Membaca dan mendengar keinginan pemerintah
untuk menambah jam mengajar bagi guru yang semula duapuluh empat jam perminggu,
menjadi duapuluh tujuh setengah jam perminggu, saya sangat terperanjat. Ini
suara iri atau buta hati dari pemerintah yang mengangggap pekerjaan mendidik
sama dengan buruh atau tukang. Padahal produk hukum yang telah dikeluarkan
sendiri oleh pemerintah yaitu pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No
20 Tahun 2003, secara tegas menjelaskan bahwa profesi mendidik tidak dapat
disamakan dengan profesi lainnya. Profesi ini memeerlukan sejumlah persyaratan
yang tidak ringan. Belum lagi ditambah dengan Undang-undang No 14 Tahun 2005
Tentang Guru dan Dosen, yang lebih mensyaratkan lagi untuk membedakan profesi
guru dengan profesi lain.
Pada harian Minggu tanggal 9 Oktober 2011
Koran terbitan Ibu kota mengupas kesesatan berfikir tentang penambahan jam
mengajar guru. Dari sisi lain tulisan ini melihat bukan kesesatan berfikir,
akan tetapi lebih cenderung pada “iri dengkinya” birokrasi kepada profesi guru,
yang memiliki penghasilan melebihi rata-rata pendapatan pegawai negeri biasa.
Tidak pernah terbayangkan oleh banyak pihak bagaimana guru menjadi “sapi
perahan” birokrasi. Hal ini sulit diungkap karena sama halnya kita mencari
sumbernya (maaf) kentut. Ada sejumlah
borok yang patut diungkap di sini, dan sekali lagi tidak akan mungkin pelakunya
mengakui karena “rasa ada tapi tiada”
adalah ungkapan paling jitu untuk satu ini.
Pintu pertama saat di dinas Kabupaten/kota,
guru harus berhadapan dengan birokrat yang mengurus sertifikasi. Disini ada
tarif yang tidak mungkin terungkap yaitu lewat jalan tol atau jalur biasa.
Semua punya tarif yang sulit untuk dilacak. Untuk menghindar diri, dalil yang
dipakai bertameng pihak lain yang meminta, padahal itu semua inisiatif para
birokrasi.
Setelah selesai Pendidikan dan Latihan,
guru harus mengumpulkan sejumlah berkas. Lagi-lagi ini menjadi lahan subur buat
“ngerjain” guru. Semua syarat diminta, termasuk syarat yang tidak masuk akal.
Lagi-lagi akal bulus birokrasi mencari dalil, semua ini atas dasar “pelayanan”
menjadi alasan klasik. Mau dilayani, atau ditinggal. Dua resiko dibuat
kontradiktif atas nama birokrasi. Kekuasaan mulai dimainkan di sini oleh para
birokrasi untuk mendapatkan sedikit rupiah dari semua layanannya.
Pintu berikut setelah menerima tunjangan
sertifikasi, “pemerasan” gaya baru mulai tampil. Dengan alasan pelaporan, maka
“biaya balas jasa” harus dikeluarkan oleh para guru penerima dana sertifikasi.
Alasan-alasan klasik atas nama pelayanan mereka dengungkan, sehingga pemerasan
yang mereka lakukan sangat tidak kentara. Bermain di sini cantik sekali, alasan
untuk pengumpulan data, atau apalah lainnya, sehingga guru per orang
mengeluarkan sejumlah rupiah. Hal ini sudah makan korban; yaitu kasus guru
swasta yang melaporkan ke Polisi tentang kecurangan dan sertifikasi di Cirebon.
Guru tersebut di pecat dan kehilangan semua hak-haknya termasuk tunjangan
sertifikasi.
Hal di atas bukan lamunan, apalagi hayalan.
Semua itu hasil investigasi yang dilakukan secara seksama. Dari semua itu
setelah dilakukan wawancara mendalam, ternyata inti pokoknya ialah para
birokrat pelayan guru merasa iri karena gaji guru begitu besar, sementara
mereka tidak. Tat kala didesak untuk berganti peran, mereka menolak secara
halus. Tat kala dijelaskan bagaimana guru harus mempersiapan segala sesuatu
sebelum berdiri di muka kelas, mereka seolah abai tentang hal ini, bahkan
cenderung menjawab itu bagian dari tugas. Tidak terbayangkan bagaimana mereka
masuk kantor jam 9 pagi pulang jam 12 siang, sementara guru harus jam 7 pagi
sudah harus di muka kelas, dan jam 13.30 baru tinggalkan sekolah.
Puncak gunung es itu terjawab sudah, atas
nama keadilan, maka pemerintah akan memberlakukan jam mengajar guru pada 2012
menjadi 27,5 jam perminggu. Pertanyaan adilkah cara itu dipakai ?. Pertanyaan
ini tergantung siapa yang jawab, karena persoalan keadilan pada konteks ini
sangat absurd dan subyektif.
Jika guru yang belum disertifikasi akan
berkata “inilah gara-gara sertifikasi kita jadi sengsara”. Sementara yang sudah
disertifikasi “aneh ya, yang buat aturan kok melanggar aturan”. Bagi birokrasi;
“rasain tu guru”. Memang diakui tidak semua birokratnya kurang baik. Masih ada
diantara mereka yang baik dan handal. Akan tetapi apa artinya mereka jika
dibandingkan dengan dampak buruk yang dilakukan oleh segelintir orang, tetapi
merusak sistem secara keseluruhan.
Demikian “suara hati” mereka, namun
kesimpulan sudah pasti di dapat yaitu guru tetap saja guru, yang seolah-olah
harus menerima apapun “perintah” dari birokrasi. Bahkan waktu Kepala Sekolah
baru bertugas dua tahun , karena birokrasi, dalam hal ini Kepala Daerah, tidak
suka karena alasan subyektif. Kepala Sekolah dapat diberhentikan mendadak
dengan tanpa alasan.
Pada satu kesempatan di suatu lembaga yang
menggodok standardisasi pendidikan, membahas standardisasi kepala sekolah. Saya
menambahkan satu item yaitu “menurut perintah semua penguasa daerah, atau
pandai pandai menyenangkan hati kepala daerah”. Semua peserta tertawa getir,
mereka semua menertawakan diri sendiri, negaranya, dan bangsanya.
Demikain
carut marutnya dunia pendidikan kita jika berhadapan dengan birokrasi yang
tidak mau obyektif melihat kinerja guru. Kecenderungan untuk menyamaratakan,
pola Orde baru, ternyata masih melekat pada para birokrat kita. Reformasi
birokrasi hanya selogan semata, semua tergantung dari mood para pejabatnya.
Standardisasi yang telah disusun selama ini, dengan biaya yang tidak murah,
ternyata hanya tinggal di atas kertas, bagai macan ompong yang hanya pandai
mengaum, tidak mampu menggigit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar