(dibacakan pada Seminar Nasional di IAIN Raden Intan atas inisiatif Mahasiswa Program Doktor bertempat di Hotel Horizon, 10 Desember 2015)
1.Pendahuluan
Mendidik merupakan usaha sadar manusia mengorganisir lingkungan menghubungkannya dengan peserta didik sehingga terjadi proses pembelajaran. Mengorganisir lingkungan adalah upaya sadar dengan melihat potensi lingkungan kemudian merespon peserta didik sehingga terjadi transformasi menuju pada terbentuknya proses pembelajaran (Sudjarwo:2009). Mengacu pada batasan di atas; maka dapat dikatakan bahwa proses penyelenggaraan pendidikan itu merupakan usaha sadar manusia dalam melakukan transformasi, dari satu generasi ke generasi berikut.
Proses trasformasi ini termasuk didalamnya adalah transformasi nilai, baik dalam arti yang universal, maupun yang bersifat artifisial. Nilai-nilai universal seperti kejujuran, menghargai perbedaan, adalah satu contoh sistem nilai yang harus diejawantahkan di dunia pendidikan. Demikian juga dengan nilai yang bersifat artifisial seperti; sopansantun dengan orang tua, guru, teman; adat istiadat setempat. Hal ini diperlukan karena kedua duanya merupakan panduan untuk perpaduan dari sistem nilai.
Nilai-nilai universal dan artifisial ini seyogyanya sudah termuat dalam bahan ajar dari setiap jenis pembelajaran di Indonesia. Hal ini dapat kita simak dari pendapat Soedijarto (diunduh, Desember 2015) bahwa tujuan pendidikan yang selama ini dirumuskan dalam berbagai UU Pendidikan Nasional kita, akan terbaca betapa pendidikan nasional diharapkan mampu melahirkan manusia Indonesia yang;
1.Reeligius dan bermoral
2.Yang menguasai Ilmu Pengetahuan dan Keterampilan
3.Yang sehat Jasmani dan Rohani
4.Yang berkepribadian dan bertanggungjawab.
Keempat karakteristik manusia tersebut hakekatnya bersifat universal dan dalam pengejawantahannya perlu adanya rumusan operasional untuk membumikannya. Namun dapat dipastikan bahwa peran kunci untuk membumikan nilai-nilai tersebut sebenarnya adalah guru, karena guru yang memiliki otoritas menggelar pembelajaran, baik di muka kelas, maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Langkah pemerintah sudah tepat dengan meningkatkan anggaran pendidikan dan meningkatkan kualitas guru. Kedua langkah tersebut merupakan langkah yang sangat strategis guna menjadikan Manusia Indonesia yang bermartabat melalui pendidikan. Anggaran pendidikan untuk 2016 sebesar 419,2 triliun, dengan sebaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp.49,2 Triliun, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi sebesar Rp. 39,5 Triliun, Kementerian Agama Rp. 46,8 Triliun (Bambang Brojonegoro, 2015). Angka-angka tersebut merupakan terbesar sepanjang sejarah berdirinya republik ini.
Oleh Sebab itu konsentrasi kajian pada makalah ini adalah bagaimana keterkaitan antara anggaran pendidikan di sisi lain, dan Partisipasi Guru, murid dan Orang tua/masyarakat dalam mewujudkan pendidikan yang bermartabat.
2. Partisipasi Pemerintah melalui Anggaran Pendidikan
Semenjak ditetapkannya 20 % angaran pendidikan dari APBN, Indonesia secara bertahap memenuhi ketentuan undang-undang itu. Kecenderungan peningkatan anggaran dapat dilihat pada slide berikut:
Sumber : Kemendiknas 2012.
Pada tahun 2016 anggaran tersebut menjadi 419,2 Triliun, dan ini merupakan lompatan sejarah yang luar biasa, hanya persoalannya kemana arah anggaran tersebut, hal ini perlu kajian tersendiri.
Dipandang dari sudut tingkat partisipasi, maka pemerintah sudah dengan sungguh-sungguh untuk membangun sumberdaya manusia berkualitas melalui pendidikan. Pendidikan dipandang sebagai pintu masuk untuk menciptakan manusia indonesia yang bermartabat.
3.Partisipasi Guru, murid dan Orang tua/masyarakat
Guru sebagai unsur penting sebagai penyelenggara pendidikan telah disiapkan dana untuk tunjangan profesi pada tahun 2015 ini sebesar 70.252.7. milyar, dengan harapan tunjangan ini menjadikan guru menjadi lebih kapabel guna menggelar proses pendidikan yang menjadi tanggungjawabnya. Sebagai gambaran dapat dilihat bagaimana postur anggaran pendidikan dan keberpihakannya pada Guru dan Siswa berikut ini.
Sumber : Diknas, 2015
Akan tetapi tunjangan profesi ini pada proses perkembangannya menjadi “liar”, dalam arti di wilayah Pemerintah Daerah menjadi rawan korupsi, pada tataran Pemerintah Pusat menjadi wilayah sensitif secara politik. Sementara ditangan guru menjadi ranah “transaksi” untuk kepentingan pribadi. Ujian Kompetensi Guru (UKG) saja yang jelas tujuannya untuk pemetaan kemampuan guru, sering diberi makna ganda, dan dikaitkan dengan pencabutan tunjangan profesi.
Harus dipahami bahwa apapun usaha yang dilakukan pemerintah, jika tidak disertai perubahan sistem pembelajaran di muka kelas yang digelar oleh guru, maka usaha tersebut dapat dikatakan gagal.
Partisipasi murid dan orang tua/masyarakat sering dimaknai berbeda. Pada era sekarang partisipasi lebih dimaknai “apa yang sudah diberikan pemerintah kepada mereka” bukan “ apa yang mereka lakukan untuk pemerintah “ . Kehadiran negara lebih dimaknai memberikan pelayanan gratis kepada mereka. Jika merujuk pada bentuk partisipasi pemerintah dapat kita lihat ada 31.298.3 milyar tahun 2015 ini diluncurkan dana Bantuan Operasional Sekolah. Belum lagi APBD yang memberikan layanan gratis kepada biaya operasional siswa, dalam bentuk ; Baju Seragam, Uang Sumbangan Pendidikan, bahkan untuk daerah tingkat dua tertentu memberikan bantuan Bus Sekolah Gratis.
Terlepas dari penyimpangan yang dilakukan oleh oknum, ternyatan kehadiran negara sudah cukup maksimal untuk mengawal terselenggaranya pendidikan yang baik, dan menuju Pendidikan yang Bermartabat. Sekarang berpulang kepada mental penyelenggara pendidikan, terlepas peran mereka sebagai Guru, Pegawai Dinas Pendidikan, atau Orang Tua Siswa.
4.Kasuistis yang mengganggu
Keberhasilan dan keberpihakkan di atas pada ranah praksis sayangnya masih dijumpai hal-hal yang menciderai maksud baik penyelenggara negara yang dilakukan oleh oknum, baik secara individu maupun berjamaah. Hal-hal yang mengganggu tersebut diantaranya ialah:
Pemerintah Daerah
Masih ada pemerintah daerah yang melakukan pembiaran akan masalah pendidikan di daerahnya karena alasan bukan kewenangan, ketidakadaan anggaran, tidak bernilai tawar politis. Di samping adanya oknum baik secara sendiri-sendiri atau berjamaah, dengan berlindung pada sistem yang dibuat, melakukan penyimpangan terhadap penggunaan anggaran pendidikan.
Melakukan pengangkatan/pemutasian/pemberhentian Kepala Sekolah dan atau Pimpinan Penyelenggara Pendidikan lainnya dengan alasan rasional, pada hal penyebabnya sesuatu yang tidak rasional. Akibatnya keberlangsungan mutu pendidikan tidak dapat berkesinambungan. Kreteria-kreteria akademis yang telah disusun sebagai standarisasi dari suatu profesi, bisa hancur karena alasan politis.
Guru
Masih ada guru yang bersertifikasi tidak memanfaatkan dana sertifikasi guna peningkatan kemampuan mengajarnya, sehingga banyak penelitian menemukan hasil tidak ada beda kualitas pembelajaran di muka kelas, antara guru yang bersertifikasi dengan yang tidak bersertifikasi.
Dana sertifikasi lebih disimpangkan kepada kegiatan yang tidak ada hubungan dengan peningkatan kualitas guru, bahkan ada justru merusak profesionalitas guru; dengan cara melakukan “penipuan” penyusunan Angka Kredit Guru dengan cara membayar pada oknum tertentu guna memperlancar kenaikan pangkat. Akibatnya tidak ada hubungan yang signifikan antara Guru yang memiliki pangkat/golongan tinggi dengan kualitas pembelajarannya yang di gelar di muka kelas.
Orang Tua/Masyarakat
Orang tua masih banyak beranggapan bahwa sekolah tidak lebih sebagai “Panti Asuhan” untuk anak-anaknya; sehingga sekolah harus menanggung semua kebutuhan anaknya. Orang tua tidak mampu membedakan kebutuhan fungsional dan kebutuhan dasar, sehingga menuntut sekolah menyediakan semua kebutuhan anaknya. Hal ini diperparah dengan slogan dari pimpinan daerah waktu kampanye mencalonkan diri menjadi pimpinan pemerintah daerah dengan “SEKOLAH GRATIS” nya. Multitafsir tentang ini mengakibatkan partisipasi masyarakat yang dimungkinkan dalam dunia pendidikan menjadi rendah.
Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah bahwa ada hubungan yang signifikan antara ketersediaan dana yang besar, dengan disertai partisipasi semua pihak pada dunia pendidikan yang tinggi, maka mutu pendidikan akan tinggi pula. Semuanya akan bermuara pada bangsa yang bermartabat. Secara skematik, model Peran Pendidikan Menuju Bangsa Yang Bermartabat dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Sumber: Sudjarwo: 2009
5.Kesimpulan
Menyimak uraian di atas maka ada beberapa kesimpulan yang dapat kita tarik :
Pertama, bahwa negara telah dengan sungguh sungguh meningkatkan anggaran pendidikan untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, dengan harapan kenaikan kualitas pendidikan warganya akan berdampak pada makin meningkatnya martabat bangsa ini ditengah pergaulan dunia.
Kedua, bahwa apapun pembaharuan pendidikan, jika tidak menyentuh pembaharuan guru dalam menggelar proses pembelajaran; maka pembaharuan itu tidak akan berdampak pada perubahan kualitas pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Sudjarwo, 2009. Better Education Through Reformed Management And Universal Teacher Upgrading (BERMUTU), 29 Januari 2009 di Hotel Kaisar Jakarta.
Soedijarto, 2015. Makna Mengembangkan Kemampuan dan Membentuk Watak, Ilmu Pendidikan Net. Diakses 3 Desember 2015.
Bambang Brojonegoro, 3-11-2015. Di Rumah.com. diakses 4 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar