DEMOKRASI “GRUDUK’
Oleh : Sudjarwo
Guru Besar FKIP Universitas Lampung
Pada saat menghadiri acara rapat penting di
ruang khusus: penulis duduk berdampingan dengan dua orang doktor dari ilmu yang
berbeda. Doktor pertama bidang keahliannya Fisika, doktor kedua adalah dari
Bahasa Indonesia ; sebelum rapat mulai; kami bertiga terlibat pembicaraan
menyangkut kondisi bangsa saat ini. Salah satu yang dibicarakan adalah istilah
“Gruduk” dalam bahasa Jawa yang sulit sekali dicari padanannya dalam bahasa
Indonesia terutama dalam konteks rasa. Padahal fenomena Gruduk ini sekarang
sedang menonjol. Kami sempat bernostalgia masa kecil yang juga sering grudukan
dengan teman-teman; apalagi jika musim buah, sekalipun buah-buhan ada di halaman
sendiri, tetapi jika malam hari sering menggeruduk tanaman tetangga desa.
Ternyata Gruduk sekarang menjadi tren; dan
apapun peristiwanya upaya pengerahan masa untuk menggeruduk terhadap sesuatu;
menjadi begitu menonjol. Harapan yang ingin dicapai ingin menunjukkan banyaknya
dukungan terhadap sesuatu yang diyakini menjadi keyakinan kolektif; walaupun
kebenarannya masih perlu diuji.
Peristiwa ini terjadi karena ada instrumen
sosial yang tidak berfungsi di dalam masyarakat; atau paling tidak fungsinya tidak maksimal dan tidak sesuai
harapan kolektif. Akibatnya enargi
sosial tersumbat; yang kemudian membesar karena berhimpun menjadi massa, yang
akibat lanjut mengalir menjadi “gruduk”. Menjadi pertanyaan instrumen sosial
mana yang tidak berfungsi : Tulisan ini menengarai diantaranya adalah sebagai
berikut:
1.Keyakinan terhadap hukum
Maksudnya adalah dalam masyarakat hidup
keyakinan kolektif bahwa hukum itu ada dan digunakan untuk mengawal perilaku
sosial mereka agar terjadi keharmonisan tatanan sosial, dan jika terjadi
penyimpangan terhadap tata aturan sosial; maka hukum diharapkan menjadi
pemutusnya. Jika kepercayaan akan penegakkan hukum dirasakan tidak memenuhi
harapan masyarakat; maka akumulasi ketidakpercayaan inilah yang mendorong rasa
senasib bersama, yang pada akhirnya membentuk kekecewaan kolektif atau
frustrasi masaal; yang ini salah satu diantaranya adalah memicu adanya Gruduk.
2.Kehilangan Patron Sosial
Sudah menjadi semacam aksioma sosial bahwa
setiap individu memiliki idola atau keyakinan panutan terhadap tokoh tertentu,
baik secara regional, maupun nasional. Kita masih ingat pada Jaman belum semaju
sekarang, saat Soekarno berpidato; semua rakyat mendengarkan radio
walaupun dengan susah payah, dan banyak diantara mereka mengidolakan Soekarno.
Dengan kemajuan teknologi sekarang Idola sosial terdiversifikasi kepada banyak
tokoh. Celakanya sekarang tokoh-tokoh yang semula diidolakan ditengah jalan
menurut mereka berkhianat; akhirnya massa yang terlanjur kecewa kepada tokoh
idolanya menjadi terakumulasi, dan inipun menjadi mesiu untuk terjadinya
Gruduk.
3.Adanya aktor intelektual
Perkembangan lanjut sekarang adalah adanya
aktor intelektual yang menggagas, merancang, dan sampai mendanai untuk
terjadinya Gruduk. Aktor ini bisa saja satu orang, atau beberapa orang,
tergantung dari bagaimana dan apa tujuan dari akan dilakukan Gruduk ini. Aktor intelektual ini sangat menguasai teknik
pembentukan, pergerakan, sampai pendanaan untuk menggerakkan massa. Termasuk
merancang issuw, memunculkan issue, membelokkan issue; sampai dengan membuat
kontra issue. Oleh sebab itu sangat sulit sekali menafikan bahwa adanya
pengerahan massa tidak ada aktor intelektual yang menjadi perancangnya.
Bisa dibayangkan jika ketiga hal tadi
terjadi secara bersamaan, tentunya ini menimbulkan ledakan sosial yang dahsyat
dan membahayakan keutuhan negara. Maka tidak salah dibeberapa negara
menciptakan instrumen yang bernama intelejen negara; yang bertugas mengendus
hal-hal tadi untuk segera mencari penangannya dengan cepat.
Persoalan di atas akan menjadi lebih runyam
lagi jika datangnya pelaku Pemancing Di Air Keruh; karena pelaku ini akan
menggunakan cara adu domba yang disebarkan baik melalui issue maupun media
sosial; guna mencapai tujuannya. Kelompok ini selalu ada sejak dahulu kala;
bahkan mereka ini cenderung menggunakan cara apa saja untuk mewujudkan
keinginannya.
Persoalan yang tersisa adalah bagaimana
menyikapi hal ini. Pertanyaan ini sulit sekali dicari jawabannya, karena persoalan
sosial sebagai pemantik terjadinya Gruduk untuk masing-masing daerah sangat
beragam. Variabel penyerta dan pemicu terkadang berkelindan satu dengan yang
lain. Sehingga deteksi dini adalah salah satu cara yang masih mungkin
dilakukan.
Usaha yang perlu dilakukan adalah bagaimana
Gruduk itu supaya tidak terjadi; Secara teoritis hal yang dapat dilakukan
adalah:
Pertama, mereka yang diberi amanah oleh
rakyat untuk menjadi pemimpin atau kelompok yang mewakili rakyat harus mampu
menunjukkan unjuk kerja yang memihak kepada rakyat. Kebijakkan yang diambil
harus betul-betul menunjukkan keberpihakan kepada rakyat. Jika rakyat merasa
kebijakkan yang diambil melukai perasaan rakyat atau justru menjauh dari
rakyat; tinggal menunggu saja waktunya pemimpin ini atau para wakil ini
ditinggalkan rakyat, dan akumulasninya adalah jika ada pemantik maka kejadian
ini bisa menjadi Gruduk.
Kedua, jangan membuat kebijakkan yang
merasa rakyat ditinggal sendiri. Karena jika ini terjadi rasa senasib
sepenanggungan akan mengikat mereka pada satu ikatan emosional. Ikatan emosional
ini sangat mudah untuk tersulut menjadi Gruduk begitu ada diantara mereka
muncul menjadi pahlawan; maka Gruduk akan datang bak air bah yang dapat meluap
kemana-mana.
Ketiga, distribusikan kekuasaan sesuai
dengan fungsi dan peran masing-masing, sehingga akan terjadi juga pembagian
resiko sosial dengan baik. Jika kekuasaan terpusat pada satu figur saja; maka
yang terjadi adalah kultus individu. Akibat lain akan memunculkan broker,
pembisik, dan penjilat. Jika ini yang terjadi maka pemimpin secara lambat tapi
pasti akan tereliminasi dari rakyatnya. Hal ini juga dapat membuat proses
Gruduk cepat terjadi.
Keempat, kemampuan untuk menyerap aspirasi
masyarakat langsung sangat diperlukan. Dengan katalain pendengaran para
pemimpin harus lebih tajam dari yang dipimpin. Untuk itu aksi langsung turun ke
bawah adalah usaha yang harus terus dilakukan, sehingga rakyat merasa tidak
ditinggalkan.
Lampung sebentar lagi akan masuk pusaran
politik atas nama demokrasi melakukan pemilihan Kepala Daerah, walaupun masih
cukup waktu nama para tokoh yang akan mencalonkan diri sudah membuka
ancang-ancang, bahkan jurus-jurus pemanasan sudah dilakukan. Lapangan sudah di
goyang, bendera sudah dikibar, baliho sudah disebar dilintasan jalan strategis.
Namun jarang diantara para calon mengevaluasi secara personal bagaimana reaksi
rakyat di luar para brokernya. Banyak diantara mereka yang tidak peduli dengan
itu semua, kehadiran mereka hanya karena diidorong syahwat ingin tau, ingin
hadiah, ingin jumpa teman, ingin keramaian. Jarang diantara mereka yang mau
menemukenali para calon.
Para calon hanya diGruduk karena akumulasi
kepentingan sesaat; dan jika mereka tidak menemukan apa yang diinginkan; tidak
segan-segan mereka meninggalkan begitu saja. Contoh seperti ini sudah banyak;
oleh sebab itu tidak salah jika melalui tulisan ini, dan itupun jika berkenan
untuk para calon agar berhati-hati dan sangat berhitung menghadapi pesta
demokrasi 18, karena peristiwa sosial itu sangat berbeda dengan masa-masa
sebelumnya.
Mewaspadai Gruduk adalah juga mewaspadai gejolak
sosial, apalagi menggerakkan Gruduk sekarang cukup menggunakan Media Sosial
yang tidak terlihat, oleh sebab itu antisipasinyapun sulit sekali dilakukan.
Oleh sebab itu bagi para petarung yang ingin memasuki gelanggang sudah
seharusnya mempelajari aturan-aturan formal dari pertarungan, tetapi juga
mempelajari karakteristik dari para konstituen; sehingga tidak masuk dalam
jebakan sosial yang setiap saat lapar akan memangsa siapapun. Selamat bertarung
tanpa Gruduk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar