkan begitu luhurnya sosok ibu yang sampai ditamsilkan sebagai tuhan yang terlihat. Dengan takzim dan  rasa hormat yang setingi-tingginya pada para Ibu, melalui tulisan ini kami menghaturkan ucap “Selamat Hari Ibu”, terimakasih Ibu, karenamulah kami bisa seperti ini. Tanpamu kami tidak ada, tanpamu kami tiada daya, dan tanpamu kami bukan apa-apa.



















    





Sabtu, 09 Desember 2017

CATATAN AKHIR TAHUN

CATATAN AKHIR TAHUN
Sudjarwo
Guru Besar FKIP dan Direktur Pascasarjana Unila

Sebenarnya tulisan ini tidak ingin di produksi karena ada dua alasan; pertama, berkeinginan agar ada penulis muda yang menjadi penerus; sehingga pada waktunya nanti ada penulis baru yang lebih “now” mengikuti pergolakan jamannya, sehingga persiapan untuk naik gunung “madegpanditho” yang akan penulis lakukan dapat berjalan mulus tanpa aral.  Alasan kedua adalah alasan sosialpsikologis yaitu suatu kondisi yang membuat seseorang menjatuhkan pilihan untuk “diam” karena alasan yang sulit dinarasi.

Namun semua itu menjadi batal karena desakan tanggungjawab akademik yang muncul akibat dari menyimak kondisi sosial yang mengemuka, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali menuliskan narasi pemikiran kehadapan sidang pembaca, diusia yang sudah tidak muda lagi ini.

Peristiwa demi peristiwa melintas di panggung Bumi Pertiwi ini; semula merupakan riak-riak kecil, namun dipenghujung tahun ini tampaknya berpotensi menjadi besar, dan bisa jadi liar. Seperti biasa kondisi ini dimanfaatkan oleh para petualang untuk berselancar guna memenuhi syahwat politiknya. Sehingga tidak jarang yang dilakukannya menggunakan hukum Machiavelli.

Hal ini kita simak dengan adanya angin Putingbeliung yang menerpa salah satu organisasi politik terbesar (dahulu) di Republik ini, merupakan gambaran nyata bagaimana “salah kelola” nya suatu manajemen publik oleh mesin organisasi. Sisi lain ada organisasi yang tanpa bentuk hanya dengan berbasis massa, selalu bergerak mencari mangsa untuk dijadikan batu pijakkan melakukan mobilisasi massa; sehingga tercipta ruang atau medan untuk berhadap-hadapan dengan penguasa, yang selalu disublimasikan sebagai “musuh”, bukan saudaranya; padahal kelompok ini mengusung simbol-simbol agama sebagai alat untuk melakukan mobilisasi. Agama yang dikenal sangat sejuk mengayomi seluruh mahluk dibumi ini; ternyata direkayasa untuk dibalik menjadi raksasa yang menakutkan. Untuk masih banyak para Ulama linuwih yang memberikan pesan-pesan damai agar tidak terjadi kondisi yang membahayakan kesatuan negeri.

Kondisi lain yang juga ikut mewarnai varian ini ialah pusaran ekonomi; dimana pola ekonomi riel berubah menjadi ekonomi maya. Dampaknya tampak dahsyat sekali, banyak Swalayan yang harus tutup, penyedia jasa riel bangkrut karena ada jasa maya yang hidup berkembang. Sekarang pesan Ayam Goreng tidak harus antri dihadapan penggorengan penjual, cukup melakukan aplikasi tertentu, maka Ayam Goreng akan hadir di meja makan kita.

Peredaran uang tidak perlu melalui transaksi riel yang ini berdampak pengurangan tenaga kerja perbankan. Pengiriman uang tidak harus melalui Kantor Pos, tetapi cukup melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM) semua bisa diselesaikan dengan mesin pintar ini, dampaknya Kantor Pos cukup dilayani oleh satu dua orang saja, dan kondisi ini sudah berlaku mulai lima tahun terakhir. Kantor Telegram sudah lama gulung tikar karena cukup dengan Pesan Pendek  (SanDek) semua terlayani dengan sempurna.

Peristiwa lain yang tidak kalah seru; ialah korupsi berlangsung masih begitu masif. Hal ini dibuktikan dengan setiap bulan Komisi Pemberantasan Korupsi selalu menangkap tangan pejabat bertransaksi haram. Jika kita lihat pelakunya tidak ada yang “orang kecil”, tetapi semua bersapari atau berseragam dengan sederet pangkat di pundaknya. Namun lembaga yang disayangi rakyat ini ternyata dibenci oknum pejabat. Buktinya hampir setiap hari selalu ada uji materi perundangan yang berkaitan dengan aturan main lembaga anti rasuah ini. Sampai-sampai anggota parlemen terhormat yang tidak punya partaipun ikut meramaikannya. Tentu alasannya dibuat serasional mungkin bahkan seakademik mungkin, jika perlu menggunakan diksi yang orang lain tidak mengerti.

Peristiwa-peristiwa di atas akselerasinya akan makin kencang di tahun mendatang karena ada dua peristiwa besar yang akan dijadikan “medan kurusetra” bagi para petarung di negeri ini. Menjadi persoalan adalah bukan para petarungnya, akan tetapi adalah para pengikut yang menyertainya. Dari sekarang sudah terasa, petarung yang turun gelanggang belum ada; tetapi gelanggang sudah digoyang.  Tidak jarang penggoyangnya lebih heboh dari petarungnya. Tanda-tanda itu sudah mulai tampak dari sekarang; spanduk dipasang di mana-mana; sementara petarungnya duduk manis; hanya aliran “manis” (baca: uang) yang terus mengalir. Berbagai cara dilakukan dari yang halal sampai yang haram dilakukan; sehingga masyarakat menjadi sesat, seolah kiamat sudah dekat.

Berkaca dari semua di atas, menjadikan ingatan melayang di masa lalu yaitu peringatan luhur yang diwedar oleh Pujangga Besar jamannya yang mengatan “Sak bejo-bejane wong kang lali, isih bejo wong kang eleng lan waspodo”  terjemahan bebasnya kira-kira seuntung-untungnya orang yang lupa masih beruntung mereka yang ingat dan waspada. Maksudnya ialah bahwa orang yang selalu ingat akan aturan dunia dan akherat itu lebih dijamin selamat dibandingkan dengan mereka yang ubud dunia.

Hanya masyarakat sering dibuat bingung justru karena mereka yang seharusnya memberi contoh terbaiknya, tetapi justru berbuat kebalikannya.  Orang tua bahkan Tokoh Senior yang seyogyanya memberikan “piwulang luhur” pada generasi penerusnya, ternyata malah ikut naik mobil berbekal pelantang suara, menyampaikan yang seharusnya bukan porsinya.

Mudah-mudahan dipenutup tahun ini kondisi bangsa menjadi lebih baik guna menyongsong tahun-tahun yang akan datang. Perbedaan adalah anugerah, oleh sebab itu mari kita bergandenga tangan memajukan negeri ini dengan merajut perbedaan menjadi kekuatan. 

SUGENG TUTUP TAUN LAN SUGENG MAPAK WARSO ENGGAL.