Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Senin, 20 Maret 2017

BANCAAN


BANCAAN

Pada waktu kecil usia bermain di kampung-kampung Jawa ada semacam kebiasaan pada waktu  ada Ibu melahirkan, maka keluarga itu akan membuat sedekah kecil yang diberi nama “bancaan” atau juga sering disebut “among-among”. Peserta yang diundang adalah anak-anak kecil usia balita. Adapun isi among-among atau bancaan tadi adalah nasi urap, telur ayam rebus yang dipotong empat, kerupuk merah, dan sedikit ikan asin lalu dibungkus daun jati atau daun pisang. Pada waktu itu rasanya nikmat sekali, karena sesuai dengan usia yang suka bermain dan berkelompok, sehingga kalau ada bancaan rasanya senang sekali. 

Sesuai adat masyarakat Jawa yang sering melakukan upacara ritual dari Pernikahan, Tujuhbulanan atau mitoni, lahiran, pupak puser sampai kematian, akan selalu kenal dengan bancaan. Bahkan pada waktu itu setiap tahun pada Kampung Jawa dikenal Sedekah Bumi yaitu ritual bersama sebagai bentuk rasa syukur karena keberhasilan panen dan membersihkan sukerto (istilah dosa sosial) yang ada dalam masyarakat. Konsep bancaan pada masyarakat ini seolah semacam pembagian resiko sosial kemiskinan; dalam arti meratakan yang tidak rata. Atau dengan kata lain membantuh orang sekalipun kita dalam keadaan perlu bantuan. Bancaan merupakan simbiose mutualistik bagi orang desa dalam membagi resiko.

Konsep adiluhur itu sekarang berbalik 180 derajat dengan ditemukannya Elektronik Kartu Tanda Penduduk ( E-KTP). Konsep Bancaan yang semula merupakan kuwajiban sosial dalam pembagian resiko sosial, berubah menjadi mengambil hak orang lain (baca: Rakyat) untuk memperkaya diri sendiri. Bisa dibayangkan jika salah satu penikmat bancaan itu mencapai setengah triliyun. Penulis tidak mampu membayangkan dengan gaji yang dimiliki sekarang untuk mencapai uang sebanyak itu harus puasa berapa ratus tahun.

Barangkali para pelaku Bancaan E –KTP pada waktu kecil sering tidak kebagian “bancaan” ; sehingga begitu dewasa masih berkelakuan anak balita. Bisa jadi karena kecerdasannya; maka semua pengalaman sosial yang mengenakkan dimasa kecil, ingin diulang terus menerus, termasuk pada waktu bancaan serakah selalu minta lebih, sehingga waktu dewasa terbawa-bawa. 

Ada sesuatu yang menarik dari peristiwa “Bancaan E-KTP” ; disamping jumlah uang yang begitu fantastis, juga pelakunya adalah para petinggi negeri ini yang sebenarnya memiliki kehidupan super kecukupan. Rasanya mereka memiliki kekayaan untuk tujuh turunanpun belum habis; ternyata mereka tetap saja menjadi peserta bancaan yang paling aktif.

Terlepas dari proses hukum yang sedang berjalan, dan upaya menolak kesaksian persidangan; namun rakyat kecil sudah terlanjur disuguhi Drama Bancaan E-KTP yang sangat menciderai hati nurani. Akibatnya akan membuat masyarakat terbelah; Belahan Pertama; mereka menjadi ingin meniru dengan cara berjuang melalui Partai Politik atau Birokrasi Pemerintahan, untuk kelak kemudian hari  ikut menjadi pemain. Prinsip kelompok ini, mengapa mereka bisa saya tidak. Walau kelompok ini tidak secara terang muncul kepermukaan; akan tetapi akan tetap ada karena mereka memiliki Patron Sosial yang sudah terbentuk.

Belahan Kedua; mereka yang ingin menegakkan keadilan dengan memberikan hukuman pemberatan yang maksimal sampai dengan hukuman mati bagi para pelaku Kejahatan Bancaan. Walaupun terkesan utopis, namun kelompok ini sudah sering muncul ditengah masyarakat, terutama dipelopori oleh teman-teman Lembaga Swadaya Masyarakat.
Belahan Ketiga, mereka yang bersifat menunggu arus. Jika arus deras melanda adalah gelombang pertama, mereka ini tidak segan-segan akan ikut, walau dimulai dengan skala kecil, seperti menggelapkan Gaji orang lain, mengambil Hak orang lain. Bahkan ada staf Dewan Terhormatpun tega memangkas haknya tenaga ahli. Namun bila arus kuat yang datang kelompok ke dua, kelompok ini biasanya paling lantang suaranya untuk ikut memberantas  penyimpangan sosial tadi. Kelompok ambigu ini tampaknya semakin besar jumlahnya, dan ini  membahayakan negara, karena mereka akan menjadi kelompok pemberat sosial.

Ternyata peristiwa Bancaan E-KTP memiliki dampak daya rusak sosial yang sangat tinggi dan masip; hal ini tidak banyak orang menjayadarinya. Peristiwa ini bisa menjadi Patron Sosial Negatif pada generasi penerus. Karena setiap mereka melihat Kartu Tanda Penduduk, maka yang akan terbersit adalah mega korupsi, dan Stimulus Respon ini akan berlangsung minimal satu generasi. Menjadi lebih berbahaya lagi jika ini menjadi main set, berawal dari seloroh berujung menjadi serius.

Jika kita dekati dengan teori Permodelan, maka E-KTP akan membangun model dalam pribadi orang yang melihat KTP. Dengan kata lain begitu seseorang melihat KTP yang terbersit bagaimana cara mencontoh untuk dapat uang mudah menggunakan KTP. Jika ini kemudian hari menjadi belife, maka akan membahayakan tatanilai harmoni yang telah ada selama ini ditengah-tengah masyarakat.

Berdasarkan sudut pandang kajian teori manapun ternyata Bancaan E-KTP memiliki daya rusak yang luar biasa. Begitu masifnya, walaupun tidak tampak dipermukaan, akan tetapi berpusar kebawah dalam arti menuju lapis sosial bawah. Peristiwa seperti ini sangat langka terjadi; dan jika ini terjadi yang tertinggal adalah luka sosial yang sangat sulit disembuhkan.  Orang akan mencibir sudah sebeginikah parahnya negeri ini.

Peristiwa sosial serupa ini merupakan pengalaman sosial yang sangat berharga bagi bangsa ini, kita semua diajak berfikir ulang untuk menentukan formulasi mengelola negara. Ternyata dengan sistrm perwakilan melalui Dewan Perwakilan, diperlukan kaji ulang sistem yang digunakan, Rakyat hampir setiap hari disuguhi kelakuan wakilnya yang tidak sesuai dengan amanah yang diberikan. Walaupun tetap saja ada pembelaan tidak semua berkelakuan demikian, namun perlu diingat bahwa perwakilan itu bersifat kolektif kolegial, maknanya bahwa jika satu saja melakukan perbuatan penyimpangan, maka semua mereka akan terkena akibatnya.
Komentar-komentar dimedia sosial, media massa online berkenaan dengan peristiwa ini sangat mengerikan. Hitungan-hitungan matematis yang disajikan dengan membuat penyetaraan dari pembangunan Kereta Cepat, membeli Gerbong Kereta KRL, semua menunjukkan angka fantastis. Bahkan gelar yang diberikan berupa Mega Korupsi, menjadikan semakin berdiri bulu kuduk. Bahkan ada mahasiswa yang berseloroh jika itu untuk membiayai SPP mahasiswa bisa membebaskan SPP mahasiswa Pascasarjana se Indonesia. 

Keadaan ini tidak selesai begini saja, apalagi kalau diserahkan kepada regulasi hukum yang ada, mungkin Hukuman yang dijatuhkan baru memiliki kekuatan hukum tetap nanti baru tahun 2022, dan jika itupun para pelakunya masih hidup. Oleh sebab itu perlu ada semacam Mahkamah Luar Biasa untuk menngani kasus ini. Belajar dari pengalaman Mahkamah Militer Luarbiasa (Mahmillub)  dengan segala kelemahan dan kelebihannya, bisa dijadikan rujukan agar segera muncul effek jera pada mereka yang punya niat. Semoga Tuhan melindungi bangsa ini dari kehancuran.






Kamis, 02 Maret 2017

DIASPORA

Pada beberapa minggu lalu saat ada waktu untuk melaksanakan perjalanan suci ketanah Harom ; rombongan yang terdiri dari 36 orang berasal dari beberapa kawasan Indonesia, walaupun dominasi tetap dari Ibu Kota; ada sesuatu yang menarik yaitu ada dua anggota bersaudara terdiri dari Kakak dan adik. Sang Kakak perempuan lajang profesional sedangkan adik dari SMA Internasional Gandhi bernama Ando.

Dilihat dari  tampilan tidak ada yang menarik tetapi menjadi terperangah setelah mengenal lebih dekat; ternyata Ando sudah dua kali ke Tanah Suci, pertama dengan kedua orang tuanya, dan kali ini dengan sang kakak. Ando lima bersaudara dan dia adalah si bungsu. Kakak-kakaknya yang tiga sedang berlibur ke Eropa, sedangkan dia diperintahkan melalui Kakak nomor empat untuk pergi ke Tanah Suci tanpa di kawal orang tua. Anak mami ini harus melakukana semua mandiri tanpa boleh minta bantuan siapapun kecuali amat terdesak. Dari pembicaraan yang intens ternyata Ando menikmati perjalanan ini karena bisa menggunakan bahasa Indonesia sepanjang hari. Ando merasa terasing dinegeri sendiri karena dari bangun tidur sampai tidur lagi dia harus menggunakan Bahasa Asing, karena sekolah di Sekolahan asing.  Menggunakan bahasa asing seperti saat mampir di Dhoha Qatar, anak ini sangat fasih sehingga Guide yang ada merasa kuwalahan melayani pertanyaan-pertanyaan bocah SMA kelas dua ini. Tetapi bagi Ando itu penyiksaan. 

Aneh tapi nyata, ternyata di Indonesia saat ini ada segelintir anak bangsa yang hidup di negerinya sendiri menjadi terasing. Kemakmuran yang dinikmati keluarga ini dan cita-cita keluarga untuk tampil mendunia seluruh keturunannya; ternyata membawa individu di dalam keluarga itu menuju kepada alam yang tereliminasi. Dan mereka sangat rindu akan suasana keindonesiaan yang sesungguhnya.

Sesampai di Kota Suci Makkah rombongan didampingi oleh seorang anak muda bernama Abdulrahman. Anak muda ini lahir tahun 2000, ibu dari Pamekasan Madura dan Ayah dari Kediri Jawa Timur, Ustad muda ini lahir dan besar di Tanah Suci, karena kedua orang tuanya adalah eks TKI yang sukses dan tidak ingin kembali ke Indonesia. Sehari-hari  anak muda ini menggunakan bahasa Arab. Bahasa Indonesia dia belajar dari sang Ayah, termasuk menulis Tulisan Bahasa Indonesia, sedangkan dari Ibu belajar Bahasa Madura. Ustad muda yang masih belajar di Aliyah ini sangat senang menjadi pemandu kami karena bisa memperlancar bahasa indonesia dan melatih menulis sendiri Bahasa Indonesia. Abdulrahman sangat mencintai Indonesia, dia bercita-cita membuka pesantren di Tanah Jawa tempat leluhur dari Ayahnya. Dia ingin sekali pada waktunya jika memiliki cukup biaya untuk melihat seperti apa Indonesia itu. Anak tunggal ini begitu bersemangat jika mendengar berita-berita Indonesia, bahkan  anak muda ini melalui media sosial, membuka jaringan pertemanan senasib untuk memikirkan bagaimana Indonesia kedepan dan peran apa yang bisa mereka lakukan.

Berkaca dari dua peristiwa di atas membuat hati ini menjadi miris sekaligus bangga. Ternyata anak-anak muda Indonesia masih banyak yang memiliki kecintaan terhadap negerinya.  Banyak anggapan selama ini bahwa anak-anak muda mengalami kemerosotan nilai-nilai keindonesiaan, ternyata tidaklah semua benar. Ada diantara mereka yang tetap gigih mempertahankan keindonesiaannya di dada, sekalipun berada  di negara lain bahkan lahir dan besar di negara lain.

Justru berbanding terbalik jika menyikapi keadaan masyarakat saat ini yang kebingungan menghadapi ulah sebagian tokoh masyarakat. Kondisi ini menjadi lebih rumit lagi karena ada tokoh nasional yang ikut mencari panggung, dengan cara memanfaatkan celah sosial yang terbentuk karena akibat dari adanya pusaran sosial. 

Kejernihan pemikiran kaum muda ini terkristalisasi pada kesepakatan Cibubur baru-baru ini yang tertuang sebagai “komitmen Kebangsaan” pada waktu Jambore Pramuka Mahasiswa (terlepas status hukum pelaksanaan kegiatan itu tidak dibahas di sini). Walaupun karena jiwa mudanya, maka dalam mengeksposenya sedikit kebablasan, sehingga membuat seorang tokoh nasional sedikit kebakaran jenggot. Namun esensinya adalah mereka lebih berfikir cerdas untuk tidak menerima warisan hutang dan SARA, kemudian mempertahankan Pancasila sebagai Filosofi bangsa. Bentuk kecintaan pada Tanah Air yang cerdas ini menunjukkan bahwa mereka masih sangat peduli akan NKRI sebagai Tanah Tumpah Darah nya.

Bonus demografi yang menghampiri Indonesia saat ini, seharusnya dipersiapkan dengan baik oleh pemerintah dengan membuat kebijakan yang konprehensif untuk generasi muda. Jika ini tidak dilakukan dengan segera, maka momen yang bagus ini akan hilang dengan sia-sia.  Karena merekalah nantinya yang akan memimpin Indonesia ini pada saat 2045, atau satu abad usia Indonesia Merdeka.  Takaran keberhasilan akan tampak di sana, karena ada semacam evaluasi sejarah yang akan berjalan. Terus atau tenggelam, pecah apa bersatu, adalah parameter yang tampak akan muncul di sana, dan semua itu adalah hasil kerja nyata kita selama ini. 

Menjadi pertanyaan tersisa sekarang  “bagaimana mengalirkan Pancasila ke urat nadi mereka” sehingga bangsa ini tetap utuh dalam bingkai  Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti yang kita sama-sama perjuangkan ini. 

Urusan mengalirkan Pancasila Keurat nadi mereka jangan disalahartikan mengagamakan Pancasila, akan tetapi sebagai peneguhan jati diri sebagai Orang Indonesia, itu yang dimaksud. Dengan demikian tugas generasi sekarang menanamkan Merah Putih dan Garuda Pancasila di dada setiap kaum muda Indonesia adalah kuwajiban suci yang harus terus menerus dilakukan, jika tidak ingin Indonesia ini terpecah atau tenggelam ditelan sejarah.

Bukti-bukti sejarah masa lalu telah banyak membuktikan ; justru kehancuran suatunegara itu terjadi antaralain adalah disumbang dari kesalahan pengelolaan generasi penerus, oleh para pendahulunya. Pengelolaan disini memiliki arti yang sagat luas; yaitu dari masalah pendidikan, penanaman ideologi, dan kesejahteraan dan kepastian masa depan. 

Para pemimpin  bangsa ini bisa saja memanggil mereka para diaspora untuk kembali pulang ke Tanah Air; persoalannya adalah apakah kita secara sosial sudah mempersiapkan tempat untuk mereka. Ruang-ruang sosial yang mereka harapkan adalah ruang-ruang yang dapat memberikan kontribusi nyata kepada negaranya. Tidak jarang mereka merasa teraasing di negerinya sendiri akibat dari ketidak siapan kita menerima mereka. Jago-Jago ini memerlukan arena gelanggang untuk berkiprah; oleh sebab itu ajakan pulang membangun negeri tidaklah cukup menjadi penjamin secara sosial bagi mereka. Harus ada tindakan nyata mereka akan diberdaayakan dimana, sebagai apa, dan apa hak dan kuwajibannya.

Semoga dalam menyikapi bonus demografi, Indonesia mampu menangkap moment ini untuk mempersiapkan generasi muda yang lebih baik lagi. Karena pada waktunya nanti anak-anak Indonesia secara fisik tidak ada di Indonesia, namun tautan cinta tanah air menjadikan mereka tertambat pada Ibu Pertiwi.