Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Sabtu, 05 Januari 2013

SELAMAT JALAN RAMADHAN

Seiring berjalannya waktu Bulan Suci Ramadhan berakhir, muncul 1 Syawal sebagai penanda datangnya bulan baru, lembaran baru, dan kehidupan baru yang fitri. Menjelang berakhirnya Ramadhan pada umumnya orang menjadi sangat sibuk, kecuali bagi mereka yang melaksanakan Saum, atau puasa. Bagi yang melaksanakan puasa justru menuju titik akhir  dari permulaan titik kesedihan yang mendalam. Karena momentum ini menyisakan pertanyaan “Apakah kita masih diberi kesempatan oleh NYA untuk menemui bulan suci serupa ini ditahun yang akan datang ?”. Jangan jangan bulan ini adalah bulan suci terakhir yang dihadiahkan kepada kita, karena tahun depan bulan itu sudah untuk orang lain yang menerima giliran, sementara kita sudah harus kembali kepangkalan, karena habis masa edarnya.


Kita semua tidak menyangka jika Khadafi sekalipun, pada tahun lalu memperkirakan akan tidak lagi khusuk berpuasa karena harus berhadapan dengan moncong senjata rakyatnya sendiri. Kitapun tidak mampu membangun prakiraan apakah kita masih mampu berdiri solat tarawih. Kitapun tidak akan bisa membangun prakiraan sekalipun, apakah puasa di tahun depan itu kita masih dapat berpuasa. Semua itu misteri kehidupan yang mustahil terjangkau oleh angan manusia.
Seiring berjalannya waktu, bertambahnya usia. Ternyata ada perubahan dahsyat terjadi pada akhir akhir ini di dunia manusia. Peristiwa itu hanya dapat dilihat melalui mata hati, dan dirasakan dengan nurani.  Hasil perenungan sekaligus pemaknaan akan peredaran Cakra Kehidupan, ternyata puasa tidak membuat manusia semakin manusiawi, akan tetapi justru kehilangan akan khitah kemanusiaan. Penumpukan harta melalui cara-cara yang tidak sesuai dengan ajaran agama, perilaku yang kehilangan roh kemanusiaan, rasa syukur akan karunia ilahiah sirna. Semua itu muncul bak air bah. Tampaknya puasa tidak memupuk rasa manusiawi, akan tetapi justru memunculkan keaslian. Wajah asli angkara murka sering muncul begitu vulgarnya. Selama ini hal tersebut ditutupi oleh perilaku syaithoniah, sementara pada bulan suci ini mereka dibelenggu. Oleh sebab itu wajah keaslian manusialah yang tampak pada hari hari suci ini.
Logika itu seolah akan membelokkan ke arah bahwa Puasa atau Tidak Puasa sama saja.  Logika sesat ini mewabah keseluruh segi kehidupan, sampai-sampai seorang cendekiawan muslim mengatakan “dahulu manusia bingung untuk menghindar akan ajakan syaiton, sekarang syaiton yang bingung karena ajakan manusia”. Dengan kata lain manusianya lebih syaiton dari syaiton itu sendiri, sehingga syaiton bingung “kok bisa ya, sekarang saya harus ikut manusia yang mana ya, karena manusianya lebih syaiton dari saya”.
Guyonan sufi seperti itu memberikan makna yang lebih dalam kepada kita semua. Itu merupakan bentuk ungkapan kemarahan dari seorang Sufi yang sudah puncak. Hanya orang-orang yang arif yang mampu menangkap pesan hakiki dari ungkapan tadi. Ungkapan dari pengalaman pengembaraan batin yang cukup lama dan mendalam, tentunya. Dinding-dinding rasional sering tidak mampu menahan pengalaman spiritualitas yang dialami oleh seseorang. Bahkan dinding ini akan runtuh manakala berbenturan dengan peristiwa spiritual.
Persoalannya adalah bagaimana kita membangun toleransi antarmanusia seiman karena memiliki pengalaman spiritual yang berbeda antara satu dengan lainnya. Sementara respons sosial yang dihadapi relatif sama pada bulan suci. Oleh karena itu tidaklah salah jika dikatakan bahwa keberhasilan seseorang berpuasa itu hanya dapat dilihat setelah mereka berpuasa. Jika pada saat setelah selesai berpuasa ada beda positif yang signifikan dari sebelumnya, maka orang tersebut dikatakan berhasil dalam berpuasa. Sementara jika tida ada  perbedaan antara sebelum dan setelah berpuasa, maka orang tersebut hanya mendapat lapar, haus dahaga saja. Selanjutnya, jika perbedaan sebelum puasa dengan setelah berpuasa, perilakunya makin jelek, maka orang tersebut dalam keadaan merugi.
Atas dasar hal di atas maka dapat dikatakan bahwa peristiwa itu akan berulang setiap tahun. Lalu apa yang khas untuk saat ini. Kekhasannya adalah masyarakat masih dibuat bingung oleh penetapan masa berakhirnya pembelengguan syaiton. Lebih cepat apa lebih lambat, ternyata semua punya konsekwensi dan dasar masing-masing. Simbolisasi penetapan satu Syawal merupakan puncak pemaknaan. Bagi mereka yang berpuasa sampai pada tataran Qowas bil Qowas tidak pernah mempersoalkan mau panjang atau mau singkat. Persoalan itu hanya waktu. Sementara puasa adalah mesu budi dalam tataran makrifat.
Oleh karenanya tidaklah salah jika makna puasa diartikan sebagai ibadah masal, maka akan bermakna sempit. Tetapi justru menjadi bermakna dalam arti yang hakiki jika puasa dimaknai sebagai ibadah individual. Karena semua larangan atau anjuran dilakukan, hakimnya ada dalam diri yang sedang puasa. Dalam diri itu terkontrol langsung dengan tali Alloh. Oleh karenanya hasil akhir dari ibadah puasa seharusnya berdampak positif kepada yang melakukannya. Dengan demikian ini menunjukkan kemuliaan puasa. Dia mampu membawa individu yang berpuasa ketataran kesempurnaan jiwa, sekaligus membawa damai pada sesama.
Persoalan baru adalah dampak sosial yang sampai hari ini kurang begitu berbekas. Tampaknya ibadah ini hanya sebagai routinitas belaka. Seolah tugas sosial yang berhenti pada saat lebaran tiba. Simbol simbol Fitrah, infak, Sodakoh, menjadi berhenti total bersamaan dengan munculnya satu Syawal. Seolah satu syawal merupakan garis pacu untuk masuk lagi kedunia nafsu, yang akan istirahat lagi jika ketemu satu romadhon berikutnya.
Residu yang tersisa adalah bagaimana mengejawantahkan puasa pada dunia nyata ini. Banyak diantara kita yang mampu mengemban tugas keilahian dalam berpuasa secara pribadi, tetapi gagal dalam mengembangkannya di dunia kemasyarakatan.  Kontradiksi seperti inilah yang pada akhirnya membawa manusia kepada routinitas kepuasaan dengan kekosongan makna dan nilai kemasyarakatan yang berkelanjutan.
Melalui tulisan ini mari kita berkilas balik pada diri kita masing-masing ada pada posisi mana puasa kita yang telah kita laksanakan satu bulan penuh itu. Kejujuran hati nuranilah yang menjawab itu semua. Semoga.

1 komentar: