Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Selasa, 11 Desember 2018

MENGUSIR DAN TERUSIR

Oleh : Sudjarwo
Profesor Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP –Unila

Sindang Muara Jaya. Desa nelayan di muara kanal Pantai Timur Lampung, di sisi paling luar Kabupaten Mesuji itu menyimpan emosi. Dalam satu kunjungan supervisi penelitian, saya berinteraksi dekat dengan masyarakat, pekan lalu. Ada sejuta cerita tergelar dari berbagai kalangan. Ada keluhan sepanjang hayat tentang air yang tak layak pakai, ada kisah pilu tentang pengaruh negatif yang sulit dibendung, ada masalah ekonomi yang mendominasi. Tetapi, ada juga lakon-lakon indah di kampung padat dan cenderung kumuh, yang dihuni para peburu ikan liar di sungai yang mengalir deras, bagai air laut yang mereka geluti setiap hari.

Dari sekian banyak kisah masalah, kami hadir untuk sedikit menciptakan kanal agar tersalur dan aspirasi mereka terdengar. Dari camat, kepala desa, BPD, para pemuda, dan lainnya, ada saja cerita lucu tetapi berhikmah terselip yang kemudian saya tarik garis maknanya dalam tulisan ini.

Pak Camat Mesuji Timur dalam pengantarnya membuka tabir potensi desa ini. Juga soal kendala-kendala yang ada untuk mendapat solusi. Tak kurang, ia juga bercerita tentang masa lalu, tentang perjalanan hidup pribadinya yang pindah ke Mesuji melalui program transmigrasi lokal tahun 1990-an.

Dengan nada polos, Camat yang mantan guru SD itu mengatakan bahwa beliau adalah mantan perambah hutan di Tanggamus yang pernah diturunkan paksa pada tahun 1990, kemudian ditranslokkan ke Mesuji.

Mendengar itu, kenangan lama di benak saya mulai muncul. Yakni, saat saya menjadi tim penurunan perambah hutan pada waktu itu. Cara-cara militeristik dilakukan, karena saat itu melibatkan kesatuan angkatan darat yang bertugas di teritorial paling bawah. Letusan senjata keatas, sering dilakukan untuk memaksa perambah turun gunung. Bahkan juga disertai operasi “tidak sedap” yaitu merampas hasil panen perambah untuk kepentingan oknum.

Namun, operasi represif itu diberi ruang solusi. Para “korban” operasi penurunan perambah yang berbalut kesedihan dan air mata diberi opsi. Mereka ditawari pindah ke suatu tanah harapan sebagai transmigran lokal. Yakni, ke Mesuji, pinggir Lampung berbatasan dengan Sumatera Selatan.

Duka mereka dibalut terus dengan doa. Dengan fasilitas yang disediakan pemerintah, berupa rumah sederhana di tanah pekarangan dan dua hektare lahan pertanian, mereka dibimbing menjadi petani mandiri.

Dari sekian banyak transmigran, memang tidak semua bernasib baik. Ada yang tidak betah sehingga menjual rumah dan lahannya, lalu pulang ke negeri sengketa lama, tetapi banyak yang kemudian makmur dengan profesi taninya. Dan, tak sedikit yang dulu berurai air mata itu kemudian menapakkan jejak cemerlang dari “tanah baru” ini. Salah satunya adalah orang yang saat ini menjadi Camat Rawajitu Timur, Kabupaten Mesuji yang saya jumpai itu.

Selesai berpidato penulis langsung menjulurkan tangan dengan meminta maaf pada beliau; dan cerita masa lalupun mengalir. Konsoliasi perasaan kami berdua timbul dan senyum lebar bibir mengurai, cerita nostalgikpun menjadi perbincangan. Semua terasa indah dan menjadi sangat emosional; harubiru perasaan itu menyatu dalam jabatan tangan.

Atas peristiwa itu menunjukkan betapa Tuhan telah menciptakan rasa kemanusiaan begitu lekat di bumi Indonesia ini. Rasa persatuan untuk membangun negeri, mampu menenggelamkan kenangan pahit pribadi yang kemudian bersatu pada cita-cita bersama membangun negeri.

Dalam konteks situasi aktual saat ini, proses migrasi individual maupun komunal dari satu tempat ke tempat lain, dari golongan satu ke golongan lain adalah hal biasa. Demikian juga migrasi ideologis bukanlah sesuatu yang dinafikan, atau bahkan diharamkan. Karena tidak ada sesuatu yang abadi didunia ini kecuali perubahan. 

Peringatan Tuhan pada umatNya “ Di dunia ini janganlah kamu terlalu membenci pada sesuatu, karena pada waktunya akan kau cintai. Sebaliknya jangan kau mencintai sesuatu tanpa batas, karena pada waktunya akan kamu benci”. Adalah kalimat yang paling bijak untuk diingat sebagai penanda ketidak abadian di muka bumi ini.

Perpindahan dukung mendukung yang terjadi di masa sekarang, adalah sunattullah dari perjalanan skenario ketuhanan dalam proses menjalani perikehidupan. Menyinyiri perubahan di muka bumi ini adalah pekerjaan sia-sia yang selalu dilakukan manusia. Ada waktunya garis lurus itu diperlukan, tetapi bukan berarti garis yang melengkung dan mungkin berputar-putar itu tidak indah. Tinggal dari sudut mana kita memandangnya, kemudian memahaminya sebagai peristiwa.

Kita tidak mengira, semula satu daerah yang tertutup, terisolasi, dan terkesan angker, sekarang berubah drastis, menjadi tanah harapan bagi semua orang. Atau sebaliknya ada satu daerah yang semula menjadi tanah harapan, gemah ripah loh jinawi; kemudian ditinggalkan menjadi daerah yang “mati angin”.

Demikian juga perilaku manusia; semula ada tokoh yang dipuja bak dewata agung dari kayangan; namun kemudian tercampakkan karena sesuatu hal. Atau sebaliknya semula tidak dikenal siapa dia, kemudian karena sesuatu hal muncul bertriwikrama; menjadi begitu terkenal luar biasa, dipuja bak raja dari negeri entahberantah.

Oleh sebab itu jangalah kita berseteru manakala kita tidak berpadu; namun juga janganlah kita terlalu bersuka saat kita berikrar bersama. Karena ketidak abadian itu milik dunia dan isinya, sedangkan yang paling dekat dengan kita bukanlah saudara sanak famili keluarga, akan tetapi adalah kematian.

Mari kita hiasi hidup ini dengan mozaik keberagaman, dan mari kita sudahi babak kehidupan ini dengan perdamaian. Berdamai dengan sekitar, berdamai dengan sesama, berdamai dengan diri sendiri. Walaupun yang terakhir tadi sangat berat; namun jika kita berhasil, maka kita akan menjadi orang yang berjiwa merdeka.

MIMPI SEBELUM TIDUR



Oleh : Sudjarwo
Profesor Ilmu-Ilmu Sosial FKIP Unila
Pagi itu ada gagasan yang melintas; bagaimana jaman sekarang orang mampu mendramatisir suatu keadaan yang tidak pernah terjadi, menjadi seolah-olah terjadi. Kemampuan untuk seperti ini mengingatkan pada cerita yang dikarang oleh Walmiki, hanya Prabu Batharakresna yang mampu melakukannya;
Sahdan pada perang besar Barathayudha pihak Korawa melantik Pendeta Dhorna untuk maju sebagai Panglima Perang. Tentu saja pihak Pandawa dibuat kacaubalau; baik dalam strategi maupun dalam moral. Karena mereka tahu persis bagaimana kesaktian Sang Dhorna; beliau ahli memanah, bahkan jadi guru mereka. Beliau juga ahli strategi perang yang luar biasa, dan mereka semua pernah menjadi murid beliau dalam belajar strategi perang ini. Saat itu yang terpikir hanya mereka akan menjemput ajal secara masal. Medan Kurusetra sebagai medan peperangan akan mereka tambah dengan mayat prajurit maupun panglima.

MBAH GURU DAN MBAH GOOGLE



Oleh : Sudjarwo
Profesor ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila
Ditengah-tengah memimpin diskusi Kuliah Pascasarjana Pagi itu telpon tangan bergetar; ada nomor tidak dikenal masuk, agak sedikit ragu untuk mengankatnya, karena jaman sekarang kehatihatian adalah cara yang paling baik, namun untuk ini naluri berkata lain sambunganpun terhubung; ternyata diseberang sana sohib jurnalis mengucapkan salam Selamat Hari Guru. Bersamaan itu pula ada rombongan mahasiswa Pascasarjana dari Program Studi yang mengikuti matakuliah Filsafat Ilmu maju kemuka membawa buket bunga dan satu buah Choklat merek tertentu memberikan dan berucap Selamat Hari Guru sang Profesor.

BELUM-BELUM SUDAH


Oleh : Sudjarwo
Profesor Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila

Terinspirasi dari Novel Karya Faizal Odang “Tiba Sebelum Berangkat” yang sedang naik daun itu, jadi teringat seorang teman Ketua Program Studi Pascasarjana yang juga pernah menggunakan istilah Belum-Belum Kok Sudah; dengan memberikan ulasan betapa banyak peristiwa sekarang yang belum dimulai sudah keburu diakhiri. Yang lebih parah lagi ialah sudah berakhir sebelum mulai. Hal ini tidak tanggung-tanggung dilakukan oleh sosok tokoh nasional yang tega membuat berita palsu dengan membuat dirinya operasi muka palsu; dijadikan treding palsu; ironis lagi kepalsuan ini dipercaya keasliannya sebagai kepalsuan sejati; menjadi lebih gila lagi hari itu akan diusulkan menjadi hari anti hoax.

Kamis, 27 September 2018

MEMORIAL CATATAN KECIL Buat Pak ADEHAM


MEMORIAL  CATATAN KECIL Buat Pak ADEHAM
Oleh: Prof.Dr.Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila
Siang hari pukul 14.00 bunyi alat komunikasi dan terbaca dengan jelas bahwa pada hari Rabu ini tadi pukul 13.50 telah berpulang kerahmatullah Hi.Adeham bin Hi.Andok Asisten II Sekdaprov Lampung di Rumah Sakit Medistra Jakarta. Kilasan peristiwa masa lalu kembali membayang bersama beliau tatkala masih sebagai staf Biro Sosial Politik di Pemerintah Daerah. Semua perijinan penelitian harus melalui meja beliau. Sekalipun beliau alumni FKIP Unila; namun penulis tetap mengambil jarak untuk kepentingan dinas. Tetapi apa yang terjadi; beliau memperlakukan menggunakan pendekatan humanis; bahkan sejak itu kami jarang menggunakan bahasa resmi, tetapi bahasa daerah atau bahasa Ibu.
Pada waktu beliau menjadi Kepala Dinas yang terkenal panas kursinya, justru beliau menemui penulis mengutarakan maksudnya ingin melanjutkan ke Pascasarjana Unila, dengan permohonan untuk tidak diberi perlakuan istimewa. Ini merupakan sesuatu yang aneh, biasanya pejabat tinggi didaerah ini meminta perlakuan khusus untuk hal-hal tertentu. Beliau mengatakan ingin ikut test akademik, wawancara dan sebagainya beliau ikuti sebagaimana layaknya calon mahasiswa lainnya. Bahkan setelah diterima beliau ikut Masa Orientasi Studi Mahasiswa baru yang di Pascasarjana dikenal dengan PSAP, hadir dan mengikuti semua rangkaian kegiatan dari awal sampai akhir. Kebetulan beliau kuliah bersama istri; maka tampak sekali kekompakan pasangan ini dalam segala hal.

MERAWAT KEINDONESIAAN


 MERAWAT  KEINDONESIAAN
Oleh : Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila

Idulfitri baru saja berlalu; hingar bingar publik secara berangsur menuju pada rutinitas kembali, dengan membawa sejuta kenangan dan harapan. Rajut-rajut silaturahmi yang terbangun selama mudik lebaran seolah menjadi enargi baru untuk melintasi hidup kedepan. Upaya bersusah pergi pulang menuju kampung halaman untuk jumpa Orang Tua dan atau Sanak Saudara; memiliki seni tersendiri; yang semua itu tidak dapat diwakili dengan deretan kalimat; akan tetapi deretan rasa-lah yang mampu menguak misteri ini.
Kepenatan seolah terobati dengan perjumpaan bersama keluarga, sohib karib, sedulur salembur, handaitolan dan kerabat. Cerita dibuka dari menanyakan kabar, kemudian jumlah anak cucu, pekerjaan, dimana anak-anak sekarang, dan terakhir pertanyaan pada pilihan; apakah itu Bupati/Kepala Daerah, sampai Presiden. Seolah mereka adalah politikus yang mengupas tuntas keadaan perpolitikan Indonesia saat ini. Hal ini diteguhkan lagi dengan ditebarkannya Spanduk-Spanduk yang tidak bebas nilai; sehingga areal mudik secara sosial menjadi wilayah baru untuk menarik garis pembeda antarkita dan kalian. Sampai mudik gratis yang selama ini merupakan tangungjawab sosial perusahaan, berubah menjadi tangung jawab politik dari golongan terhadap kontestan, walaupun dibungkus dengan kebersamaan.


Jika dibandingkan era sebelum 1998; maka kemajuan percaturan ini luar biasa majunya; bahkan tidak jarang komentar-komentar mereka melampaui komentator nasional. Kenyinyiran mereka ternyata juga dapat melebihi kelas wahid penyinyir yang ada di Senayan Jakarta. Dan semua itu mereka sampaikan secara lugas gamblang; bahkan tidak jarang sedikit diberi muatan emosi. Berbanding terbalik dengan era sebelum 98. Era masa gelap itu jangan coba-coba mengemukakan perbedaan pendapat dengan pemerintahan yang ada; jika anda ingin selamat; karena dimana-mana ada intel melayu yang disusupkan disetiap perhelatan apapun. Atas nama melindungi keamanan negara; maka telinga negara disebar dimana-mana oleh yang mbau rekso destrik. Nama operasi bisa bermacam-macam dari Operasi Senyap sampai Operasi Mawar; semua pernah hidup dimuka bumi Nusantara ini. Bahkan jejak-jejak itu sampai kini sering terlihat samar dari kejauhan dengan ciri Ada Baunya tetapi Tidak Ada Wujudnya.  Bahkan para pelakunya sekarang ada yang masih mampu berdiri tegak di muka bumi pertiwi ini seolah pahlawan yang tidak punya dosa masa lalu, sekalipun sejarah masih mencium aroma bau anyir darah ditangannya. Apakah cara-cara ini masih diteruskan; jawabnnya ada di hati kita masing-masing.
Dua puluh tahun sudah berlalu; mereka yang lahir di tahun 1998, sekarang sudah berada ditingkat  Perguruan Tinggi; bahkan mungkin ada yang sudah tamat dan bekerja memiliki posisi strategis di negeri ini. Cerita sejarah itu mereka peroleh sepenggal-sepenggal dari Guru Sejarah di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas; serta sedikit di Perguruan Tinggi.  Mereka harus menghafal untuk mengejar belas kasihan Guru/Dosen sehingga memberi nilai Baik. Mereka tidak terlibat dan atau merasakan beban emosi saat itu; mereka hanya terbebani Kognisi, tanpa Afeksi, apalagi Konasi. Mereka hanya mengejar nilai akademik tertinggi pada laporan kemajuan belajarnya, sebagai sarana laporan pada orang tua atau memperpanjang bea siswa.
Saat ini kita memiliki Amunisi Jaman yang karakteristiknya antara lain seperti dideskripsikan di atas. Merekalah yang nantinya akan menerima tongkat estapet kebangsaan di tahun 2030. Dengan sejumlah kemudahan yang dimiliki namun juga dihadapkan dengan sejuta tantangan internal dan eksternal berkebangsaan yang kita tinggalkan kepada mereka.
Masa transisi generasi ini merupakan sunatullah yang harus dilalui dan dijalankan oleh bangsa manapun di dunia ini; tidak terkecuali apakah dia negara besar seperti China, Amerika, Rusia, dan India. Atau negara negara kecil seperti Kepulauan Salomon di tengah Samudra Pasifik. Semua harus merasakan Goncangan Sosial seperti ini. Hanya ada yang mereka siap dan sukses; tetapi tidak sedikit yang gagal melampaunya.
Jika kita menyimak sejarah bangsa-bangsa didunia pada Abad 20 yang lalu; bagaimana negara-negara Balkan pecah berkeping, bagaimana Yugoslavia terburai, Uni Sovyet berserak. Namun kita juga menyaksikan bagaimana Negara-negara Bagian di Amerika masih bangga dengan Slogan “saya Amerika” nya terikat dalam United State, yang usianya sudah lebih dari satu abad. India tetap bulat walau memiliki negara bagian yang beragam. China yang masih save sekalipun tirai bambunya sudah roboh. Bersamaan dengan itu saat ini “musim semi” di Timur Tengah membawa kekhawatiran sejumlah negara di kawasan itu. Yordania yang Chaos, Suriah yang bergejolah, Irak yang bergerak, Iran yang sedang meradang; semua menunjukkan bagaimana Tsunami Sosial sedang melanda di beberapa kawasan dunia.
Negera-negara itu memiliki metoda dan cara sendiri-sendiri dalam merawat keberlanjutan bangsanya. Kebhihinekaan yang mereka miliki; sekalipun mungkin keberagaman yang ekstrim ada di tengah mereka, namun mereka berusaha melampaui titik titik kritis bahkan krusial dari jamannya. Tidak jarang juga disertai dengan pilihan pahit yaitu berperang antarmereka sendiri; sementara negara lain menjual senjata untuk kepentingan bakubunuh tersebut.
Pertanyaannya sekarang bagaimana dengan kita; apakah kita masih mampu terus menerus  mendengungkan ditelinga anak-anak bangsa ini adanya Sumpah Pemuda Tahun 1928; Pekik Kemerdekaan 1945, Pekik Allahuakbar-nya Arek-Arek Suroboyo pada peristiwa 10 November, dan masih banyak lagi pekik heroik lainnya.  Juga seperti halnya Sumpah Palapa-nya Mahapatih Gajah Mada dijaman Majapahit yang melanggengkan negara itu sampai berusia 600 tahun lebih. Bagaimana upaya yang harus kita lakukan agar semangat Proklamasi 1945 itu tetap menjadi aliran darah manusia merdeka yang bernama  Indonesia.
Tugas Jaman seperti di atas tidak bisa kita lakukan hanya satu malam seperti kesaktian Sangkuriang menjadikan Tangkuban Perahu, atau Bandungbondowoso dalam menciptakan seribu Candi. Semua harus melalui proses, yang diawali dari perencanaan, aksi, dan evaluasi secara terus menerus disetiap lini kehidupan bangsa ini.
Upaya merajut kemudian mengikat semangat dan jiwa Keindonesiaan dalam Sabuk Nusantara bukanlah hanya tugas negara terhadap warganegaranya semata; akan tetapi juga tugas sesama warganegara dalam upaya semangat kebersamaan serta keberagaman dalam bernegara; menjadikan tali pengikat sabuk itu menjadi kokoh. Siapapun pemimpin Indonesia saat ini dan kedepan; tugas paling berat adalah merawat keindonesiaan. Pembangunan yang bersifat fisik siapapun pemimpinnya bisa melakukan, namun membangun kemudian merawat, menjaga keindonesiaan tidaklah semudah yang diucapkan. Karena setiap generasi memiliki tantangan tersendiri, dan memiliki aura jaman yang juga berbeda dengan masa sebelum ataupun masa kedepannya.
Sejarah telah mencatat era Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin hanya cocok untuk masa itu, setelah pergantian generasi dan pergantian tantangan; maka era P4 di masa Soeharto merupakan jawaban untuk masanya. Setelah itu tampaknya kita terlena dengan tugas yang bersifat fisik dan lahiriah, sementara tugas merawat keindonesiaan sedikit terabaikan. Seolah tugas itu selesai diruangan kelas yang digelar oleh para guru. Munculnya militansi baru yang berbaju lama membuat kita semua terhenyak atas kesalahan bersama yang kita perbuat. Walaupun untuk mengakui kesalahan ini hampir semua kita melemparnya kepada pundak pemerintah sebagai rezim; bukan kepada kita semua sebagai bangsa.
Tampaknya sekarang kita memerlukan formula baru untuk menjawab semua itu. Bagaimana kita menjembatani yang benci tetap mencaci, yang menyukai tetap memuji; pada satu bingkai nasionalisme keindonesiaan. Sehingga kebencian tidak menjadikan kehancuran, kecintaan tidak menjadikan kebutaan. Pekerjaan merajut perbedaan ini bukan tanpa resiko; karena jika gagal; tarohannya adalah perpecahan yang bersifat horizontal dan masif. Tetapi jika kita berhasil melakukannnya sebagai bangsa, maka kita mampu berdiri tegak bersama bangsa-bangsa lain dengan lantang mampu mengatakan “ I am Indonesia”.
Tidak ada kata terlambat dalam berbuat untuk  negeri ini; dengan waktu yang ada perlu dipikirkan melalui kelembagaan yang ada secara formal dan nonformal untuk merumuskan suatu tindakan, cara atau apapun namanya; guna menyusun konsep yang aplikasinya adalah merawat keindonesiaan.
Bentuk-bentuk doktrinal dalam batas-batas tertentu mungkin masih diperlukan, akan tetapi bukan merupakan cara satu-satunya. Justru yang diperlukan adalah instrumen sosial yang secara akademis dapat dipertangungjawabkan dan mampu menjangkau semua lapisan yang ada dalam masyarakat, sesuai dengan kebutuhan dan tantangan jamannya.
Kerja konfregensif serupa ini tentunya perlu melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang ada dalam masyarakat; sehingga tidak ada yang merasa ditinggalkan dalam membangun negeri ini. Materinya sudah ada; yang diperlukan sekarang bagaimana cara agar materi tadi menjadi teraplikasi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Keterlibatan orang-orang muda jamannya tampak perlu dilakukan; karena internalisasi nilai-nilai luhur milik bangsa ini bukan hanya dominasi generasi “Old”, akan tetapi lebih pada penggunanya yaitu generasi “Now”; Oleh karena itu mendengarkan aspirasi mereka dengan cara duduk bersama dengan mereka; adalah suatu keharusan. Generasi ini memiliki kelebihan dari generasi sebelumnya yaitu pada penguasaan teknologi digital, serta keterampilan komunikasi ujung jari yang mereka miliki (komunikasi senyap); membuat bahan internalisasi nilai harus sesuai dengan tuntutan mereka.
Sebagai uji coba sosial dapat kita lihat pada peristiwa 27 Juni 2018 ini yang merupakan Pemilihan Umum Kepala Daerah serentak di Indonesia; Keterlibatan generasi Now mulai menunjukkan identitasnya. Mereka tidak suka relay-relay dengan berpanas ria meneriakkan yel-yel mendukung calonnya, seperti kampanye jaman Old. Mereka sekarang senyap tidak terlihat; namun gawai mereka bergerak terus mewartakan apa yang terjadi disekitar mereka dan membagikannya keseluruh dunia dalam tempo sekejab.
Masa yang berciri senyap ini bisa berbahaya jika tidak ada patron yang mengawal mereka melalaui informasi-informasi kekinian yang jujur. Kecenderungan menghindari konflik politik yang bersifat terbuka pada mereka begitu besar. Oleh sebab itu merawat keindonesiaan melalui gawai mereka pada musim seperti sekarang ini amat mendesak diperlukan, sebagai suatu upaya rekayasa sosial yang bermartabat dan beradab.
Rekayasa sosial serupa ini tentu harus dikaji masak-masak dari segala segi; baik akademik (seperti disinggung di atas), agama, norma sosial umum, aspek politis dan lain sebagainya. Yang juga tidak kalah penting dan perlu diingat bahwa keanekaragaman indonesia merupakan modal dasar dalam merawat keindonesiaan. Kalau tidak kita siapa lagi, kalau tidak sekarang kapan lagi, jargon ini untuk masalah merawat keindonesiaan saat ini masih relevan.



SEMAR NGEJOWANTAH


SEMAR  NGEJOWANTAH
Oleh : Sudjarwo
Guru Besar FKIP Universitas Lampung
Semar adalah tokoh pewayangan rekaan para winasis nusantara jaman dulu; sepotong referensi menyebutkan bahwa salah satu tugas dari Semar adalah mencari bibit bibit unggul untuk memimpin umat manusia. Dalam kitab Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa Semar terlahir dengan nama Sang Hyang Ismoyo, putra Sang Hyang Tunggal, ditugaskan turun ke bumi menjadi Guru Sejati; yaitu gurunya para Satria dan para Raja.
Semar Bodronoyo pun ngejowantah (turun ke bumi). Ditampilkan sebagai sosok yang sangat arif dan bijaksana. Ia dikenal sebagai Kiai Lurah Semar Bodronoyo. Menjadi bapak dari anak-anak angkatnya dalam Punakawan, yaitu Gareng, Petruk dan Bagong. Falsafat hidup yang Semar ajarkan adalah Ojo keminter mundak keblinger, Ojo cidro mundak ciloko  terjemahan bebasnya adalah Jangan merasa paling pandai agar tak salah arah, Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka.
Tokoh imajinatif ini dalam dunia pewayangan menjadi tokoh sentral yang selalu disegani sekaligus ditakuti. Baik pewayangan gagrak (model) Yogjakarta, Surakarta, Banyumasan, Surabayan, maupun Wayang Golek Sunda, semua menokohkan Semar sebagai “dewa berbadan manusia”; oleh karena itu sifat-sifat kedewaan melekat pada dirinya.
Apa yang terkandung dalam ajaran budi yang digagas para Pujangga Jawa (baca: Nusantara) saat itu adalah ajaran luhur untuk manusia agar selalu mengutamakan berbuat baik. Perbuatan baik seperti tersebut dimaknai dengan tidak merugikan orang lain.  Tuntutan ini menjadi lebih tinggi lagi jika yang bersangkutan merupakan pemimpin dari satu kaum; atau organisasi tertentu; apalagi pimpinan negara.
Persoalannya ialah bagaimana dan dengan cara apa mengejawantahkan ajaran tadi pada tatanan praksis; terutama dengan kondisi dunia yang sudah tanpa sekat ini. Mengejawantahkan dalam pengertian luas membumikan, adalah pekerjaan filosofis yang tidak mudah menanamkannya, mengimplementasikan; bahkan mewujudkan menjadi kebiasaan hidup.

(PRESIDEN-PRESIDEN)- AN.


 (PRESIDEN-PRESIDEN)- AN.
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila
Sekitar tahun enampuluhan pada waktu  penulis sedang Sekolah di Kota Lahat-Sumatera Selatan,  masa itu Kota Lahat dikenal sebagai Kota Pelajar, karena semua jenjang pendidikan dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi ada di sana. Sehingga kota itu sangat ramai didatangi para pelajar dari kota kabupaten sekitar; seperti Muaraenim, Lubuklinggau, Pagaralam, Manna, dan lainnya, walaupun Transportasi belum selancar sekarang, sebagai contoh teman yang datang dari Manna Bengkulu Selatan harus jalan kaki dua hari untuk mencapai Pagar Alam, baru kemudian naik Otto menuju lahat.  Oleh karena itu untuk dapat sekolah kekota ini bukan hal yang mudah, di samping ekonomi harus cukup, juga harus memiliki tekat untuk maju, menurut ukuran jaman itu.
Pada masa libur atau ada tanggal merah, siswa SLTA biasa tidak pulang kampung, dan pada malam hari pergi ke desa diseberang Sungai Lematang melewati jembatan goyang yang panjang; untuk melakukan kegiatan “begare” ; yaitu mengunjungi rumah gadis-gadis dusun beramai-ramai untuk saling kenal, tentunya harus seijin Kepala Bujang yang kemudian biasanya melakukan permainan Presiden-Presidenan ditempat yang disepakati, biasanya di salah satu rumah gadis dusun yang cukup berada menurut ukuran setempat.

PEMENANG atau PECUNDANG


PEMENANG atau PECUNDANG
Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila
Tertulis dalam Kitab Mahabarata tatkala perang Baratayudha Basukarna atau populer dengan nama Prabu Karna; sebagai Satria anak dewa Surya dengan Ibu Dewi Kunthi yang juga Ibunya Para Pandawa; sebelum Perang Besar Baratayudha; terlibat pembicaraan keras bersama Prabu Kresna yang dikenal sebagai arsiteknya perang besar itu, sesaat setelah gagal menjadi Duta Pamungkas untuk mengembalikan Hastinapura ketangan Pandawa tanpa peperangan. Dalam dialog kedua Satria Agung itu Prabu Kresna menawarkan kepada Karna untuk bergabung ke Pandawa; walaupun dalam hati beliau sudah mengetahui bahwa itu tidak mungkin; karena dalam Kitab Jitabsara Karna akan mati di peperangan terkena Panah Pasopatinya Harjuna. Kresna hanya ingin mengukur sejauh mana tekad bulat Karna untuk maju perang sebagai Senapati Agung. Ternyata jawaban Karna sungguh luar biasa; beliau mengatakan; Biarlah Aku menjadi Pecundang bukan Pemenang, asalkan Perang Baratayudha ini jadi berlangsung Karena perang itulah membuat kedamaian akan terjadi.

Rabu, 26 September 2018

KEMARUK


KEMARUK
Oleh: Sudjarwo
Profesor  Ilmu-Ilmu Sosial pada FKIP Unila
Pagi itu saya disodori Singkong Goreng oleh pramuwisma gedung; sambil berkata bahwa Singkong itu adalah hasil dari tanaman yang dianjurkan Bapak guna memanfaatkan areal Gedung Perkuliahan. Ternyata tidak terasa anjuran sambil lalu enam bulan yang lampau saat melepas jabatan Direktur, itu kini telah menghasilkan. Karena sedang jenuh berfikir sambil menulis dari pagi buta tadi, iseng Singkong yang tersaji di piring berserta Teh Manis panas saya foto dan di bagikan kepada sohib-sohib terdekat. Dari Wakil Rektor sampai Asisten Ahli; bahkan Sohib seorang Wartawan senior.
Tanpa diduga wartawan senior ini memberi komentar yang cerdas sesuai dengan gelarnya sebagai Pandito Atas Angin (karena kepandaiannya menulis sesuatu dari berbagai sisi-bahkan kontroversi); bahwa makan singkong goreng itu enaknya saat kemaruk. Sudah lama sekali tidak mendengar kata atau akronim itu diucapkan; karena kata “kemaruk” dalam bahasa Jawa itu memiliki makna atau konotasi  dua sisi yang berbeda, bahkan tidak jarang justru berlawanan maknanya.

BOOMM (lagi)


BOOMM  (lagi)
Oleh Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila

Beberapa wktu lalu masyarakat Indonesia di guncang peristiwa dahsyat dengan adanya  peristiwa “pemberontakan tahanan “di Markas Brimob Kelapa Dua Jakarta, dan disusul dengan ledakan yang lebih mengerikan di Kota Pahlawan Surabaya; kemudian peristiwa Riau. Berita ini menjadi treding di tinkat dunia; hampir semua media warta di jagad ini memberitakannya. Indonesia yang selama ini dikenal dengan Negara yang aman karena toleran, tetapi akhir-akhir ini seolah terusik dengan peristiwa yang tidak diinginkan.
Tampaknya bahwa kedukaan yang mendalam sedang melanda Indonesia. Putra-putra terbaiknya dieksekusi dirumah sendiri, kemudian ada yang melanjutkan dengan meledakkan diri agar ledakannya membawa korban orang lain yang tidak ada hubungan apapun dengan dirinya. Bahkan apa dosa merekapun tidak ada yang tau sehingga harus menanggung ikut diledakkan.

DI DEPAN TEMBOK DI BELAKANG JURANG


DI DEPAN TEMBOK DI BELAKANG JURANG
Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila                                                                          
                                                                                                                                                                                                                                                                                            
Pada satu episode perang Alengkadiraja; Prabu Dasamuka sedang gundahgulana karena semua Senapati Perang terbaiknya habis ludes sirna ditangan senapati Prabu Rama dari Ayodya yang hanya wujud kera yaitu Hanoman.  Ditengah kerisauannya Sang Prabu ingat akan adiknya seorang raksasa yang sedang bertapa tidur yaitu Kumbakarna. Beliau bergegas menjumpai sang adik dengan membawa makanan lezat kesukaannya. Singkat kata Sang Kumbakarna terbangun dan menyantap semua makanan yang dibawa oleh abangnya. Setelah itu beliau diminta maju perang melawan Prabu Ramawijaya. Kumbakarna saat itu seperti berdiri dimukanya ada tembok mau surut, ternyata dibelakangnya ada jurang. Bagaimana tidak; jika Kumbakarna maju perang membela abangnya; berarti dia membela keangkaramurkaan; sedangkan itu bukan sifat satria yang dia inginkan; sebaliknya jika dia tidak mau, berarti Kumbakarna satria penakut karena menolak untuk berperang membela negaranya yang diinjak-injak oleh bangsa lain.
Ilustrasi di atas menunjukkan bagaimana seseorang dihadapkan pada pilihan sangat sulit, pada satu sisi  ada blok yang menghalang semntara jika mundur, akan hancur. Kondisi ini cukup banyak dihadapi oleh calon kepala daerah yang akan maju bertarung pada medan laga pemilihan kepala daerah. Menjadi ironis bahwa mereka semua tersandung dengan “didatangi KPK tanpa undangan” dan menjadi menyedihkan hampir semua terkena operasi tangkap tangan, sehingga baju warna oranye yang tidak mereka pesan sebelumnya, harus mereka pakai.

BEDA PILIHAN, GURU DITENDANG


 BEDA PILIHAN, GURU DITENDANG
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila
Tulisan ini tidak bermaksud memihak atau berpihak kepada kelompok atau golongan apalagi partai. Tetapi ingin mengungkapkan rasa keprihatinan terhadap teman seprofesi yaitu GURU; oleh karena itu sebelum membaca artikel ini mohon dijauhkan perasaan kebencian terhadap perbedaan; tetapi berfikir positif bahwa perbedaan itu adalah sunatullah.
Menilik profesi yang satu ini memang unik dan seksi; disebut unik karena mulai beberapa tahun terakhir untuk menjadi guru tidaklah mudah; sekalipun Sarjana Pendidikan; tidak otomatis bisa langsung bisa berdiri dimuka kelas dengan menyandang status guru. Karena untuk menyandang status guru, seseorang harus melalui Pendidikan Profesi Guru, atau lebih dikenal dengan sebutan PPG.  Untuk masuk ke pendidikan Profesi Guru tidak hanya dimonopoli oleh Sarjana Pendidikan, Sarjanan Non Kependidikan pun dapat masuk ke Pendidikan Profesi Guru, tentu dengan syarat-syarat tertentu.  

Kamis, 05 April 2018

MULUT .... MU ..... KEHORMATAN ......... MU

MULUT .... MU ..... KEHORMATAN ......... MU

Oleh :
Sudjarwo Guru Besar FKIP Universitas  Lampung


Sahdan pada satu episode Baratayudha; Sri Kresna melaksanakan tugas menjadi Duta Pamungkas dari Kerajaan Amarta menuju Hastinapura untuk melakukan Perundingan membicarakan Pengembalian Hastinapura ke tangan Pandawa, tanpa peperangan. Walaupun Sri Kresna sudah mengetahui bahwa hal itu mustahil untuk terlaksana; namun sebagai seorang kesatria yang sekaligus raja, mengemban tugas sebagai “Duta Ning Noto” beliau laksanakan dengan baik.Pada Pasewakan Agung di Negara Hastinapura sudah lengkap semua Petinggi dan para Pandito hadir untuk menyaksikan peristiwa besar yang akan terjadi. Ringkas cerita setelah Sri Kresna mengemukakan tujuan kedatangannya; para hadirin terbelah menjadi dua. Kelompok yang menyatakan setuju untuk segera diserahkan, kelompok ini dipelopori oleh Resi Bisma. Kelompok yang menyatakan tidak setuju dipelopori oleh Patih Sengkuni. Bahkan pada acara puncaknya Prabu Duryudana sebagai Raja Hastinapura dengan seratus saudaranya ditambah Patih Sengkuni meninggalkan acara perundingan yang istilah kerennya Walk Out.

Selasa, 27 Februari 2018

CATATAN KECIL BUAT ADEHAM

Siang hari pukul 14.00 bunyi alat komunikasi dan terbaca dengan jelas bahwa pada hari Rabu ini tadi pukul 13.50 telah berpulang kerahmatullah Hi.Adeham bin Hi.Andok Asisten II Sekdaprov Lampung di Rumah Sakit Medistra Jakarta. Kilasan peristiwa masa lalu kembali membayang bersama beliau tatkala masih sebagai staf Biro Sosial Politik di Pemerintah Daerah. Semua perijinan penelitian harus melalui meja beliau. Sekalipun beliau alumni FKIP Unila; namun penulis tetap mengambil jarak untuk kepentingan dinas. Tetapi apa yang terjadi; beliau memperlakukan menggunakan pendekatan humanis; bahkan sejak itu kami jarang menggunakan bahasa resmi, tetapi bahasa daerah atau bahasa Ibu.

Pada waktu beliau menjadi Kepala Dinas yang terkenal panas kursinya, justru beliau menemui penulis mengutarakan maksudnya ingin melanjutkan ke Pascasarjana Unila, dengan permohonan untuk tidak diberi perlakuan istimewa. Ini merupakan sesuatu yang aneh, biasanya pejabat tinggi didaerah ini meminta perlakuan khusus untuk hal-hal tertentu. Beliau mengatakan ingin ikut test akademik, wawancara dan sebagainya beliau ikuti sebagaimana layaknya calon mahasiswa lainnya. Bahkan setelah diterima beliau ikut Masa Orientasi Studi Mahasiswa baru yang di Pascasarjana dikenal dengan PSAP, hadir dan mengikuti semua rangkaian kegiatan dari awal sampai akhir. Kebetulan beliau kuliah bersama istri; maka tampak sekali kekompakan pasangan ini dalam segala hal.

Demikian juga dengan penyelesaian tugas, termasuk kehadiran, beliau sangat patuh dengan waktu; oleh sebab itu mahasiswa lain seangkatannya menjadi malu hati; seorang Kepala Dinas yang begitu luar biasa kesibukannya masih bisa hadir tepat waktu, melakukan presentasi tugas dan lain sebaginya. Sesuatu yang menarik lagi beliau datang ke Kampus sangat jarang sekali diantar sopir; lebih banyak beliau mengendarai sendiri kendaraannya. Dengan ketekunan ini tidak berkelebihan jika beliau dapat menyelesaikan studinya tepat waktu dengan Indek Prestasi Sangat Memuaskan.

Sisi humanis yang lain yang beliau tampilkan; setiap ada undangan keluarga dengan tidak memandang status sosial, beliau akan hadir dan itupun tidak minta prioritas. Bahkan pada waktu acara pemberian ucapan selamat, beliau ikut baris dengan tertib dan sangat jarang mau diberi perlakuan istimewa untuk mendahului barisan; apalagi jika dilihat didalam barisan itu ada gurunya, seniornya, maka bisa dikatakan pasti beliau akan menolak perlakuan khusus itu.
Sisi lain dari kehidupan beliau ialah atensi yang besar terhadap beban orang lain yang meminta bantuan. Beliau akan dengan sungguh-sungguh menyimak paparan orang lain dihadapannya yang memohon bantuan. Jika persoalan itu tidak dalam jangkauannya; maka beliau akan memediasi pihak lain agar bisa membantu. Hal ini tidak dibiarkan saat itu saja, akan tetapi beliau terus memantau sampai persoalan selesai. Beliau mau ditemui di mana saja termasuk di Kantor; namun harap maklum jika tidak ada perjanjian untuk jumpa, beliau agak sulit ditemui karena memang jadwal beliau begitu padat, sampai-sampai kendaraan dinas beliau bak kantor berjalan; dari keperluan dinas sampai keperluan pribadi beliau siapkan di dalam kendaraan.

Ada kebiasaan lain yang beliau lakukan yaitu senang mendatangi pengajian. Jika banyak pejabat menghadiri atau menyelenggarakan pengajian diberi muatan politik; hal itu tidak berlaku buat Adeham. Adeham sangat relijius; tidak jarang dalam Kunjungan Kerja di daerah beliau didaulat untuk menjadi imam sholat atau khotib jumat; dengan senang hati beliau lakukan. Suara khas beliau yang sedikit parau tapi lembut itu dalam melafaskan kalimah kalimah keilahian sangat enak didengar, dan kekhasan khotbah beliau tidak pernah menjelekkan pihak lain, siapapun dia.

Ada satu segmen kehidupan; tatkala bertemu Adeham di Bandara Soekarno-Hatta yang sama-sama ingin pulang ke Lampung; pesawat pada waktu itu karena alasan cuaca terpaka keberangkatannya tertunda. Waktu yang cukup luang itu bukan beliau habiskan diruang khusus yang bisa dimanfaatkan oleh pejabat seperti beliau. Ternyata Adeham tetap memilih berbaur bersama masyarakat; waktu hal itu ditanyakan, ternyata jawabannya sangat menyentuh......biarlah di sini saja....biar sama-sama merasakan bagaimana capeknya menunggu...... Dan hal ini diucapkan dengan serius tanpa dibuat-buat atau istilah sekarang pencitraan. Beliau tidak menunjukkan roman muka kesal atau kecewa; bahkan cenderung dingin-dingin saja.

Sosok Adeham dari sisi lain; suatu peristiwa beliau harus mengikuti apel bulanan; karena sesuatu hal beliau tidak membawa pakaian seragam untuk hari itu. Dari pada salah kostum Adeham memilih tidak ikut upacara, dan yang seharusnya dia bisa memarahi Sopir kendaraan dinas yang selama ini mengingatkannya, tetapi hari itu lupa. Dengan santai beliau mengatakan bahwa Sopir beliau masih manusia yang juga punya lupa seperti beliau; dan marah bukan menyelesaikan masalah, justru akan membuat masalah.

Terakhir beliau diberi tugas untuk menjadi “panglima” pembebasan tanah calon Jalan TOL . Banyak sekali hambatan yang beliau temui di lapangan. Pada satu kesempatan disuatu acara kami duduk berdampingan; beliau dengan serius menceritakan bagaimana suka dukanya menjadi juru bebas, yang terkadang harus berposisi sebagai tak bebas. Setiap persoalan yang muncul dipermukaan, terutama yang muncul dimedia masa; tanpa ambil waktu Adeham langsung menyelesaikannya dengan gaya lembutnya tapi ligat. Jalan TOL yang lurus inilah melambangkan kepribadian Adeham; yang tidak neko-neko dalam bekerja. Beliau tidak dapat mendampingi Presiden saat menggunting pita peresmian bersama Gubernur; semoga dengan jalan TOL beliau menuju ke alam keabadian, menjumpai Sang Kholik.

Banyak kalangan kehilangan beliau; talenta yang beliau miliki mampu menembus badai gonjang-ganjing politik lokal. Sekian pimpinan berganti, beliau tetap bisa melayani. Sekian peristiwa memusar daerah ini; tetapi Adeham tetap bisa menepi. Tangan dinginnya mampu menangani dan mengurai persoalan pelik di Bumi Ruwajurai ini. Tidak ada orang yang merasa dimenangkan, dan tidak ada orang yang merasa dikalahkan.

Kepiawaiannya menembus batas menjadikan Adeham berselancar diatas badai. Pengalaman jadi pegawai rendahan sampai menjadi Pegawai Tinggi, tidak menggoyahkan sendi-sendi keimanan dan kemanusiaannya. Keseriusannya tidak menjadikannya kaku, keluwesannya tidak membawanya kesan mengabaikan. Walau kodrat manusia memiliki keterbatasan, untuk Adeham keterbatasannya itulah kematiannya.

Selamat Jalan Pak Adeham, jasamu menjadikan amal membawamu ke Surga Janatunnaim, semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Semoga kita yang ditinggalkan mampu memetik suritauladan dari sosok seorang Adeham.

  

Senin, 22 Januari 2018

PEMENANG atau PECUNDANG

PEMENANG atau PECUNDANG
Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila

Tertulis dalam Kitab Mahabarata tatkala perang Baratayudha Basukarna atau populer dengan nama Prabu Karna; sebagai Satria anak dewa Surya dengan Ibu Dewi Kunthi yang juga Ibunya Para Pandawa; sebelum Perang Besar Baratayudha; terlibat pembicaraan keras bersama Prabu Kresna yang dikenal sebagai arsiteknya perang besar itu, sesaat setelah gagal menjadi Duta Pamungkas untuk mengembalikan Hastinapura ketangan Pandawa tanpa peperangan. Dalam dialog kedua Satria Agung itu Prabu Kresna menawarkan kepada Karna untuk bergabung ke Pandawa; walaupun dalam hati beliau sudah mengetahui bahwa itu tidak mungkin; karena dalam Kitab Jitabsara Karna akan mati di peperangan terkena Panah Pasopatinya Harjuna. Kresna hanya ingin mengukur sejauh mana tekad bulat Karna untuk maju perang sebagai Senapati Agung. Ternyata jawaban Karna sungguh luar biasa; beliau mengatakan; Biarlah Aku menjadi Pecundang bukan Pemenang, asalkan Perang Baratayudha ini jadi berlangsung Karena perang itulah membuat kedamaian akan terjadi.

Adegan itu mengingatkan kita semua sebentar lagi negara ini akan melangsungkan lakon politik, yaitu melakukan Pemilihan Kepala Daerah di sekitar 171 daerah pemilihan. Mungkin selama kemerdekaan dari tahun 1945, baru ini terjadi pemilihan kepala daerah yang begitu besar. Tentu dalam perhelatan pemilihan itu akan ada yang menang dan yang kalah. Jumlah pemenang sudah dapat diketahui yaitu 171 Orang atau pasangan, dan ini adalah lumrah karena setiap daerah pemilihan hanya mengeluarkan satu pasangan sebagai pememang. Dan tidak mungkin di satu daerah pemilihan akan keluar dua pasangan pemenang kemudian dilantik kedua pasangan tersebut. Pada cerita fiksipun hal itu tidak akan ditulis oleh pengarangnya.

Hal yang menarik adalah bukan pada pemenangnya. Cerita kemenangan adalah cerita yang linier, yaitu berjuang (bahkan dengan cara apapun), kemudian konflik, menang, terakhir syukuran, dan dilanjutkan hitung-hitungan habis berapa modal, dan bagaimana cara mengembalikan hutang. Hal itu sudah menjadi pakem banget, menggunakan istilah anak-anak jaman Now. Justru yang menarik dikaji adalah bagaimana nasib mereka yang kalah, apa yang mereka lakukan, guncangan apa yang mereka rasakan. Tidak pernah terlintas dipikiran kita, apa yang terjadi setelah seseorang kalah bertarung dalam pemilihan kepala daerah.
Varian perilaku akibat kekalahan pertarungan ini begitu beragam; ada yang bersifat personal, ada juga yang bersifat sosial. Kategori yang bersifat personal diantaranya murung, menjadi tertutup, menyendiri, dan yang paling mengerikan jika sampai pada gangguan kejiwaan. Sekedar mengingat kembali, pada masa lalu ada salah seorang calon Bupati yang kalah pemilihan, kemudian menjadi terganggu kejiwaannya, dan menunjukkan perilaku yang tidak wajar, sehingga lupa busana.

Sedangkan yang bersifat sosial dapat dilihat dari perilaku yang menjadi infulsif, menarik diri dari pergaulan, bahkan menarik semua bantuan yang diberikan pada waktu pencalonan. Ingatan kita masih segar ada bakal calon yang kalah menarik bantuan karpet untuk masjid yang dia berikan pada waktu pencalonan, bahkan ada calon yang meminta uangnya kembali yang mereka berikan pada waktu kampanye. Pukulan ini akan semakin menjadi-jadi manakala keseimbangan rumah tangga juga memberi kontribusi untuk menuju kehancuran. Begitu menerima kekalahan, ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga; pilihan kalah istripun minggat.

Rasa kesendirian dan rasa bersalah menyelimuti perasaan bagi mereka yang tidak beruntung dalam pemilihan; adalah kondisi psikologis yang secara perlahan tetapi masif bisa menyerang siapa saja yang ada pada posisi ini. Menjadi berbahaya jika kondisi ini berlangsung lama, tanpa disadari oleh penyandangnya masuk ke alam bawah sadarnya. Sehingga berpengaruh pada kondisi kejiwaan dalam kurun waktu yang cukup lama. Untuk yang satu ini pernah kita dengar ada bakal calon yang tidak jadi menjadi calon kemudian  gelap hati, bahkan gelap mata.Kemana-mana membuka aib saudaranya.

Secara sosiologis sebenarnya kita harus berterimakasih kepada mereka yang berada pada posisi ini; karena sebenarnya pahlawan dalam pemilihan itu bukan yang menang, tetapi justru yang kalah; karena mereka telah berkorban untuk keberlangsungan proses demokrasi, dan proses keberlangsungan suatu rezim atau apapun namanya. Kita semua harus berterimakasih kepada mereka yang sudah menyiapkan diri maju kepemilu kada, atau pemilihan apapun; karena akibat memilih satu diantara sekian pilihan, berarti ada yang tidak terpilih, dan kita berterimakasih ada orang yang siap menjadi “tumbal” untuk tidak terpilih karena aturan sistem harus demikian.

Kata lain bahwa pahlawan demokrasi itu bukan yang menang, akan tetapi yang sudah sanggup kalah, merekalah sebenarnya pahlawan sejati dari demokrasi itu. Mereka sudah sanggup menggorbankan waktu, dana/biaya, harga diri/martabat, dan perasaan, untuk menjadi tumbal demokrasi. Mengikuti proses pemilihan yang  sangat melelahkan, terutama aspek kesiapan dana, mental, dan spiritual, ditambah kesiapan keluarga.

Keluarga perlu dipersiapkan, terutama keluarga inti, karena harus menanggung semua konsekwensi dari apa yang terjadi. Jika menang harus siap di bully, jika kalah siap di maki. Pilihan sulit ini menjadi semakin ribet jika menyimak banyak kasus akibat ketidak siapan keluarga; justru malapetaka yang diperoleh.

Pengorbanan untuk siap kalah, tidak jarang hanya sebatas bibir saja; begitu berhadapan dengan kenyataan, ternyata kekalahan itu menyakitkan. Kesiapan menerima kekalahan ternyata tidak termasuk yang dipersiapkan selama ini dalam pemilihan oleh para calon. Dibenaknya yang ada menang, menang, dan menang. Kondisi ini dibumbui lagi oleh hasutan hasutan orang sekeliling yang ingin mencari keuntungan. Pada saat pencalonan pahlawan-pahlawan dadakan ini bermunculan disekitar calon. Jika calon yang diusungnya menang, maka pahlawan ini akan berbondong-bondong datang dengan membawa panji-panji aku pahlawannya, ucapan klasik SI anu itu menang karena aku. Sebaliknya jika kekalahan yang terjadi, semua mereka hilang bak ditelan bumi. Kata bijak yang lumrah keluar adalah..bersabarlah, atau kasihan. Selebihnya mereka akan meninggalkan calon dalam kesendirian dan kesunyian.

Hari-hari sunyi akan dijalani oleh seorang calon yang gagal, hanya istri yang sholeha lah dan atau suami yang sholeh lah yang mampu menjadi teman dikala seperti ini. Ada seorang teman yang mengalami kondisi ini mengatakan lalatpun sungkan hinggap kebadannya, nyamuk yang suka menghisap darahpun menghindar untuk mendekat.

Oleh sebab itu melalui tulisan ini ingin disampaikan kepada para petarung; pertama, kami semua mengucapkan terimakasih kepada kalian yang telah sudi mau menjadi petarung, karena dengan adanya kesediaan anda bertarung, maka proses demokrasi berjalan. Kedua, siapkanlah disudut hati anda ruang jika kekalahan terjadi pada anda; karena hukum sosial akan menggilas dengan kejam, tidak perduli apakah anda menjadi pihak yang menang atau pihak yang kalah. Ketiga, bertarunglah secara jantan, berikan ucapan selamat pada pemenang dan undur diri tanpa harus menunduk apalagi melempar handuk.

Resi Bisma sebagai tamsil, saat dia menghadapi kekalahan karena anak panah Srikandi menghujam seluruh tubuhnya tanpa celah, menjelang ajal dia minta bantal untuk menyangga kepalanya, tapi bantal yang dia minta bukan yang empuk dari kapuk pilihan, akan tetapi hulu panah yang ditancapkan dikiri-kanan kepalanya. Tamsil ini menunjukkan bahwa kekalahan harus dihadapi dengan jiwa kesatria. Tidak menjadi cengeng dengan menganggap rival anda itu musuh bebuyutan selama hidup yang harus anda enyahkan; ingat masing-masing kita punya tugas kehalifahan dimuka bumi ini yang sudah ditetapkan oleh Sang Kholik.

Akhirnya semua daya upaya yang dilakukan oleh manusia berakhir pada ketentuan garis nasib yang telah ditetapkan oleh Sang Maha Pencipta. Suratan tangan yang telah tertulis sebelum manusia lahir akan menjadi titik akhir dari apa yang telah diupayakan oleh manusia.  Firman Suci sudah mewartakan bahwa manusia berhak atas upaya; ketentuan ILLAHI adalah segalanya. Selamat Berjuang Kawan, menjadi Pemenang atau Pahlawan; asal jangan jadi Pecundang.