Sahdan suatu peristiwa, satu
keluarga besar memiliki kekayaan berupa tanah yang cukup luas. Keluarga ini
tampak bahagia karena memiliki tempat peternakan, perkebunan, sekaligus
persawahan sendiri. Semua kebutuhan hidup dapat mereka penuhi sendiri. Wal
hasil keluarga petani cultivation sekaligus substitution ini
hidup sejahtera. Pada saat generasi satu masih tampak gemah ripah loh jinawi,
subur kang sarwa tinandur, kata istilah pedalangan, untuk keluarga ini.
Keluarga ini di samping
memiliki kekayaan lahan, tetapi juga memiliki anak yang cukup banyak, karena
lambang keberhasilan keluarga pada waktu itu juga ditentukan antara lain oleh
banyaknya anak. Mereka menjadi anak-anak yang cerdas, tetapi karena pendidikan
belum menjadi idola dan investasi masa depan, maka tingkat pedidikan merekapun
tidak begitu tinggi. Akhirnya rata-rata mereka menikah di usia muda.
Berkah yang ada selama ini
menjadi bencana begitu orang tua mereka meninggal dunia. Harta melimpah mereka
bagi bagi dengan cara mereka. Gusti Alloh telah memberi contoh pada generasi
sebelumnya bagimana pengelolaan harta waris bisa menjadi bencana, ternyata pada
keluarga ini berulang. Tidak satu centimeterpun tanah luas tersisa. Semua
mereka jual baik dengan cara baik-baik maupun cara licik. Sisa sosial lainnya
ialah diantara mereka menjadi saling bermusuhan, bahkan dendam kesumat
terbentuk, karena merasa tidak mendapatkan hak sebagaimana menurut persepsinya.
Jadilah untuk keluarga ini Warisan berubah menjadi Kutukan.
Tamsil di atas itu untuk
keluarga yang berserak di muka bumi ini. Untuk negara juga perlu kita
pertimbangkan. Tuhan telah mewariskan di bumi ini dari tambang, hutan,
perkebunan, dan lain sebagainya. Semua berubah menjadi “Bethoro Kolo” yang siap
menelan kita karena ketidak mampuan kita mengelola alam ini dengan arif.
Berkah adanya Batubara di
sekitar Muara Enim, justru membuat orang harus sengsara berjalan di jalan macet
karena truk pengangkut batubara, Belum lagi usia jalan yang makin singkat
karena beban tonase yang berat. Bagaimana berkah hutan lindung register di
Lampung dan Sumatera Selatan berubah menjadi Kebun Sawit yang
menghancurkan tatanan sosial masyarakat. Bagaimana berkah tambang di Bima yang
berubah menjadi medan pembantaian. Bagaimana Papua yang damai berubah menjadi
medan perang karena salah kelola berkah alam yang ada.
Semua tamsil di atas
seharusnya membuat kita semua mawas diri. Ternyata sebenarnya Tuhan itu sayang
kepada kita semua, dengan memberikan limpahan kekayaan yang luar biasa
besarnya, tetapi akibat salah urus yang terjadi justru Kutukan yang datang.
Kebijakan aneh sering kita lakukan, sebagai contoh apa sudah benar kalau negara
lautan seperti kita justru mau mengkonsumsi ikan ternyata harus membeli ikan
dengan negara lain. Apa sudah benar kalau kita membeli beras ke negara lain
sementara di tempat kita ahli pertanian berlimpah, lahan pertanian luas. Semua
ini seolah menjadikan pembenaran suatu pepatah aksiomatik yang mengatakan ayam
mati di lumbung padi. Sementara itu kita sibuk berdebat yang salah ayam atau
lumbungnya.
Kerusakan alam secara fisik
dibarengi kerusakan sosial dengan maraknya aksi-aksi masyarakat yang tidak
puas, ini merupakan buah yang harus kita petik. Sangat tidak adil jika pemimpin
yang hanya ada di belakang meja, kemudian kalau Turba naik kend araan udara,
berkomentar yang tidak berdasarkan fakta. Demikian juga rakyat harus sadar jika
tidak memiliki hak di suatu wilayah, kemudian berbondong-bondong menduduki
daerah yang bukan haknya secara hukum, ini merupakan tindakan pelanggaran
hukum. Teman-teman dari Lembaga Swadaya Masyarakat juga punya tugas
kemasyarakatan untuk mereka yaitu di samping advokasi, justru yang paling penting
adalah memberi edukasi kepada mereka.
Hal
tersebut tampaknya mudah, akan tetapi sebenarnya cukup sulit untuk dilakukan
jika tidak ada koordinasi yang baik antarkita semua. Jangan biarkan rakyat
menjadi yatim piatu karena tidak mendapatkan pengayoman dari negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar