Akhir akhir ini tokoh patih
dari kerajaan Hastinapura ini menjadi buah bibir banyak orang dengan beragam
label; ada yang memberi awalan Republik Sengkuni, ada lagi yang memberi label
aliran menjadi Sengkuniisme, dan masih banyak lagi. Tapi siapa dan bagaimana
Tokoh yang satu ini, belum begitu banyak orang mengetahui, terutama generasi
muda tujuhpuluhan.
Tokoh ini mewakili lambang
perilaku yang sangat licik, saking liciknya sampai dalam penggambaran melalui
tampilan gusen , yaitu tokoh dengan peragaan setengah tertawa, tetapi
tertawa yang tidak ihlas (lihat: Panyebar Semangat 23 Februari 2013).
Kemudian tangan depannya menunjuk, yang maknanya pandai mencari kambing hitam,
Sedangkan tangan lainnya seperti tangan raksasa, maknanya ialah tokoh ini
serakah, mau apa saja dengan cara apapun juga. Tokoh ini waktu muda bernama
Haryo Suman atau Tri Gantalpati. Beliau adalah adik dari Dewi Gendari istri
dari Prabu Dhestarastra, orang tua dari seratus para Kurawa.
Sengkuni sebagai paman dari
para Kurawa adalah tokoh intelektual dibalik semua tindak tidak terpuji yang
dilakukan Kurawa kepada Pandawa. Sengkuni sendiri dalam mendapatkan jabatan
Patih di kerajaan Hastinapura menggunakan cara cara yang tidak terpuji. Nama
Sengkuni sendiri diperoleh dari gelar perilaku yang memang jelek dari dulunya
yaitu berasal dari kata “Saka Uni” yang terjemahan bebasnya memang
dari sononya, maksudnya beliau memang dilahirkan untuk menjadi penghasut,
tukang mengompori, dan yang jelek jelek lainnya.
Peristiwa peristiwa
besar yang diaktori oleh Sengkuni diantaranya adalah “Pendawa Dadhu” dan “ Bale
Sigala-gala”. Pada dua peristiwa ini kelicikan Sengkuni sangat menonjol,
terutama dalam upaya “menghabisi” para Pendawa. Politik adu domba, dan
penyebaran issue menjadi metodologi ampuh dengan label Sengkuni. Dengan
tipumuslihatnya kerajaan Amarta bisa dipertaruhkan di meja judi, dan dengan
liciknya pula kerajaan dan isinya bisa jatuh ketangan Kurawa, sementara para
Pandawa harus masuk hutan selama tigabelas tahun. Demikian juga sebelumnya pada
saat Pandawa diberi minuman yang memabukkan kemudian Balai Pertemuan tempat
Pendawa menginap dibakar.
Tokoh ini dibuat oleh para
empu budaya masa lalu seolaholah para pendahulu kita telah membaca geraknya
jaman. Bahwa pada masa yang akan datang ada jaman Kalatidha, yaitu suatu jaman
yang sulit mencari orang baik, karena yang ada berkeliaran dimana mana adalah
Patih Sengkuni dengan casing lain. Justru ini kesulitan yang luar biasa, karena
menghadapi satu sengkuni dari satu casing saja sudah sangat sulit, apalagi jika
berhadapan dengan sengkuni sengkuni lain juga dengan casing yang beragam.
Penggambaran yang dilakukan
oleh seorang tokoh partai berkuasa saat ini memang tepat, walau pada akhirnya
beliau harus lengser kaprabon karena didesak oleh iklim sengkuniis saat ini.
Tetapi ada yang tercecer dari semua melodrama politik tadi yaitu adanya gerak
social dari masyarakat untuk menentang pembusukan yang dilakukan oleh
sengkuniis.
Sekarang dikembalikan kepada
masyarakat untuk menilai para actor yang sedang berada di atas panggung. Bebas
menilai mana yang asli Sengkuni, atau sekedar pengikut setia aliran Sengkuni,
atau juga partisipan saja. Namun jangka panjang yang akan kita tuai adalah
masyarakat semakin apatis dalam menyikapi semua peristiwa social, baik local
maupun nasional.
Kelompok ini akan menjelma
menjadi golongan tidak bergolongan, artinya menjadi kelompok anomali. Kelompok
serupa ini berbahaya jika dibiarkan oleh pemangku kepentingan Negara.
Masalahnya jika terus dibiarkan, maka kelompok ini menjadi kelompok bloking
bagi semua kebijakkan Negara. Mereka selalu memandang jika ada orang tidak
sealiran dengan mereka, maka itulah Sengkuni.
Sebelum terlambat, marilah
peringatan dini ini kita sikapi dengan arif bijaksana. Ingat pelajaran berharga
di Indonesia ini, jika ada individu yang menurut ukuran public di zolimi, maka
simpatisan spontan akan mucul di mana mana. Yang bersangkutan disublimasikan
sebagai “Ratu Adil” yang akan menjadi juru slamat di bumi. Ketertarikan public
pada pigur yang sekarang memimpin negeri ini juga berawal dari cercahan seorang
politikus senior kepada dirinya. Akhirnya akumulasi public akan figure ini
memuncak pada saat pemilihan umum. Apakah peristiwa sejarah itu akan terulang
?, jika jawabannya “ya”, maka betapa kasihannya republic ini, karena hanya para
sengkunilah yang dapat mengkondisikan hal serupa ini. Kita tidak akan menemukan
pemimpin yang baik, jika munculnya pemimpin karena factor kasihan.
Lebih celaka lagi “kasihan”
diciptakan oleh para actor agar muncul. Kemunculan kasihan inilah yang
dimanfaatkan oleh sejumlah kalangan untuk mendorong yang dikasihanni tadi
muncul sebagai tokoh. Rekayasa social serupa ini menjadi sangat
mungkin terjadi jika ditangani oleh social engenir yang berpengalaman. Semoga
negeri ini terbebas dari pandai social yang tidak menyehatkan itu. Kita tidak
mungkin menghilangkan tokoh Sengkuni, karena pakem akan rusak tanpa sengkuni,
namun juga kita tidak mungkin menjadikan sengkuni semua, karena pakem juga
tidak akan jalan karena pelakunya sejenisl. Keragaman itu indah, akan tetapi
menjadi lebih indah lagi jika kita memadukan keberagaman itu menjadi sesuatu
yang indah.
tiap manusia membawa 'gen' sengkuni.. cuma kadarnya saja yang berbeda-beda :)
BalasHapusanyway, it's an inspiring feature, Prof.
Semoga ALLAH melindungi bangsa ini dari pemimpin2 berjiwa Sengkuni,,,,!!!,,,, yg pandai memanipulasi Fakta berpura-pura membela,padahal menindas Sang Jelata!!.,,.
BalasHapusSengkuni itu laki2 tapi dlm praktik politik kita banyak Sengkuni dari jenis perempuan jua... hopo tumon???
BalasHapusSengkuni itu laki2 tapi dlm praktik politik kita banyak Sengkuni dari jenis perempuan jua... hopo tumon???
BalasHapus