Hari senin tanggal tujuh
belas Desember tahun ini menjadi awal babak baru dari seorang jurnalis masuk
kedunia baru, dunia birokrasi, dia bernama Heriwardoyo. Wartawan kawakan dari
Surat Kabar ternama di Provinsi Lampung ini mengakhiri “masa kemerdekaannya”
sebagai seorang jurnalis. Sikap egaliter yang selama ini menjadi penanda bagi
seorang Heriwardoyo, harus masuk kedunia protokoler seorang Wakil Bupati yang
banyak ”remeh temeh” nya.
Heriwardoyo ( selanjutnya
di tulis HW) pada tulisan ini diposisikan pada perspektif lain, dan dilihat
dari pihak lain dengan sudut pandang lain. HW sejatinya bukan hanya seorang
jurnalis saja, akan tetapi juga seorang mediatoris. Banyak persoalan persoalan
kesenjangan, kebuntuan yang ditangani HW menjadi mencair dan memiliki jalan
keluar. Satu hal yang HW selalu ketengahkan adalah bagaimana mencari jalan
terbaik dengan sama sama menguntungkan (Win
Win Solution).
HW juga seorang moderator
yang handal. Banyak pencalonan kepala daerah yang pada saat menggelar debat
atau pencapaian visi misi, HW diperankan sebagai moderator. Tetapi HW juga
kadang berperan sebagai moderator nakal. Pengertian di sini ialah HW sering
memojokkan calon yang memang tidak siap, bahkan cenderung “dibunuh” sekalian
oleh HW. Pada waktu diluar forum beliau berkomentar calon itu “payah”, itu kata
kata khas dari HW. Pada waktu acara digelar HW sering melempar pertanyaan “bola
panas” kepada calon, terutama calon petahana. Hal ini menurut pandangan HW
perlu, karena jika petahana mampu memanfaatkan momentum ini, maka dia akan
unggul dari calon lain, sebaliknya jika tidak mampu memanfaatkan momentum ini,
maka petahana akan masuk lubang perangkap HW.
HW juga pernah menjadi tim
sukses dari suatu pemilihan kepala daerah. HW sangat piawai menjual
“dagangannya”, bahkan terkesan sebagai “juru solek” bagi sang calon. Mungkin
pengalaman menjadi Tim Sukses ini yang sekaligus tempat “sekolah” HW untuk
menjadi “calon pengantin” dari suatu ajang perebutan “kekuasaan” kepala daerah,
mengasah HW menemukenali seluk liku dari “medan perang” pencalonan suatu
kepemimpinan.
Karena latar belakang
itupula maka HW terhindar dari sasaran kampanye hitam lawan lawan
“peperangannya”. Strategi begitu matang disusun oleh HW. Daerah daerah celah
rawan, HW susun dari jauh untuk tidak masuk ke ranah public. Alhasil calon lain
tidak menemukan pintu masuk untuk mengadukaduk HW dari sisi lain.
Kondisi yang ikut membantu
HW adalah beliau bukan dari kalangan yang bersentuhan dengan kekuasaan, atau
perniagaan. Profesi Jurnalis (baca: wartawan) selama ini justru orang yang
paling sering untuk dihindari oleh penguasa dan peniaga. Bahkan banyak penguasa yang alergi jika
didatangi oleh jurnalis. Akibatnya begitu HW masuk gelanggang, maka calon lain
memandang sebelah mata akan kemampuan HW dalam membangun komunikasi dengan
calon ini.
Kerangka dasar lain yang
juga membawa keberuntungan bagi HW ialah nama. Sekalipun ini tidak begitu
relevan dan dominan, akan tetapi untuk kalangan kebanyakan (kata lain dari
kelas bawah), yang jumlahnya cukup signifikan, nama HW menjadi cepat akrab di
rasa telinga mereka. Walaupun HW sendiri kalau dikonfrontir akan tertawa
terbahak bahak, itu khas jawaban HW.
Pertanyaan tersisa
sekarang apakah jabatan HW sekarang merupakan puncak kulminasi dari cita cita
terpendam, atau pintu gerbang baru yang dimasuki. Kalau jawaban pertanyaan
pertama sebagai pilihan, maka HW akan kecewa, karena ternyata puncak itu baru
puncak rendah untuk menuju puncak yang lebih tinggi lagi. Jika jawaban untuk
kedua, maka HW pun akan kecewa, karena ternyata pintu gerbang itu masih
berlapis lagi. Masih banyak pintu pintu lain yang harus HW masuki.
Semua berpulang pada hati
nurani HW. Apa yang diucapkan Eyang Kakung Bambang Eka wijaya, dan Akang DJadjat
pada waktu acara penghantaran di kantor media ini, itu merupakan “ular ular”
dari para pinisepuh untuk dijadikan “pelita” dikala gelap, “tongkat” dikala
licin.
Pengalaman sebagai
“pewarta” yang hampir duapuluh tahun masih sedikit jika dihadapkan dengan onak
dan duri birokrasi di republic ini. Sebagai contoh pada waktu berposisi sebagai
pentholan jurnalis moto kanapa dipersulit kalau bisa dipermudah, ternyata di
birokrasi bisa terbalik kenapa dipermudah kalau bisa dipersulit. Hal lain,
kalau pada masa menjadi “Juru Mesin” di harian terbesar Lampung dikelilingi
oleh orang orang lugas dan professional, sehingga sapaan “Abang, Mas, atau
malah memanggil nama, adalah manisfestasi egalitarian HW. Itu akan berubah
semua memanggil “Bapak, Pak, beliau”, banyak lagi, dan sulit membedakan itu penjilat atau
penghianat.
Sebagai
sobat yang pernah bergaul dengan HW hanya titip pesan, jangan berubah perilaku
karena jabatan, berubah ucap karena pujian.
Keduanya bisa menjauhkan jarak yang begitu dekat, memutus rasa yang
semula mesra. Selamat berjuang sobat, Tuhan menyertai mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar