Seiring berjalannya waktu Bulan Suci Ramadhan berakhir, muncul 1 Syawal
sebagai penanda datangnya bulan baru, lembaran baru, dan kehidupan baru yang
fitri. Menjelang berakhirnya Ramadhan pada umumnya orang menjadi sangat sibuk,
kecuali bagi mereka yang melaksanakan Saum, atau puasa. Bagi yang melaksanakan
puasa justru menuju titik akhir dari permulaan titik kesedihan yang
mendalam. Karena momentum ini menyisakan pertanyaan “Apakah kita masih diberi
kesempatan oleh NYA untuk menemui bulan suci serupa ini ditahun yang akan
datang ?”. Jangan jangan bulan ini adalah bulan suci terakhir yang dihadiahkan
kepada kita, karena tahun depan bulan itu sudah untuk orang lain yang menerima
giliran, sementara kita sudah harus kembali kepangkalan, karena habis masa
edarnya.
Kita semua tidak menyangka jika Khadafi sekalipun, pada tahun lalu
memperkirakan akan tidak lagi khusuk berpuasa karena harus berhadapan dengan
moncong senjata rakyatnya sendiri. Kitapun tidak mampu membangun prakiraan
apakah kita masih mampu berdiri solat tarawih. Kitapun tidak akan bisa
membangun prakiraan sekalipun, apakah puasa di tahun depan itu kita masih dapat
berpuasa. Semua itu misteri kehidupan yang mustahil terjangkau oleh angan
manusia.
Seiring berjalannya waktu, bertambahnya usia. Ternyata ada perubahan
dahsyat terjadi pada akhir akhir ini di dunia manusia. Peristiwa itu hanya
dapat dilihat melalui mata hati, dan dirasakan dengan nurani. Hasil
perenungan sekaligus pemaknaan akan peredaran Cakra Kehidupan, ternyata puasa
tidak membuat manusia semakin manusiawi, akan tetapi justru kehilangan akan
khitah kemanusiaan. Penumpukan harta melalui cara-cara yang tidak sesuai dengan
ajaran agama, perilaku yang kehilangan roh kemanusiaan, rasa syukur akan
karunia ilahiah sirna. Semua itu muncul bak air bah. Tampaknya puasa tidak
memupuk rasa manusiawi, akan tetapi justru memunculkan keaslian. Wajah asli
angkara murka sering muncul begitu vulgarnya. Selama ini hal tersebut ditutupi
oleh perilaku syaithoniah, sementara pada bulan suci ini mereka dibelenggu.
Oleh sebab itu wajah keaslian manusialah yang tampak pada hari hari suci ini.
Logika itu seolah akan membelokkan ke arah bahwa Puasa atau Tidak Puasa
sama saja. Logika sesat ini mewabah keseluruh segi kehidupan,
sampai-sampai seorang cendekiawan muslim mengatakan “dahulu manusia bingung
untuk menghindar akan ajakan syaiton, sekarang syaiton yang bingung karena
ajakan manusia”. Dengan kata lain manusianya lebih syaiton dari syaiton itu
sendiri, sehingga syaiton bingung “kok bisa ya, sekarang saya harus ikut
manusia yang mana ya, karena manusianya lebih syaiton dari saya”.
Guyonan sufi seperti itu memberikan makna yang lebih dalam kepada kita semua.
Itu merupakan bentuk ungkapan kemarahan dari seorang Sufi yang sudah puncak.
Hanya orang-orang yang arif yang mampu menangkap pesan hakiki dari ungkapan
tadi. Ungkapan dari pengalaman pengembaraan batin yang cukup lama dan mendalam,
tentunya. Dinding-dinding rasional sering tidak mampu menahan pengalaman
spiritualitas yang dialami oleh seseorang. Bahkan dinding ini akan runtuh
manakala berbenturan dengan peristiwa spiritual.
Persoalannya adalah bagaimana kita membangun toleransi antarmanusia
seiman karena memiliki pengalaman spiritual yang berbeda antara satu dengan
lainnya. Sementara respons sosial yang dihadapi relatif sama pada bulan suci.
Oleh karena itu tidaklah salah jika dikatakan bahwa keberhasilan seseorang
berpuasa itu hanya dapat dilihat setelah mereka berpuasa. Jika pada saat
setelah selesai berpuasa ada beda positif yang signifikan dari sebelumnya, maka
orang tersebut dikatakan berhasil dalam berpuasa. Sementara jika tida ada
perbedaan antara sebelum dan setelah berpuasa, maka orang tersebut hanya
mendapat lapar, haus dahaga saja. Selanjutnya, jika perbedaan sebelum puasa
dengan setelah berpuasa, perilakunya makin jelek, maka orang tersebut dalam
keadaan merugi.
Atas dasar hal di atas maka dapat dikatakan bahwa peristiwa itu akan
berulang setiap tahun. Lalu apa yang khas untuk saat ini. Kekhasannya adalah
masyarakat masih dibuat bingung oleh penetapan masa berakhirnya pembelengguan
syaiton. Lebih cepat apa lebih lambat, ternyata semua punya konsekwensi dan
dasar masing-masing. Simbolisasi penetapan satu Syawal merupakan puncak
pemaknaan. Bagi mereka yang berpuasa sampai pada tataran Qowas bil Qowas
tidak pernah mempersoalkan mau panjang atau mau singkat. Persoalan itu hanya
waktu. Sementara puasa adalah mesu budi dalam tataran makrifat.
Oleh karenanya tidaklah salah jika makna puasa diartikan sebagai ibadah
masal, maka akan bermakna sempit. Tetapi justru menjadi bermakna dalam arti
yang hakiki jika puasa dimaknai sebagai ibadah individual. Karena semua
larangan atau anjuran dilakukan, hakimnya ada dalam diri yang sedang puasa.
Dalam diri itu terkontrol langsung dengan tali Alloh. Oleh karenanya hasil
akhir dari ibadah puasa seharusnya berdampak positif kepada yang melakukannya.
Dengan demikian ini menunjukkan kemuliaan puasa. Dia mampu membawa individu
yang berpuasa ketataran kesempurnaan jiwa, sekaligus membawa damai pada sesama.
Persoalan baru adalah dampak sosial yang sampai hari ini kurang begitu
berbekas. Tampaknya ibadah ini hanya sebagai routinitas belaka. Seolah tugas sosial
yang berhenti pada saat lebaran tiba. Simbol simbol Fitrah, infak, Sodakoh,
menjadi berhenti total bersamaan dengan munculnya satu Syawal. Seolah satu
syawal merupakan garis pacu untuk masuk lagi kedunia nafsu, yang akan istirahat
lagi jika ketemu satu romadhon berikutnya.
Residu yang tersisa adalah bagaimana mengejawantahkan puasa pada dunia
nyata ini. Banyak diantara kita yang mampu mengemban tugas keilahian dalam
berpuasa secara pribadi, tetapi gagal dalam mengembangkannya di dunia
kemasyarakatan. Kontradiksi seperti inilah yang pada akhirnya membawa
manusia kepada routinitas kepuasaan dengan kekosongan makna dan nilai
kemasyarakatan yang berkelanjutan.
Melalui tulisan ini mari
kita berkilas balik pada diri kita masing-masing ada pada posisi mana puasa
kita yang telah kita laksanakan satu bulan penuh itu. Kejujuran hati nuranilah
yang menjawab itu semua. Semoga.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus