Membaca potongan
tulisan di Harian terbitan Ibu Kota yang menampilkan immemorium Prof. Sayogjo,
terasa terhenyak sesaat bahkan membuat perenungan kontemplasi yang dalam. Maha
Guru Sosiologi Pedesaan yang berpulang beberapa saat lalu, membuka mata hati banyak
orang bagaimana memaknai kehidupan ini dengan begitu dalam. Beliau mengajarkan
keberimbangan antara konsep memberi dan menerima sehingga menimbulkan
keselarasan dalam alam ini. Makna kehidupan menjadi indah karena keberniagaan
kita dengan alam akan menimbulkan keselarasan, keserasian; dengan dasar tanpa
pamrih, dalam artian jika kita memberi hari ini kita tidak akan berharap menerima dari pihak yang diberi juga hari
ini. Bisa jadi balasan pemberian justru datang dari orang lain, dan juga bukan
hari ini. Lebih dahsyat lagi tidak ada hubungan antara memberi hari ini dengan
keberterimaan kita pada hari esok. Bisa jadi justru pemberian datang dari yang
tidak pernah menerima dari apa yang kita beri.
Tampaknya
konsep memberi dan menerima sangat sederhana, dan walaupun dalam kehidupan
sehari hari menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Karena makna hakiki sering
tertutupi oleh sesuatu yang lumrah. Untuk itu mari kita telusuri sejenak pada
alam filsafat ilmu yang melihat segala sesuatu tadi dengan multi dimensi.
Kehidupan
manusia di alam raya ini dimulai dari Sang Maha Pencipta memberi hidup kepada
kita, sementara kita bisa hidup karena menerima kehidupan dari yang Maha
Pencipta juga sebagai Yang Maha Hidup. Oleh
sebab itu sangatlah wajar jika dalam poses hidup ini memberi dan menerima
adalah sunatullah yang harus dijalani oleh manusia sebagai jantra.
Kontemplasi
pemikiran semacam ini memerlukan waktu yang panjang dan membumi, dalam arti
berfikir dengan tidak melepaskan pikir pada obyeknya. Rasionalitas serupa ini
menjadikan kita sebagai mahluk berfikir untuk selalu menyatu dengan kebenaran.
Disini sebenarnya pangkal tolak kesalahan sosial yang tidak terditeksi sejak
awal. Harga mahal yang harus dibayar oleh pemerintah sekarang dalam mengembangkan
demokrasi adalah munculnya varian berfikir, yang tidak jarang memunculkan
benturan antarvarian tadi.
Proses
pembelajaran demokrasi ini sering berhadapan dengan sulitnya membedakan antara
kesan lamban dengan pemberian waktu yang cukup untuk berseminya sikap
demokrasi. Hal ini disebabkan oleh sikap demokrasi diberi batasan dengan
pendapat yang berbeda. Hal tersebut tidak salah, hanya saja pendapat berbeda
adalah hanya sebagian kecil saja dari sikap berdemokrasi, dengan kata lain
sikap berdemokrasi bukan hanya dimunculkan dengan sikap yang berbeda, akan
tetapi masih banyak lagi sikap-sikap lain yang lebih elegan, dan sampai saat
ini belum kita kembangkan. Sebagai contoh sikap berdemo adalah wujud perbedaan
dalam berdemokrasi, akan tetapi setelah demo kemudian membersihkan sampah
akibat demo secara bersama, tidak pernah dikembangkan oleh siapapun dinegeri
ini. Padahal itu adalah bagian dari tanggungjawab sosial yang juga merupakan
sikap lain dalam berdemokrasi.
Sebagaai
contoh peristiwa sosial yang sedang berjalan adalah sikap pemerintah dalam
menaikkan harga BBM 1 April. Waktu yang dipersiapkan dari sekarang hingga 1
April adalah reputasi tersendiri untuk pemerintah karena warga diharapkan siap
secara lahir batin untuk menyongsong hal itu dengan pemahaman yang penuh. Akan
tetapi upaya nyata apa yang dilakukan pemerintah agar suasana batin itu
terwujud, tampaknya tidak banyak dirasakan oleh rakyat kecil. Mereka hanya
merasakan dampak langsung dari kenaikan itu, karena pemerintah hanya sibuk
memadamkan api, tidak mencegah munculnya api. Pada hal kita semua tahu bahwa
tindakan mencegah itu jauh lebih baik dari pada menindak.
Masyarakat
kecil hanya berkeinginan hidup berkecukupan, mereka tidak menuntut lebih. Cukup
dalam pengertian di sini adalah terpenuhinya kebutuhan pokok sebagai mahluk
hidup; yaitu cukup makan, sandang, dan papan (tempat tinggal). Garis Kemiskinan yang dibentang oleh Prof.
Sayogjo bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan minimal, akan tetapi lebih pada
eksistensi kebutuhan hidup sebagai manusia. Di sini tampak keluhuran budi dari
beliau yang tidak pernah berfikir menerima, tetapi lebih pada memberi, yaitu
memberi pengakuan esensial kepada sesama manusia (Jawa: sak pada pada).
Dengan
demikian dapat dipahami jika gejolak selalu ada dimana-mana karena konsep yang
ada kebanyakan kita adalah menerima, tidak pernah terlintas untuk memberi.
Padahal keduanya adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Jika
kita ingin dapat menerima, maka lakukanlah dengan memberi. Agama sudah
mengajarkan dalam memberi harus ihlas, sampai-sampai tangan kiripun tidak perlu
tahu. Ajaran luhur ini terselip pada perkuliahan Prof. Sayogjo sebagai dosen
tamu di era awal delapan puluhan saat penulis mejadi mahasiswa di Pusat
Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin, dan berdiskusi intens di
Kantor Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial jalan Prapatan 42 Jakarta. Selamat Jalan Guru
ku, Selamat Jalan “Paus” nya Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, Selamat Jalan menuju kasidanjati.
Kula mboten nate diwucal Prof Sajogjo (IPB-Bogor) nanging taksih kengetan sanget dumateng almarhum awit nalika th 1977 kula dipunaturi tim ipun nderekaken ngolah data survey usaha tani ing Jawa Barat. Survey punika dipun pandegani prof Sajogjo. Kula labeti ngolah data punika mawi pamrih supados angsal honor senaosa kanthi pangorbanan mboten nderek kuliah "Rancangan Percobaan" ingkang dipun wucal Prof Andi Hakim Nasution tuwin Dr. Barizi. Kala semanten kuliahipun Prof Andi Hakim mboten mawi absensi, mila kula saged mbolos nglabeti ngolah data. Honor saged kula tampi antawis Rp 25 ewu, ingkang Rp 21 ewu kula damel tumbas kalkulator scientific Casio Fx.....kanti pamrih saged dipun damel ngolah data kuliah "Rancangan Percobaan". Ndilalah nalika ujian "Rancangan Perboaan" kula mboten saged nggarap ujian awit mboten mangertos kados pundi cara nggarapipun jalaran saking seringipun absen mboten tumut kuliah. Alhasil kula angsal nilai "D". Lha menika kenangan kula dateng Prof Sajogja, ngolah data-mbolos kuliah-angsal arta-tumbas kalkulator kangge kuliah-mboten lulus.
BalasHapus