Pendahuluan
Nilai
adalah suatu makna yang terkandung dari setiap perilaku. Lebih luas juga
disebut sebagai segala sesuatu yang yang menarik bagi manusia. Sedangkan
pendidikan secara bahasa dalam bahasa Arab disebut “tarbiyah” dengan kata kerja
“rabb”. Dengan demikian pendidikan islam dimaknakan sebagai “Tarbiyah
Islamiyah”.
Pendidikan
dalam arti luas adalah usaha sadar manusia untuk membimbing peserta didik
mencapai kemandirian yang sempurna, baik jasmani maupun rohani. Sedangkan di
dalam Undang Undang Republik Indonesia N0.20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional bab I pasal 1 ayat 1 dikemukakan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik dapat aktif mengembangkan potensi dirinya
sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Sebagai
penyelenggara negara, pemerintah harus menjamin bahwa setiap warganegaranya
terlayani dengan baik akan kebutuhan terhadap pendidikan. Persoalannya adalah
apakah pemerintah mampu berperan sebagai operator sendirian dalam
menyelenggarakan pendidikan. Pada kenyataannya banyak sekali embrio
penyelenggara pendidikan dilakukan oleh organisasi, atau individu, yang secara
sadar terpanggil untuk berperan sebagai penyelenggara pendidikan.
Kesadaran
ini sudah lama tumbuh di kalangan masyarakat islam, terutama pada lembaga
pendidikan informal, dan nonformal. Sistem transformasi nilai dan sosialisasi
nilai telah lama berlangsung dengan berbagai cara/metode. Transformasi
pengetahuan keagamaan selalu disertai sosialisasi sistem nilai yang terkandung
dari apa yang ditransformasikan.
Perkembangan
Nilai Islami di Kampus
Perkembangan
nilai islami ternyata bukan monopoli Perguruan Tinggi yang berlabel agama.
Justru pada perguruan tinggi yang bersifat umum atau non agama, perkembangan
nilai-nilai keislamannya menunjukkan gejala yang menggembirakan. Kajian
keislaman berkembang baik secara kelembagaan, maupun individual. Rama Yulis
(1994:7) menulis bahwa nilai-nilai keislaman itu berkembang pada sub bagian:
1.nilai
aqidah (keyakinan)
2.nilai
syari’ah (pengalaman)
3.nilai
akhlak (etika vertical horizontal)
Bagaimana
perkembangan ketiganya di kampus:
Ad.
1 nilai aqidah (keyakinan) Yaitu berhubungan secara vertical dengan ALLOH.
Perkembangan
keyakinan keagamaan di kampus dapat dilihat dari sudut lisan, dan hakikat. Jika
diukur dari sudut lisan, maka tidak diragukan bahwa populasi umat muslim,
terutama di Indonesia Bagian Barat, dan sebagian Indonesia Tengah, dan sedikit
di Indonesia Timur, menunjukkan sesuatu hal yang menggembirakan. Akan tetapi
jika dilihat dari sudut hakikat, bisa terjadi mutu hakiki lebih besar di Timur,
kemudian tengah, baru ke wilayah barat. Dengan kata lain kuantifikasi tidak
dapat dijadikan indikasi pada kualifikasi. Posisi minoritas seolah menjadi
hukum sosial, menjadi pintumasuk terhadap jiwa militansi.
Walaupun
dalam Islam konsep keyakinan sampai di jaga oleh ALLOH dengan diturunkannya
Ayat, akan tetapi manusia masih sering berlaku tawarmenawar dengan Sang Maha
Pencipta, tidak terkecuali di dunia kampus. Hal ini dapat dilihat dari kajian
akan aqidah sering diabaikan dan lebih banyak bergerak pada lapangan teknis
metodologis. Sebagai contoh konsep menutup aurat bagi wanita ternyata dalam
wujud implementasinya bisa sangat beragam.
Kasus
lain, banyak ruang kerja, bahkan bangunan gedung memiliki sarana/prasarana
peribadatan, akan tetapi pada aspek implementasi, masih perlu kajian
tersendiri.
Ad.2
nilai syari’ah (pengalaman) yaitu implementasi dari aqidah berhubungan dengan
manusia.
Pada
tataran ini dunia kampus secara umum menunjukkan perkembangan yang sangat
bagus. Kondisi ini sangat terasa pada kampus Perguruan Tinggi non agama di
Indonesia Bagian Barat, untuk daerah Tengah dan Timur, masih perlu kajian kasus
perkasus, karena banyak variable yang ikut memberi kontribusi pada iklim yang
dibentuk menyangkut hubungan antarmanusia.
Komposisi
jumlah pengikut yang berlaku hukum mayoritas – minoritas tidak selamanya
minoritas diuntungkan atau dirugikan. Pada kondisi tertentu justru minoritas
lebih diuntungkan, sebaliknya tidak jarang terjadi factor mayoritas menjadi
penekan pada segi pengamalan aqidah.
Hukum
sosial seperti itupun di dalam dunia kampus, untuk beberapa tempat berlaku.
Konsep kesetaraan, toleransi, ternyata sering tidak seindah pada konsep teori.
Bagi kampus Pendidikan Tinggi Agama konsep tersebut tidak begitu menjadi
persoalan, karena para penghuni memiliki konsep mono, sementara pada Perguruan
Tinggi Non-agama, memiliki konsep multi. Disini menjadi persoalan jika
pengambil kebijakkan ditingkat penentu memiliki pandangan berbeda dengan
kebijakkan umum. Akibatnya aplikasi menjadi bias dan bertentangan dengan logika
nalar. Oleh sebab itu pandangan subyektif yang sempit akan muncul sebagai
mahkota dalam pengambilan kebijakkan.
Paradigma
seperti di atas menggiring massa pada kutup “Kita – Mereka, Kami – Kamu, Dia -
Saya“, . Hal ini membuat dikotomi tajam yang tidak jarang memakan korban, baik
dalam arti normative, maupun riel.
Pada
masa-masa era enampuluhan, yang pada saat itu organisasi ideology kepartaian
masuk ke kampus, peristiwa di atas menyeruak ke dalam. Bahkan tidak jarang
pemilihan suatu kepemimpinan lembaga ilmiah yang seharusnya berprasyarat
ilmiah, ternyata harus terbebani dengan syarat lain yang tidak ada hubungan
dengan perilaku ilmiah, tetapi justru dibuat halang rintang dengan syarat
ideology atau juga warna baju agama dalam pemaknaan yang sempit.
Pada
masa perjalanan setelah reformasi upaya upaya untuk mengembalikan konsep
enampuluhan ke dalam kampus, tampaknya ada. Namun seiring perjalanan waktu dan
kedewasaan berfikir masyarakat, paradigm tersebut tidak begitu popular. Hal ini
juga di kontribusi oleh variable luar, di mana tidak ada partai yang bersih
dari perilaku tercelah dalam bernegara, akibatnya ideology alternative yang
ditawarkan tidak begitu disambut dengan baik oleh generasi kampus, sekalipun
agama sering dijadikan pintu masuk.
Ad.3
nilai akhlak
Konsep
nilai akhlak (akhlakul karimah) yang mengatur hubungan dimensi manusia dengan
manusia, serta manusia dengan Tuhan, pada tataran kampus terkesan sangat
individual. Untuk Kampus dengan konsep Agama, hal tersebut sudah diterima
sebagai sesuatu keharusan. Berbeda dengan Kampus Non Agama, mereka mendudukkan
hubungan vertical diserahkan sepenuhnya kepada individu sebagai pelaku sosial.
Sedangkan hubungan antarmanusia diatur dalam koridor norma atas dasar
kesepakatan sosial tidak tertulis, dan kesepakatan sosial tertulis. Yang
terakhir tadi dapat dalam bentuk tata laku yang bernuansa akademik.
Kampus
non-agama dalam mengatur tata laku warganya tidak jarang mencari pijakkan pada
konsep tata laku agama. Kalimat kalimat “religious, beradab, ahlakulkharimah”
sering dijadikan visi bahkan misi dari kampus non agama.
Realita
sosial di atas tidak jarang menggiring pada pemahaman kepada “pengagamaan
kampus non agama”, walaupun tidak dapat dipertentangkan dengan “pensekuleran
kampus agama”. Karena kedua hal tersebut sampai hari ini masih debatable.
Masuknya
kajian keilmuan non agama ke dalam kapus agama, dan masuknya kajian agama ke
dalam kampus non agama, saat ini sedang
terjadi. Tentunya kondisi ini berdampak pada transformasi perilaku, baik atas
nama perilaku akademik maupun perilaku religious yang sedang bergumul mencari
bentuk, bahkan referensi yang dijadikan acuan.
Perjalanan
panjang transformasi seperti di atas tidak akan menemukan ujungnya, karena
interksi manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhannya akan berjalan
sepanjang hayat. Pada satu masa akan terjadi dengan dalih atas nama pemurnian
agama, maka kajian agama akan dilepaskan dari kajian duniawi, namun ada anti thesa
baru akan muncul (dan ini sedang berjalan) bahwa urusan duniawi juga harus di
urus agama.
Kedua
thesa itu berjalan seolah mengikuti teori dialektika, sepanjang perjalanan
waktu dunia keduanya terus saling silih. Terlepas dari pembenaran keduanya
(karena itu bukan kajian saat ini), bahwa keadaan itu tampak pada kampus non
agama memunculkan dialog dialog pada kelompok kelompok penggiyat kajian agama,
yang dalam kampus Perguruan Tinggi Agama hal ini mungkin justru tidak terjadi.
Keadaan
di atas pada kurun waktu tertentu menjadikan suburnya pemahaman sempit dogmatis
terhadap tata nilai. Akibatnya terjadi penyempitan serta pendangkalan akan
makna hakekat. Kondisi ini menjadi begitu rawan jika ditumpangi oleh ideology
yang tidak semetris dengan kondisi seharusnya. Sebagai contoh faham jihad
bergeser makna karena distorsi dari paham yang ditanamkan kepada sekelompok
generasi.
Kesimpulan
Revitalisasi
nilai nilai keislaman untuk kampus Perguruan Tinggi Agama pada saat ini yang
diperlukan adalah memberikan makna hakekat kepada para mahasiswanya. Hal ini dikarenakan
untuk menjaga kemurnian nilai dari paham yang justru akan membuat distorsi akan
nilai tadi.
Sedangkan
untuk Perguruan Tinggi Non Agama justru diperlukan suatu pengkajian yang
bersifat dari berbagai segi, dan penerapannya harus bersifat dogmatis. Jika
tidak, maka akan terjadi multitafsir, dan ini membahayakan pada tataran
aplikasi. Sebagai contoh kasus busana yang menutup aurat justru mengundang
sahwat.
REFERENSI
Rama
Yulis, 1994. (diunduh, 27 Agustus 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar