PENDAHULUAN
Program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah pada tahun
1950 an, adalah bukan kelanjutan program Kolonisasi dari Belanda sebagai
penjajah, walaupun untuk beberapa hal memiliki hasil akhir yang sama. Dalam lintasan sejarah makna awal program ini,
yang semula bernama kolonisasi, sudah berubah, baik batasan operasionalnya,
maupun batasan konseptualnya. Sebagai contoh kecil, dahulu perpindahan penduduk
hanya dimaknai dari jawa keluar jawa, sekarang bisa antar pulau di luar Jawa.
Ini dapat kita simak perpindahan dari Provinsi Lampung Ke Provinsi Kalimantan
Barat (Lampost, Oktober 2012).
Ada esensi dasar yang tidak berubah dari
perjalan konsep itu ialah perpindahan manusia. Perpindahan ini memiliki dampak
internal dan eksternal. Dampak internal adalah perpindahan manusia sebagai
pelaku budaya, juga akan mempengaruhi terhadap budaya yang disandangnya.
Pengaruh ini bisa jadi berbentuk asimilasi, akulturasi atau integrasi yang
semua itu tergantung kepada komponen pendukung variabel. Dampak eksternalnya
adalah terjadinya pertukaran budaya, baik fisik maupun sosial. Jika berkaitan
dengan fisik, maka lebih berorientasi pada produk budaya.
Pertemuan antarmanusia yang kemudian
dirajut dengan interaksi sosial antarmereka, berakibat pada terbentuknya medan
interaksi sosial yang oleh Parson disebut sebagai medan feducary (lih: Sudjarwo, 1979). Medan interaksi sosial
inilah merupakan lapangan abstrak tempat berlangsungnya hubungan sosial, yang
memunculkan kaidah kaidah hubungan sosial. Kaidah kaidah tersebut memunculkan
nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh semua pelaku sosial yang sedang melakukan
interaksi sosial.
Peran nilai nilai yang berkembang ini
sangat tergantung kepada pelaku interaksi sebagai pendukung. Nilai nilai bisa
melebar membentuk medan asimilasi, akulturasi atau integrasi. Namun dapat
menyempit menjadi memisahkan diri atau mengeliminasi (inklusif), dan cenderung
tertutup, bahkan bisa menjadi penyulut munculnya konflik sosial.
Hal
di atas menjadi begitu kentara jika pelaku interaksi berasal dari latar
belakang yang berbeda. Perbedaan itu bisa entitas individual, atau entitas
budaya. Entitas individual berupa perbedaan jenis kelamin, kemampuan
intelektual, atau hal lain yang melekat sebagai ciri individual. Sedangkan entitas
budaya berupa perbedaan etnik atau sub etnik dari pelaku interaksi, yang juga
pelaku pendukung budaya.
Keadaan tersebut dapat dilihat pada daerah
pemukiman bentukan seperti daerah transmigrasi yang penduduknya didatangkan
dari beragam latarbelakang, kemudian menempati suatu daerah pemukiman tertentu.
Pemindahan fisik serupa ini menimbulkan
bentukan interaksi baru bagi para penduduknya, yang juga sebagai pendukung
budaya. Seiring perjalanan waktu maka
makna dari transmigrasi sudah bergeser sebagai berikut :
- Mendukung ketahanan pangan dan penyediaan papan
- Mendukung kebijakan energi alternatip (bio-fuel)
- Mendukung pemerataan investasi ke seluruh wilayah Indonesia
- Mendukung ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan
- Menyumbang bagi penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan (Transmigrasi: wikimedia, diunduh 1 Oktober 2012)
Nilai Budaya
Konsep tentang nilai budaya adalah sangat luas sekali,
bahkan boleh dikatakan banyaknya konsep nilai budaya sebanyak ahli budaya itu,
bahkan lebih ekstrim lagi sebanyak pendukung budaya itu sendiri. Membicarakan
nilai budaya kita tidak dapat sertamerta begitu saja tanpa memperhatikan
pengertian budaya. Dalam tulisan ini,
konsep budaya dipahami sebagai konsep yang didefinisikan oleh Koentjaraningrat
(1981: 180) yaitu “Keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar”. Kemudian maknawinya diperluas dengan hasil cipta dan karsa
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari hari.
Nilai budaya
(cultural value) yang merupakan suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan
amat bernilai tinggi dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi kelakuan dalam
kehidupan satu masyarakat (Junus Melalatoa, 2005).Nilai budaya yang dimiliki
satu masyarakat dapat terdiri dari beberapa kategori nilai, yaitu nilai
pengetahuan, nilai religi, nilai sosial, nilai seni, dan nilai ekonomi. Dalam
kategori nilai sosial ada sejumlah nilai, misalnya nilai tertib, setia kawan,
harga diri, tolong-menolong, rukun, kompetitif, disiplin, dan sebagainya. Nilai
disiplin juga merupakan unsur nilai religi, di samping takwa, iman, yang
menjadi unsur nilai seni di samping indah, melankolis, halus, riang, dinamis,
kreatif, dan lain-lain. Dengan kata lain, sebuah atau beberapa nilai tersebar
sebagai unsur dalam kategori nilai-nilai: pengetahuan, religi, sosial, seni,
dan ekonomi. Keseluruhan nilai-nilai itu terkait satu dengan yang lain,
sehingga merupakan satu sistem nilai budaya (cultural value system).
(Wawan-Junaidi, diunduh 1 oktober 2012).
Pada tulisan ini
lebih menekankan pada nilai sosial yang cakupannya meliputi: tertib, setia
kawan, harga diri, tolong menolong, rukun, kompetitif, disiplin, dsbnya. Merupakan
inti pokok dari konsep nilai sosial yang ada dalam tata pergaulan kehidupan
sehari hari. Di samping itu hal ini merupakan sikap sosial untuk menuju kepada
kesuksesan dalam berkarya. Konsep ini juga yang mendorong keberhasilan warga
transmigrasi untuk mencapai kesuksesan.
Kolonisasi, Transmigrasi
dan Pandangan Hidup
Definisi konseptual
Kolonisasi, Transmigrasi, bahkan migrasi adalah sangat berbeda. Namun esensial masalahnya adalah sama, yaitu
membahas perpindahan penduduk. Konsep kolonisasi yang dikembangkan Penjajahan
Belanda pada tahun 1905, dengan uji coba memindahkan penduduk dari Bagelen ke
Gedung Tataan, itu adalah pemindahan yang diformalkan oleh Pemerintahan
Belanda. Sebelum sengaja diformalkan sebenarnya perpindahan penduduk dengan
pola migrasi sudah terjadi jauh sebelum itu. Hanya saja perpindahan itu
bersifat sangat individual, dengan motif individual juga. Beberapa hasil
penelitian menemukan perpindahan penduduk pulau Jawa ke Sumatra, atau dari satu
daerah ke daerah lain dalam wilayah pulau atau antarpulau, sudah terjadi
sebelum tahun 1905. Kebanyakan dari mereka adalah karena alasan ekonomi,
politik lokal, harga diri, atau sebab sebab lain yang bersifat individual.
Pada masyarakat
Jawa ada pemeo yang mengatakan bahwa seseorang itu meninggalkan kampung
halamannya memiliki salah satu sebab, yaitu kalau tidak ‘kurang’, atau karena “wirang.”
Kurang diartikan sebagai karena persoalan ekonomi; dengan kata lain seseorang
meninggalkakan kampung halamannya karena kekurangan sandang, pangan dan papan.
Sedangkan wirang, lebih diartikan kepada harga diri. Dalam pengertian luas
wirang ini bisa karena perbuatan yang menurunkan martabat. Adapun bentuk
perbuatannya dapat beragam, sesuai dengan tataaturan sosial disuatu tempat.
Walaupun sebenarnya
dorongan perpindahan seperti itu juga ada pada etnik lain tetapi tidak sesempit
itu. Sebagai contoh pada masyarakat Bugis pergi merantau adalah konsep harga
diri. Salatang (1980) mengatakan bahwa jika ada pemuda Bugis yang tidak pernah
meninggalkan desanya untuk pergi merantau, pemuda tadi dikatakan sebagai
penakut.
Demikian juga pada
waktu pencalonan Pasirah sebagai pimpinan Marga di Sumatra Selatan, jika ada
calon yang kalah, mereka akan meninggalkan desa bersama keluarganya untuk
membuka wilayah pemukiman baru, sehingga mereka mampu menegakkan harga diri
lagi dengan menjadi Pimpinan kelompok di dalam masyarakat baru tadi. (Madrie,
1981).
Berarti setiap
perpindahan penduduk dari satu tempat ketempat lain, jika ada diantara mereka
yang sukses atau berhasil, baik secara sosial maupun ekonomi, berarti di sana
ada nilai nilai yang mendorong capaian tadi sebagai motor penggerak, baik
secara individual maupun kelompok. Dorongan mencapai keberhasilan ini merupakan
motor penggerak yang dapat bermanfaat bagi individu maupun kelompoknya. Walaupun
ada sisi negatif lain yang berpotensi menjadi konflik yaitu, kesuksesan secara
ekonomi akibat bekerja keras ini dapat membuahkan juga ketidakberterimaan dari
warga yang kurang beruntung.
Wujud memformalkan
perpindahan penduduk oleh Belanda melalui program kolonisasi diawal tahun 1905,
diduga adalah upaya pertimbangan ekonomi guna penyediaan tenaga kerja perkebunan
murah yang akan dibuka oleh Belanda di luar Pulau Jawa. Tenaga dari Jawa
dikenal ulet, penurut, dan mudah dikendalikan. Di samping alasan rasional lain
yaitu pengendalian jumlah penduduk Pulau Jawa.
Konflik dan
Integrasi
Berbicara masalah integrasi
berarti juga berbicara masalah konflik, karena konflik dan integrasi itu
memiliki peluang yang sama kejadiannya dalam masyarakat (Simmel, dalam Soerjono
Soekamto, 1986). Hal ini dipertegas oleh Parsons (1964) bahwa terjadinya
interaksi di dalam masyarakat karena adanya medan feducary sebagai jendela dan
kesepakatan atau nilai nilai umum merupakan perekat di dalam interaksi sosial yang dikembangkan.
Adanya perubahan
kondisi sosial, ekonomi dan variabel lain yang mengintervensi masyarakat, hal
inilah yang akan mempengaruhi konsensus normatif yang telah mereka lakukan.
Atas dasar itu diperlukan suatu nilai dasar yang dimiliki atau diakui
kehadirannya oleh semua suku bangsa sebagai bagian dari kemajemukan, nilai
inilah disebut nilai integratif (Sudjarwo, 1997). Tanpa
adanya suatu nilai integratif yang dipercaya atau diterima keberadaannya oleh
seluruh unsur lapisan masyarakat, maka masyarakat tersebut tidak akan pernah
bebas dari konflik emsternal dan internal.
Nilai integratif
dari masing masing suku bangsa di daerah transmigrasi ditemukan sebagai berikut
(Sudjarwo, 1997) :
1.Responden Jawa
Nepakke awake dewe :
terjemahan bebasnya, mengukur dengan badan sendiri (Tepo seliro)
Isin : terjemahan
bebasnya, malu dalam arti harga diri
2.Responden Bali
Salulung-sabayantaka :
terjemahan bebasnya, selalu bersama, walaupun dalam keadaan susah
Maupun
senang
Paras-Poros : terjemahan
bebasnya, sikap tenggang rasa dalam bermasyarakat
Matulung : terjemahan
bebasnya, memberikan bantuan kepada orang susah
Ngarombo : terjemahan
bebasnya, memberikan bantuan kepada orang yang tidak mampu.
3.Responden Bugis
Jika ingin sukses
dalam bergaul, terutama diperantauan ada tiga hal yang harus dijaga:
Cappak lilamu : terjemahan
bebasnya, jaga ujung lidahmu
Cappak kawalimu :
terjemahan bebasnya, jaga ujung senjatamu
Cappak parewamu :
terjemahan bebasnya, jaga ujung kemaluanmu
4.Responden Lampung
Nemu nyimah : terjemahan
bebasnya, suka memberi, baik mereka yang dalam kesulitan
maupun tidak.
Nengah Nyappur:
terjemahan bebasnya, suka bergaul dan bermusyawarah
Sakai sembayan:
terjemahan bebasnya, suka menolong dan bergotong royong
5.Responden
Semendo/Ogan
Seganti Setungguan:
terjemahan bebasnya, saling menyayangi dan menghormati
6.Responden Sunda
Batur salembur:
terjemahan bebasnya, menganggap orang lain sebagai teman sekampung
Rempuk cukung balarea, pindah caik pindah tampian: terjemahan bebasnya, harus mampu
menyesuaikan diri.
Nilai nilai
integrasi yang melekat pada tata nilai kehidupan pada masing masing sub etnik
ini menunjukkan bahwa disetiap sub etnik memiliki potensi untuk saling membuka
diri, dan mengembangkan pola interaksi bersama.
Nilai perekat
seperti ini menunjukkan bahwa jika ada yang terusik dari perekat tadi, maka
akan terjadi konflik diantara mereka. Kasus kasus konflik sosial yang selama
ini muncul didaerah transmigrasi, atau pemukiman baru lainnya, diduga karena
medan feducary yang selama ini terbangun mengalami ‘pengecilan” area, atau
hilang sama sekali. Kondisi ini membuat rapuhnya interaksi sosial yang
dibangun, akibat lanjut jika terjadi pemicu untuk terjadinya konflik, maka
kondisi itu memungkinkan terjadinya ‘ledakan sosial”.
Hal lain yang dapat
merusak medan fiducary ini ialah frustrasi sosial. Kondisi ini muncul karena
para pelaku sosial tidak mendapatkan perlakuan yang adil, atau merasa didzolimi
oleh pihak lain, atau ada variabel lain. Kondisi ini yang memungkinkan muculnya
“amok” dalam masyarakat.
Dulu dan Sekarang
Seiring perjalanan
waktu ternyata telah terjadi perubahan yang mendasar dari pola interaksi yang
ada. Akhir akhir ini di daerah pemukiman eks transmigrasi sering muncul gejolak
sosial, termasuk di Kabupaten Lampung Selatan. Daerah yang semula aman damai
menjadi daerah yang bergolak. Seakan akan integrasi yang selama ini terbangun
menjadi terbelah. Para elite menyebut sebagai konflik horizontal.
Untuk mengurai hal
ini tidaklah mudah, karena ada sejumlah variabel yang diduga memberi kontribusi
terhadap berlakunya peristiwa ini. Untuk masing-masing daerah ternyata berbeda
dalam hal variabel utamanya; namun demikian ada kesamaan mendasar yang mungkin
dapat dijadikan bahan dasar kajian.
Pertama, ada
semacam situasi frustrasi sosial pada masyarakat yang diakibatkan dari rasa
ditinggal sendiri oleh pemimpin. Masyarakat merasa dibutuhkan oleh pemimpin
hanya saat Pemilu atau Pemilu Kada, setelah hajat itu mereka merasa tidak ada
pemimpin yang mau peduli dengan mereka. Akibat frustrasi sosiaal ini mereka
berbuat apa saja yang mereka yakini benar. Masyarakat haus akan pemimpin yang
mau mendampingi mereka kapanpun, dan dalam peristiwa apapun. Konsep mendampingi
ini sering berbeda makna antara pemimpin dengan rakyat. Pemimpin merasa mereka
tidak perlu hadir secara fisik, cukup diwakili oleh aparat terkait atau program
program kepemerintahan. Sedangkan rakyat mempersepsikan kehadiran pemimpin itu
adalah secara fisik datang menjumpai mereka, mendengar apa yang mereka katakan,
dan melihat apa yang telah mereka perbuat.
Kedua, adanya
semacam kehatihatian yang begitu berlebihan dari aparat keamanan karena
khawatir melanggar Hak Azazi Manusia. Aparat keamanan tingkat lapangan sering
dihadapkan pada pilihan pilihan sulit, yaitu antara bertindak cepat,
keselamatan diri, dan dengan pelanggaran akan hak hak azazi. Pilihan sulit ini
cenderung mereka berbuat untuk tidak berbuat jika itu nantinya akan membuahkan
pelanggaran. Sekilas tampak seperti pembiaran, namun sebenarnya adalah
kehatihatian yang sangat berlebihan. Akibat lain juga aparat kurang peka
terhadap gejala gejala awal. Dengan berlindung pada dalih “belum ada laporan
masuk”, akibatnya suatu peristiwa sosial menjadi besar tanpa bisa dikendalikan;
karena hanya mengandalkan pendekatan formal.
Ketiga, perdamaian
yang tidak membuat damai. Maksudnya ialah masyarakat menilai aparat
penyelenggara negara hanya berperan sebagai pemadam kebakaran; yaitu dengan
ingin segera meredam persoalan dengan cara damai yang instan. Setelah
perdamaian terwujud, tidak lanjut yang ada hanya sebatas perbaikan fisik;
sedangkan perbaikan sosial, dengan therapy sosial; sangat jarang dilakukan.
Membangun jejaring sosial setelah pascakonflik adalah pekerjaan jangka panjang
yang sering tidak diprogram secara baik. Hal ini kebanyakan diserahkan oleh
pemerintah kepada tokoh tokoh informal masyarakat sendiri dalam mencari bentuk.
Tidak ada tindak lanjut yang dibuat bersama dan dikerjakan bersama secara
berkesinambungan antara kelompok yang sedang berselisih dengan pemerintah.
Demikian juga bentuk perdamaian kebanyakan dilakukan selesai begitu saja
setelah acara serimonial selesai. Bentuk perdamaianpun hanya ada pada batas
atas saja, dalam arti tidak tersebarluaskan kepada seluruh lapisan masyarakat,
akibat lanjut masyarakat akar rumput merasa menjadi penonton, padahal mereka
sering menjadi sasaran utama jika terjadi hal hal yang tidak diinginkan.
Keempat, adanya
kecenderungan untuk mempolitisasi dari suatu peristiwa. Walaupun ini bukan hal
baru; tetapi pada akhir akhir ini kondisi tersebut kelihatan dilakukan secara
terbuka. Kalau ini dilakukan oleh para elite maka rakyat akan menjadi obyek
yang tentunya amat merugikan, karena ketenteraman akan makin menjauh. Tidak ada
upaya mengembangkan issue positif dari para pelaku politik lokal, yang mereka
lakukan diam jika tidak menguntungkan, dan akan berteriak kencang jika ada
sesuatu yang dapat diambil manfaat secara politis.
Modal dasar sosial
yang ada selama ini bisa rusak karena hal hal di atas; oleh sebab itu
penanganan segera, dan kearifan pemimpin untuk selalu bersama rakyat, adalah
dua hal yang tidak dapat dihindari dan amat mendesak untuk dilakukan demi
terwujudnya integrasi bangsa.
Kesimpulan
Pertama, ada
sejumlah variabel yang harus diwaspadai dalam membentuk nilai nilai integrasi pada
masyarakat transmigrasi, untuk itu para pengambil kebijakkan harus mampu
melihat variabel dominan ini secara hati-hati, karena variabel ini
dimasing-masing daerah berbeda. Ketidak mampuan mengenali variabel kontributif,
akan membuat terjebak pada penafsiran dari dinamika sosial kepada gejolak
sosial.
Kedua, untuk
memahami masyarakat transmigrasi harus dilihat dari dua segi utama yaitu
konflik dan integrasi, karena kedua hal tersebut bagai dua sisi mata uang yang
tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Persoalan yang muncul ialah
bagaimana mengendalikan integrasi yang sudah ada tidak berubah menjadi konflik
yang berpotensi berkembang menjadi kerusuhan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Lampung Post.
Oktober 2012
Madrie, (1981), Seganti Setungguan, Lembaga Penelitian
Unila (tidak diterbitkan)
Salatang (1980), Budaya Merantau. PLPIIS UNHAS (tidak
diterbitkan)
Simmel, Georg.
(Terj. Soerjono Soekamto). 1986. Beberapa Teori Sosiologi. Jakarta. Rajawali
Press.
Sudjarwo. 1997.
Pola Interaksi Sosial Masyarakat Majemuk DalamTiga Jalur Hubungan Sosial
(Keluarga, Pekerjaan, dan Ekonomi) Untuk mencapai Integrasi Bangsa (Kasus di
Perwakilan Kec. Ketapang Kab Lampung Selatan. Provinsi Lampung. Disertasi.
Bandung. UNPAD.
Parsons, Talcott,
Et all. 1964. The Social System. New York: The Free Press.
Koentjaraningrat,
1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Transmigrasi: wikimedia, diunduh 1 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar