Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Sabtu, 22 Desember 2012

MEMAHAMI KONFLIK LAMPUNG DARI SISI LAIN


Pendahuluan
Berdasarkan hasil rekam jejak sejarah yang ada, ternyata di Provinsi Lampung sejak secara resmi program kolonisasi dikenalkan pada tahun 1905, belum pernah ada kejadian konflik seperti halnya peristiwa Oktober 2012. Peritiwa yang ada hanya bersifat individual, tidak sampai menyulut melibatkan banyak orang. Peristiwa itu sendiri dapat diselesaikan dengan kerangka adat yang memang ada ruang yang disediakan oleh para pemangku adat lampung.
 Kerangka dasar kolonisasi yang dikembangkan Belanda di Lampung, di samping alasan demografis, juga alasan ekonomis. Sedangkan aspek politis pertimbangannya sangat kental dengan pendekatan pecah belah. Hal ini dapat dilihat dari dibuatkannya pemukiman para kolonis jauh dari perkampungan warga lokal. Aspek “dia” dan “kita” tampak sekali ditumbuhkembangkan dengan membedakan akan fasilitas yang diberikan. Ironisnya kebijakkan ini di awal konsep transmigrasi masih berlanjut, akibatnya laju pertumbuhan ekonomi antar keduanya menjadi berbeda tajam. 
Kedua kondisi di atas paling tidak telah memberikan kontribusi pada “cacat sejarah” bagi daerah ek kolonisasi, yang kemudian berubah menjadi tansmigrasi. Jika kelak penanganannya salah urus, maka cacat sejarah tadi menjadi sumbangan sosial untuk terjadinya konflik sosial.
Pada awal tahun 2000 dikenalkannya konsep otonomi daerah, membawa konsekwensi pada menguatnya kebijakkan daerah. Dengan segala macam keberhasilan yang diraih, ternyata  juga diikuti dengan perkembangan yang tidak diinginkan, yaitu munculnya politik local yang menyempit. Jika politik local ini bernuansa untuk memperjuangan daerah agar sama makmurnya dengan daerah lain, itu adalah suatu keharusan. Akan tetapi jika perkembangan ini mengarah pada pembagian kekuasaan (dan akses politik) pada kelompok tertentu, atau subetnik tertentu, maka kegagalan otonomi akan kita dapat. Tampaknya di Lampung secara tersurat hal ini belum ada, tetapi jika dirasa dengan indra perasa yang halus, maka suasana itu secara tersamar mulai ada.




Perjalanan Panjang
Konsep pemindahan penduduk yang dikenalkan oleh Penjajah Belanda secara sistimatis sudah diberlakukan semenjak Perang Jawa (Perang Diponegoro). Pada waktu itu Diponegoro dan para pengikutnya di “buang” ke Tondano. Sekarang  anak keturunan para pengikut sang Pangeran ini dikenal dengan “Jawa Tondano”. Adat istiadat mereka masih terekam di dalam masyatakatnya walaupun secara fisik dan geneologis mereka sudah sulit menari galur keturunannya di Jawa.
Sedangkan yang bermotif ekonomi kita kenal dengan diberangkatkannya para “Koeli Kontrak” ke Suriname (Paramaribo). Dalam perkembangan sejarah sekarang generasi mereka sudah menduduki tampuk kepemimpinan negara. Namun demikian rekam jejak budaya tetap saja melekat pada mereka, bahkan identitas nama masih terekam sampai saat ini.
Selanjutnya kita juga mengenal Koeli Kontrak di Deli Serdang Sumatera Utara. Keturunan mereka lebih dikenal dengan sebutan “Jadel” yaitu singkatan dari Jawa Deli. Mereka sama dengan yang di Suriname yaitu menjadi pekerja perkebunan belanda (Onderneming). Adat istiadatpun tetap mereka pelihara, walaupun akulturasi dengan etnik lain telah terjadi secara luas dan masif. 
Daerah seperti di atas hampir tidak terdengar selama perjalanan sejarahnya terjadi konflik antara mereka dengan penduduk tempatan. Justru yang terjadi adalah akulturasi budaya yang berkembang pelan tetapi pasti.
Berbeda dengan daerah kolonisasi yang dirancang memang berbeda oleh Belanda, ironisnya kebijakkan itu dilanjutkan dengan program transmigrasi pada awalnya.  Proses akulturasi sering terkendala karena pola pemukiman yang inclave, sehingga proses social tidak dapat berjalan secara alami.
Kemudian dipicu juga dengan pemberian fasilitas yang sering menimbulkan rasa tidak adil bagi masyarakat tempatan. Tidak terkecuali di Lampung, jika kita lihat dari penempatan kolonisasi GedongTataan, Kota Agung, Metro, Lampung Tengah, Sukadana, ternyata pemukiman kolonisasi yang dilanjutkan dengan transmigrasi , memiliki desa tersendiri dan diberi fasilitas tersendiri pula. Alasan pembenaran pada waktu itu ialah agar mempercepat penyesuaian diri dengan lingkungan, maka diberi dukungan sosial dan finansial sehingga para kolonis/transmigran tidak lari meninggalkan tempat.
Pada waktu sistem pemerintahan kita berpola terpusat, dengan makna semua keputusan ditentukan oleh pusat, maka termasuk sistem pengamanan kebijakkanpun terpusat, bahkan cenderung otoriter. Semua perbedaan diposisikan sebagai penentang pembangunan; dan berarti penentang negara. Kelompok ini sah untuk dipinggirkan. Akibatnya semua dari atas mengikuti garis komando. Dampaknya program transmigrasi tidak mendapatkan hambatan dari sudut pandang yang berbeda, karena tidak ada yang berani berada pada posisi berbeda. Residu sosial ini menumpuk, sehingga begitu era keterbukaan seperti sekarang ini, seolah olah memberikan ruang untuk berbeda pandang. Hanya saja karena residu sosial ini sudah begitu lama menumpuk, begitu mendapatkan kanal, maka arus deras keluar begitu tiba tiba dengan wujud “amok”.    

Perubahan Nilai
Pada awal generasi kolonisasi, para kolonis berkosentrasi pada satu tujuan yaitu perubahan nasib. Mereka siang malam bekerja menaklukan alam agar dapat menghasilkan dari apa yang mereka inginkan. Etos kerja menjadi andalan bagi mereka dengan orientasi perubahan nasib dan penguasaan kapital. Hal ini diimplementasikan dengan mengolah lahan menjadi produktif, memiliki ternak untuk modal, baik sebagai sumber tenaga untuk bekerja maupun untuk investasi. Sehingga parameter pada waktu itu adalah luas lahan yang dimiliki atau dikuasai dan jumlah ternak yang mereka punyai. Dua hal ini merupakan lambang kesuksesan mereka.
Semua itu mereka tunjukkan keberhasilannya dengan cara pada waktunya mereka bisa pulang ke tanah leluhur dan dipertontonkan kepada keluarga besar. Waktu yang mereka pilih pada umumnya saat lebaran. Mereka kembali kebumi kolonisasi dengan membawa serta keluarga untuk dijadikan pekerja, sekaligus unjuk muka akan keberhasilan, sehingga dapat menjadi sesuatu yang dibanggakan. Keluarga yang dipekerjakan tadi juga menjadi benteng pengaman sosial di daerah kolonisasi.
Keluarga yang dibawa tadi pada waktunya juga akan melakukan apa yang dilakukan oleh “induk semang” yang membawanya. Budaya Patron – clent seperti ini berkembang menggurita, sehingga tidak hayal jika disatu pedukuhan (Setara Rukun Warga – RW) merupakan jaring sosial keluarga. Hal ini dibentuk dan berproses secara alami dalam waktu yang cukup lama.
 Kondisi ini berlanjut sampai generasi ke dua, dan pada generasi ketiga sudah mulai bergeser. Tata nilai semula keberhasilan diukur pada penumpukkan modal, bergeser pada keberhasilan identitas rumah, kendaraan, dan pendidikan anak anak. Seiring perjalanan waktu kualitas pendidikan anak menjadi prioritas. Akibat lanjut daerah transmigrasi ini menjadi daerah pengirim urbanisasi ke perkotaan. Generasi ini mulai meninggalkan profesi leluhurnya sebagai petani, berubah menjadi kelompok menengah baru yang bekerja pada sektor nonpertanian. Kondisi ini disumbang juga oleh pola pewarisan dari generasi pertama. Keluarga kolonis/transmigran yang semula memiliki tanah luas menjadi menyempit karena tanah tersebut harus diwariskan kepada anak turun mereka. Pola ini menjadikan penguasaan akan lahan semakin turun kegenerasi, maka akan terjadi penyempitan penguasaan lahan.
Seiring perjalanan waktu, generasi ini mulai meninggalkan tatanilai agraris, berubah menjadi penganut tatanilai urban. Namun tidak semua mereka berhasil menjadi penganut paham urban. Banyak diantara mereka juga gagal yang kemudian kembali ke desa. Generasi ini sudah tidak lagi mau berprofesi petani, tetapi juga tidak sukses untuk masuk budaya urban. Akhirnya kelompok ini menjadi residu dalam masyarakat agraris, yang tidak jarang terjerumus pada budaya hedonis dan mengalami krisis identitas.  Generasi inilah yang diduga menjadi pemicu kerusuhan di wilayah ekstransmigrasi.
Potensi ini seharusnya dipahami oleh Pemimpin Daerah/Lokal, karena jika kondisi tidak dikelola dengan baik, maka konflik sosial akan terus terjadi. Sebaliknya jika dipahami pokok persoalannya, maka penangananyapun dapat dilakukan dengan secara terencana dan berkesinambungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar