Pada
saat lepas landas penerbangan ke manca negara penulis duduk berdampingan dengan
seorang dokter ahli bedah, beliau menceritakan tugas yang akan dilaksanakan di
negeri orang. Perbincangan melebar kepada birokrasi perijinan untuk ke luar negeri,
sampai mekanisme pencairan dana keberangkatan, yang note bene perjalanan ini
adalah perjalanan dinas. Beliau mengeluh bagaimana persoalan yang semestinya
sederhana menjadi rumit. Berbeda dengan beliau waktu menangani pasien, yang
demi efisiensi pelayanan sering beliau membalas pesan singkat atau SMS dari
pasien sambil berangkat tidur. Beliau merasa mendapatkan perlakuan tidak adil
antara saat beliau melayani dengan saat beliau minta pelayanan karena
keharusan.
Pembicaraan
berlanjut saat kami memasuki koridor imigrasi di suatu negara, beliau dengan
bangga mengatakan, lihat orang lain ini kalau memberi pelayanan sekalipun
wajahnya beku bahkan kaku tetapi semua dilaksanakan dengan sigap, professional,
dan tidak menyusahkan. Beda saat kita ada di negara kita sendiri, sekalipun
wajah kelihatan sumringah tetapi mempersulit yang seharusnya sudah mudah.
Pengalaman
di atas menjadikan penulis tersadar bahwa di tengah masyarakat kita sedang
tumbuh “anomaly budaya”, yaitu suatu
keadaan perilaku masyarakat yang mengalami keonaran perilaku yang bersumber
dari perilaku menyimpang dari pelaku budayanya. Ciri dari budaya ini adalah
“Senang Melihat orang Susah, dan Susah Melihat orang Senang”, atau populernya
disebut “budaya SMS”.
Keadaan
dalam masyarakat banyak yang dapat kita jadikan tamsil, dan tamsil itu tidak
berhubungan dengan label dari pelakunya; dengan kata lain tidak ada
signifikansi hubungan antara variable penunjang, apa lagi penyerta, terhadap perilaku yang
ditampilkan. Dari contoh pejabat bintang empat punya kekayaan berlipat,
istripun bisa empat, rumah berapatrapat, sampai roda empat berpangkat empat.
Ada juga di seberang sana simiskin yang duduk dikursi lipat, makan hanya jam
empat, itupun hanya ketupat, tinggal di gubuk bersegi empat. Menunjukkan perilaku
yang sama, yaitu sama-sama berbudaya SMS.
Kita
sangat senang jika ditemui banyak orang dengan cara antri, atau sulit ditemui
karena memiliki jadwal padat, sehingga makin sulit ditemui maka makin penting
jabatan yang disandangnya. Kita lupa bahwa digaji oleh rakyat dari uang pajak
itu adalah untuk melayani. Tetapi karena mental senang sekali melihat orang
susah, maka merasa tersanjung jika melihat orang lain menjadikan dirinya kunci
dari segala kunci untuk nasib orang, dirinya seolah wakil Tuhan di muka bumi.
Mental
serupa ini merambah kesemua penjuru, melanda siapa saja yang tidak sadar diri.
Walhasil menjadi budaya kolektif. Untuk mengubahnya diperlukan suatu terobosan
dari para pemimpin agar memberikan keteladanan dalam bertindak. Hal ini perlu
dilakukan dengan segera karena jika dibiarkan, maka perilaku ini menjadi
karakter yang melekat. Akibat lanjut akan menjadikan cacat sejarah yang
berkepanjangan.
Data
empiris menunjukkan bahwa ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan) di Provinsi ini
dari kalangan PNS cukup besar, yaitu 1.371 Orang (Lampost, 2 April 2013). Data statistik
ini menarik, karena jangan-jangan ini terjadi karena disumbang oleh variable di
atas. Walaupun belum ada penelitian tentang ini, sebaiknya kita mencermati
fenomena ini sebagai “pertanda” bahwa
Senang Melihat orang Sudah, atau Susash Melihat orang Senang adalah
merupakan masalah kejiwaan. Oleh sebab itu upaya menghindarinya atau
memgobatinya, peran pemuka agama adalah sangat penting. Petuah-petuah agama
bukan disampaikan secara klise, akan tetapi lebih mengena secara praktis
menyentuh kehidupan sehari-hari. Untuk itu mari berbenah untuk menyongsong hari
esok menjadi lebih baik dari hari ini.
Kita
tidak bisa mengubah masa lalu, kita juga tidak bisa mengubah sesuatu yang tidak
bisa kita hindari. Satu hal yang bisa kita lakukan adalah berpegang pada Tali
Alloh, yaitu Sunah NabiNYA, dan Kitab Suci TitahNYA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar