Pagi di minggu terakhir tahun
dua ribu tiga belas ini alat komunikasi berdering, diseberang sana ada seorang
sohib menceritakan ada pensiunan pejabat di Provinsi ini beberapa hari lalu
menyambangi kantor pemerintahan ditempat beliau bertugas, berang setengah mati.
Usut punya usut, ternyata pejabat yang punya kekuasaan hampir tak terbatas dulu
itu, mendapatkan perlakuan terbalik. Dulu pada waktu beliau menjadi “Tuan” di
kantor ini, semua orang hormat dengan membungkukan badan, bahkan kalau bisa
semut pun akan melakukan hal yang sama. Sekarang beliau mendapatkan perlakuan
sangat kontras. Jangankan lagi hormat ala Jepang diperoleh, ditegurpun tidak,
jika ada yang menegur hanya sekedar pembebas diri dari kuwajiban sebagai basa
basi pergaulan.
Ada dua hal tamsil di atas
dapat didapat; pertama, beliau tadi mengalami post
power sindrom, ke dua, pendidikan budi pekerti sudah lama musnah dari
sistem pendidikan, akibatnya menghormati yang lebih tua sebagai ahlak, sudah
terkikis dengan pendangan pragmatisme. Urusan pertama tidak mungkin kita bahas
di wilayah ini, kita coba melihat bagaimana persoalan kedua di provinsi ini.
Kilas balik yang dapat kita
baca kembali dari rentetan peristiwa pendidikan di daerah ini. Saat Evaluasi Tahab
Akhir Nasional, kita masih mendengar issue kebocoran yang sengaja dihembuskan oleh
oknum yang tidak bertanggungjawab agar terjadi kegaduhan, padahal jika memahami
substansial ujian tersebut, kita sudah memprediksi jika peserta duduk manis
cukup mengerjakan dua puluh butir soal dan lima belas yang benar, yang
bersangkutan pasti lulus. Karena nilai ujian sekolah sudah dipasang nilai tertinggi
semua oleh sekolah yang itu memiliki kontribusi tinggi untuk rerata nilai
akhir. Tulisan ini tidak membahas urgensi Ujian tersebut, silahkan berpersepsi
masing masing. Tetapi ada esensi dasar yang ingin disampaikan bahwa kondisi
seperti itupun masih ada yang tega membuat gaduh dengan menjual soal palsu, dan
anehnya itu ada yang membeli. Berarti masih ada sesuatu yang salah pada level
aplikasi pendidian di ranah orang tua siswa. Lagi lagi pendidikan etika dalam
menghadapi ujian sudah terkikis. Resiko ujian itu lulus dan tidak lulus, sudah
salah memahaminya dengan ujian apapun, hasil akhir “harus” lulus. Jadi mental
untuk menerima kata tidak lulus, tidak pernah dipersiapkan.
Kebijakan Wali Kota untuk
menampung warga miskin agar sekolah gratis, dengan membungkus melalui program
Bina Lingkungan, menuai kritik yang tajam. Niat baik (terlepas aroma politik
pemilu kada) yang dicanangkan itu membelah masyarakat pada tiga kelompok.
Kelompok pertama sebagai warga penduli kemiskinan, sangat mendukung karena
memberi akses pada yang kurang beruntung untuk mendapatkan pelayanan
pendidikan. Kelompok kedua, tidak setuju karena akan membuat mutu sekolah
menjadi rendah sebab memperoleh masukan yang tidak tersaring, akibatnya guru
menjadi kerja keras untuk mencapai ketuntasan minimal. Padahal itu adalah
resiko guru dalam melaksanakan tugas. Guru professional adalah guru yang
memintarkan orang bukan memintari orang. Kelompok ketiga, adalah mereka yang
ikut menang saja, dan ini paling banyak. Upaya pemerintah daerah Lampung Barat
lebih berani lagi melangkah kedepan dengan membiayai semua operasional sekolah
dan pengadaan Bus Sekolah. Sekali lagi terlepas dari aroma politik pilkada,
semua itu menunjukkan kepedulian terhadap dunia pendidikan, untuk bidang ini
raport dapat diberi bernilai baik.
Kita jangan berpuas dulu,
bagaimana dengan sisi lain. Ternyata ada catatan kelam yang juga mewarnai dunia
pendidikan kita. Kabupaten Way Kanan mencatat sejarah dengan masuknya persoalan
proses pendidikan ke ranah hukum, akibat
dari kurangnya harmonisasi pembinaan dedaktik metodik kepada guru.
Walaupun putusan bebas murni dari pengadilan adalah finalisasi keberpihakan
penegak hukum pada pemurnian ajaran pendidikan. Akan tetapi ini menyisakan
pekerjaan rumah bagi kita penyelenggara pendidikan untuk memberikan muatan
pemahaman hukum perlindungan anak bagi seluruh pemangku kepentingan pendidikan
dilapangan adalah hal yang mendesak. Kebiasaan pengerahan massa pendukung, dan
mobilisasi partisipasi kolega, tidak selamanya ampuh untuk membela rekan yang
salah.
Masih banyaknya Kabupaten yang
tidak menyelesaikan pembayaran uang sertifikasi guru, bahkan ada yang tega
menyelewengkannya seperti oknum di Kabupaten Lampung Utara, adalah tindakan
tidak bermoral pada dunia pendidikan. Dua minggu sebelum Pemilu Kada Lampung
Utara dilaksanakan, ada tokoh kabupaten tersebut menanyakan tentang peluang
petahana untuk menang. Rekomendasi yang penulis berikan dua saja, pertama bayar
uang sertifikasi guru, dan ciptakan rasa aman pada masyarakat. Jawabannya sudah
terjadi sekarang, karena etika terhadap pendidikan dilanggar, maka panenpun
yang didapat berbuli kosong. Yang lebih menyedihkan lagi masih banyak kabupaten
yang belum menyelesaikan pembayaran sertifikasi guru, dengan dalih beragam dan
tampak rasional. Posisi sub ordinat guru menjadikan posisi tawar yang selalu
merugikan guru.
Drama pun belum berakhir, di
saat guru merayakan hari jadinya, pimpinan salah satu organisasi guru “keseleo
lidah”, akibatnya fatal. Organisasi guru lainnya merasa tidak dihargai
eksistensinya. Maka terjadilah gugatan pengaduan somasi. Untung mereka para
pelaku menyadari posisi masing-masing, sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
Walau ada catatan tersisa, karena mediasi yang melaksanakan adalah fihak
eksekutif yang selama ini sering menjadi sasaran kritik organisasi guru.
Kesimpulan sementara adalah etika organisasi yang seharusnya dikedepankan pada
organisasi guru ternyata menjadi barang langka.
Guru masih menjadi titik api
yang diperebutkan dalam areal politik daerah. Di samping dana sertifikasi, juga
merupakan lahan subur untuk penyemaian pengaruh politik lokal. Guru yang
dianggap loyal terhadap kepemimpinan daerah dapat di atur menjadi kepala
sekolah dengan mengabaikan persyaratan normatif. Politik balas budi terhadap
pendukung, dan atau “pembunuhan” karier pada guru, bagai sisi mata uang yang
mudah dibalik. Pada saat menjelang berakhirnya kepemimpinan kepala daerah, maka
hukum pancung dilakukan bagi kepala sekolah yang tidak loyal. Seterusnya begitu
kepala daerah yang baru dilantik, program pertama adalah mengganti kepala
sekolah yang selama ini diduga keras tidak mendukung kepala daerah saat
pencalonan. Belum lagi aroma tak sedap sekitar setoran kepada atasan pada saat
ada even tertentu, atau bargaining untuk suatu jabatan.
Kenaikan pangkat guru juga
menjadi lahan subur bagi oknum yang selama ini berada pada lembaga yang
seharusnya menjamin mutu guru, ternyata ikut bermain mendatangi guru daerah
yang akan naik pangkat pada golongan empat. Cukup dengan uang delapan juta
semua beres. Al hasil Lampung menjadi kontributor terbesar adanya Penilaian
Angka Kredit Guru palsu yang ditemukan pada tingkat nasional. Salah seorang
deputy Badan Kepegawaian Nasional di Jakarta pernah mengatakan pada forum resmi
tidak kurang ada tiga karung PAK palsu yang dibuat oleh oknum tertentu, dan
yang menyedihkan pengirim terbanyak adalah Lampung.
Persoalan sosialisasi kurikulum
tiga belas pun masih menyisakan persoalan. Diujung berakhirnya kabinet di tahun
depan, akan menjadikan catatan tersendiri terhadap keberlangsungan kurikulum
tersebut. Presiden terpilih tahun depan tentu akan menjadikan kurikulum tiga
belas sebagai entry point perubahan pendidikan. Dengan alasan yang dirasionalkan,
maka peninjauan kembali, minimal atas nama penyempurnaan, akan mereka lakukan.
Satu kata “penyempurnaan” akan berdampak pada anggaran, mobilisasi, dan sistem.
Semua itu tidak terkecuali Lampung, dengan kondisi yang masih belum stabil,
penyebarluasan informasi diserahkan kepada anggaran masing-masing daerah,
tentunya realisasinya sangat tergantung kepada komitmen pimpinan daerah. Dengan
kondisi sekarang ini, amat sulit diprediksi akan keberhasilannya.
Bagaimana pendidikan budi
pekerti akan kita implementasikan, dipikirkanpun tidak. Kondisi paparan di atas
tentunya akan menciptakan iklim di dunia pendidikan, khususnya di Lampung
menjadikan para pemangku kepentingan mencari selamat sendiri sendiri, guna
melampaui lompatan sejarah di tahun depan. Kebanyakan pemangku kepentingan di
dunia pendidikan akan melakukan kalkulasi diri;
tetap menjadi pelaku sejarah, atau tinggal sebagai sejarah. Sipat dasar
manusia, manakala terdesak, akar rumputpun diraih untuk menyelamatkan diri.
Masih panjang catatan ini jika
ditelusuri persektor pada dunia pendidikan, khususnya Lampung. Namun semua
menjadi membisu manakala dihadapkan kepada realita perubahan. Selamat datang
2014, walau kehadiranmu disambut dengan kegalauan oleh para pemangku kepentingan
dunia pendidikan, namun atas nama waktu kau harus hadir. SELAMAT TAHUN BARU
2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar