Dengan ucapan innalilahiwainailaihi rujiun untuk
akhir tahun ini kepada Lampung dan Sumatera Selatan yang telah diberi
kado oleh salah satu stasiun televisi dan YouTube dengan menampilkan
adegan sadis di dunia maya. Saya sebagai insan akademis merasa malu
melihat dan menerima telepon
serta pesan singkat dari teman-teman seantero jagad ini, ingin
mengonfirmasi kebenaran berita dan gambar tadi.
SEBAGAI orang yang beradab, saya merasa hancur lebur perasaan melihat adegan-adegan di YouTube. Terlepas kebenaran dari gambar atau adegan para pelaku, semua ini merusak dan menjungkirbalikkan tatanan kemanusiaan. Ada sesuatu yang tidak sehat di tengah masyarakat kita sekarang. Mesuji yang baru saja selesai pesta demokrasi pemilihan kepala daerah, ternyata harus menerima tambahan beban baru dengan penampilan adegan yang entah dari mana mengatasnamakan Mesuji, membangun citra negatif untuk kepentingan segelintir orang.
Apa pun alasan dan siapa pelakunya, adalah kebiadaban yang tidak terkira pada dunia yang sudah sangat terbuka seperti ini. Kepemimpinan di daerah tersebut harus berani mengambil peran untuk menjadi peneduh. Jangan hanya butuh kepada rakyat saat pilkada digelar. sementara setelah selesai, mereka dilupakan karena merasa sudah membayar suara.
Aparat keamanan yang digaji menggunakan uang rakyat melalui pajak, sudah seharusnya melindungi rakyat. Aparat juga harus bertindak adil kepada investor, bukan berarti bebas mengeruknya. Tetapi bagaimana rasa aman berinvestasi dapat terwujud. Sebab, ini juga untuk menghidupi rakyat. Saya jadi teringat surat pembaca di sebuah surat kabar harian nasional pada 16 Desember 2011, polisi mengeroyok seseorang hanya karena senggolan, kemudian yang menyelamatkan korban karena kartu tanda penduduk (KTP)-nya beralamat di kompleks ABRI. Bayangkan kalau beliau beralamat di daerah bukan kompleks ABRI, mungkin nyawanya pun tidak tertolong. Dan ironis, kejadian itu ada di Bogor yang hanya beberapa kilometer saja dari Jakarta. Jadi jika Mesuji yang memang jauh dari ibu kota, apakah ini menjadikan pengesahan/pembenaran dari suatu alasan. Jika itu yang terjadi, hancurlah negara ini.
Kasus Mesuji sangat disesalkan, dan kejadian seperti itu bukan hanya tanggung jawab operator di lapangan. Tapi juga semua unsur yang ada di atas operator sudah membuat kesalahan, minimal kesalahan itu adalah lalai. Oleh sebab itu, adalah wajar jika mereka juga harus ikut bertanggung jawab akan tindakan anak buah. Walau, bisa diduga mereka akan berdalih macam-macam untuk cuci tangan akan tanggung jawab yang ada. Korban terakhir tetap saja rakyat jelata yang kebutuhannya hanya cukup makan, sandang, dan papan. Tapi juga harus diwaspadai adanya kepentingan terselubung dari segelintir orang yang ingin memanfaatkan momentum ini. Jelas daerah Mesuji tempat persengketaan berlangsung adalah daerah hutan lindung yang harus diselamatkan. Jangan karena sudah mencuat menasional justru diperkeruh dengan menduduki areal hutan lindung yang diperjualbelikan oleh sedikit oknum yang ingin memancing di air keruh.
Menjadi ironis juga jika oknum (apakah itu aparat atau pamswakarsa) hanya karena membela ’’uang keamanan’’ dari perusahaan sawit tega menyiksa rakyat yang semestinya dilindungi. Apakah ini merupakan dampak berhala kapitalis yang melanda kita semua. Sehingga, kita lebih melindungi pemilik modal karena alasan ekonomi daripada melindungi si kecil pelaku ekonomi.
Namun demikian, nanti dulu kita memvonis karena bisa jadi kekejaman yang diunggah adalah peristiwa di tempat lain. Karena maksud-maksud tertentu, dengan kecanggihan teknologi di buat seolah-olah kejadian itu berlaku di suatu tempat. Mesuji misalnya. Jika ini yang terjadi, pembuatnya juga merupakan manusia yang tidak berperikemanusiaan karena tega merusak sendi-sendi kemanusiaan dengan menyebar fitnah.
Bila ke dua hal di atas terjadi, bangsa ini memerlukan grand design sebagai pedoman penata ulang kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita perlu memikirkan kembali pengejawantahan nilai-nilai Pancasila yang beberapa waktu ini kita lupakan. Harus ada upaya-upaya mendasar agar peristiwa itu tidak terjadi lagi. Hal ini juga merupakan pelajaran berharga bagi kita semua, ternyata di era otonomi ini rasa aman pada warga menjadi amat mahal harganya.
Pekerjaan keras lainnya yang tertinggal ialah model pendidikan seperti apa yang kita perlukan untuk mendidik bangsa ini ke depan. Pendidikan karakter, pendidikan moral Pancasila, dan lainnya hanyalah sarana. Ada hal yang lebih esensial lagi dari itu semua. Yaitu suri teladan dari para pemimpin kepada rakyatnya. Pendidikan tanpa contoh konkret dari model yang diinginkan, hanya verbalisme atau melepas kewajiban. Justru contoh yang terlanjur lepas di YouTube (untung sekarang sudah di blok) adalah hal yang sangat disesalkan.
Sisa pekerjaan rumah lainnya bagaimana upaya kita meyakinkan pihak luar dengan juga memasukkan informasi yang benar melalui dunia maya, apa dan bagaimana sebenarnya duduk perkara yang ada secara berimbang. Kita tidak perlu menutup informasi. Sebab, hal itu hanya akan membendung air bah sesaat. Kita harus belajar dari kasus Warsidi di Lampung Timur beberapa puluh tahun lalu. Bekas ekor peristiwa itu sampai kini masih terus saja ada. Selamat tutup tahun, mari kita merenung sejenak, kemudian mari menyongsong tahun baru yang sebentar lagi datang. Dengan harapan dan doa agar lebih baik kelak di kemudian hari.
SEBAGAI orang yang beradab, saya merasa hancur lebur perasaan melihat adegan-adegan di YouTube. Terlepas kebenaran dari gambar atau adegan para pelaku, semua ini merusak dan menjungkirbalikkan tatanan kemanusiaan. Ada sesuatu yang tidak sehat di tengah masyarakat kita sekarang. Mesuji yang baru saja selesai pesta demokrasi pemilihan kepala daerah, ternyata harus menerima tambahan beban baru dengan penampilan adegan yang entah dari mana mengatasnamakan Mesuji, membangun citra negatif untuk kepentingan segelintir orang.
Apa pun alasan dan siapa pelakunya, adalah kebiadaban yang tidak terkira pada dunia yang sudah sangat terbuka seperti ini. Kepemimpinan di daerah tersebut harus berani mengambil peran untuk menjadi peneduh. Jangan hanya butuh kepada rakyat saat pilkada digelar. sementara setelah selesai, mereka dilupakan karena merasa sudah membayar suara.
Aparat keamanan yang digaji menggunakan uang rakyat melalui pajak, sudah seharusnya melindungi rakyat. Aparat juga harus bertindak adil kepada investor, bukan berarti bebas mengeruknya. Tetapi bagaimana rasa aman berinvestasi dapat terwujud. Sebab, ini juga untuk menghidupi rakyat. Saya jadi teringat surat pembaca di sebuah surat kabar harian nasional pada 16 Desember 2011, polisi mengeroyok seseorang hanya karena senggolan, kemudian yang menyelamatkan korban karena kartu tanda penduduk (KTP)-nya beralamat di kompleks ABRI. Bayangkan kalau beliau beralamat di daerah bukan kompleks ABRI, mungkin nyawanya pun tidak tertolong. Dan ironis, kejadian itu ada di Bogor yang hanya beberapa kilometer saja dari Jakarta. Jadi jika Mesuji yang memang jauh dari ibu kota, apakah ini menjadikan pengesahan/pembenaran dari suatu alasan. Jika itu yang terjadi, hancurlah negara ini.
Kasus Mesuji sangat disesalkan, dan kejadian seperti itu bukan hanya tanggung jawab operator di lapangan. Tapi juga semua unsur yang ada di atas operator sudah membuat kesalahan, minimal kesalahan itu adalah lalai. Oleh sebab itu, adalah wajar jika mereka juga harus ikut bertanggung jawab akan tindakan anak buah. Walau, bisa diduga mereka akan berdalih macam-macam untuk cuci tangan akan tanggung jawab yang ada. Korban terakhir tetap saja rakyat jelata yang kebutuhannya hanya cukup makan, sandang, dan papan. Tapi juga harus diwaspadai adanya kepentingan terselubung dari segelintir orang yang ingin memanfaatkan momentum ini. Jelas daerah Mesuji tempat persengketaan berlangsung adalah daerah hutan lindung yang harus diselamatkan. Jangan karena sudah mencuat menasional justru diperkeruh dengan menduduki areal hutan lindung yang diperjualbelikan oleh sedikit oknum yang ingin memancing di air keruh.
Menjadi ironis juga jika oknum (apakah itu aparat atau pamswakarsa) hanya karena membela ’’uang keamanan’’ dari perusahaan sawit tega menyiksa rakyat yang semestinya dilindungi. Apakah ini merupakan dampak berhala kapitalis yang melanda kita semua. Sehingga, kita lebih melindungi pemilik modal karena alasan ekonomi daripada melindungi si kecil pelaku ekonomi.
Namun demikian, nanti dulu kita memvonis karena bisa jadi kekejaman yang diunggah adalah peristiwa di tempat lain. Karena maksud-maksud tertentu, dengan kecanggihan teknologi di buat seolah-olah kejadian itu berlaku di suatu tempat. Mesuji misalnya. Jika ini yang terjadi, pembuatnya juga merupakan manusia yang tidak berperikemanusiaan karena tega merusak sendi-sendi kemanusiaan dengan menyebar fitnah.
Bila ke dua hal di atas terjadi, bangsa ini memerlukan grand design sebagai pedoman penata ulang kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita perlu memikirkan kembali pengejawantahan nilai-nilai Pancasila yang beberapa waktu ini kita lupakan. Harus ada upaya-upaya mendasar agar peristiwa itu tidak terjadi lagi. Hal ini juga merupakan pelajaran berharga bagi kita semua, ternyata di era otonomi ini rasa aman pada warga menjadi amat mahal harganya.
Pekerjaan keras lainnya yang tertinggal ialah model pendidikan seperti apa yang kita perlukan untuk mendidik bangsa ini ke depan. Pendidikan karakter, pendidikan moral Pancasila, dan lainnya hanyalah sarana. Ada hal yang lebih esensial lagi dari itu semua. Yaitu suri teladan dari para pemimpin kepada rakyatnya. Pendidikan tanpa contoh konkret dari model yang diinginkan, hanya verbalisme atau melepas kewajiban. Justru contoh yang terlanjur lepas di YouTube (untung sekarang sudah di blok) adalah hal yang sangat disesalkan.
Sisa pekerjaan rumah lainnya bagaimana upaya kita meyakinkan pihak luar dengan juga memasukkan informasi yang benar melalui dunia maya, apa dan bagaimana sebenarnya duduk perkara yang ada secara berimbang. Kita tidak perlu menutup informasi. Sebab, hal itu hanya akan membendung air bah sesaat. Kita harus belajar dari kasus Warsidi di Lampung Timur beberapa puluh tahun lalu. Bekas ekor peristiwa itu sampai kini masih terus saja ada. Selamat tutup tahun, mari kita merenung sejenak, kemudian mari menyongsong tahun baru yang sebentar lagi datang. Dengan harapan dan doa agar lebih baik kelak di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar