Ketika melaksanakan tugas memantau pelaksanaan
ujian nasional (UN) di Lampung Barat, penulis merasa kembali ke alam.
Kabupaten di Provinsi Lampung yang memiliki pemandangan alam indah dan
keramahan penduduk yang santun, mendukung hajatan nasional itu menjadi
begitu kondusif.
TERLEBIH wadyabala yang menyertai penulis dari Unila relatif muda-muda dan energik. Akibatnya pekerjaan berat itu menjadi begitu ringan. Guyonan segar sering keluar dari mereka dengan multitafsir dari apa yang disampaikan.
Sumbernya dari beragam pengalaman. Ada yang dari pengalaman pribadi, tidak jarang memplagiasi dari sumber lain. Rata-rata mereka sangat bersemangat dalam menjalankan tugas, tidak jarang tugas yang dilaksanakan melampaui kemampuan rata-rata mereka. Menjadi seru lagi karena keterlibatan Polri dalam hajatan nasional ini menyatu dengan kegiatan pengamanan akademik.
Diskusi dimulai saat jeda malam, ada di antara mereka nyeletuk meminta pandangan penulis terhadap hajatan nasional ini. Dengan berat, hati penulis harus mengatakan secara jujur bahwa hajatan nasional sekali ini gagal secara moral. Mereka semua mendadak sontak diam dan terkesima mendengar pernyataan tadi. Penulis didesak untuk menjelaskan hakikat dari pernyataan tadi.
Secara kuantifikasi penyelenggaraan UN ini berhasil, karena sasaran peserta relatif kecil jumlahnya yang berhalangan tidak bisa mengikuti ujian. Secara kualitas juga semakin baik. Sebab, sajian penyelenggaraan sudah sesuai secara prosedur. Namun, secara moral sebenarnya pelaksanaan UN gagal karena kebijakan untuk melibatkan lembaga lain selain dunia pendidikan. Jelas, itu mencoreng muka penyelenggara pendidikan di negeri ini.
Melibatkan aparat keamanan, dalam hal ini Polri, tidaklah salah. Bahkan, secara pribadi penulis mengucapkan terima kasih dan salut kepada Polri. Sebab, di tengah kesibukan institusi ini, masih menanggung beban berat pengamanan soal ujian.
Namun, ini adalah aib bagi penyelenggara pendidikan karena secara moral tidak diakui lagi integritas dan kejujuran bagi penyelenggara pendidikan dalam melakukan proses transformasi nilai. Ada sesuatu yang salah dalam mengambil kebijakan dalam hal ini. Orientasi percepatan dan kepraktisan ternyata telah melanggar adagium moral yang begitu menghujam.
Integritas moral penyelenggara pendidikan dalam melaksanakan UN mendapatkan pukulan telak. Kita semua, termasuk penyelenggara pendidikan, tidak mempercayai lagi dunia kerja sendiri. Kita tidak percaya lagi kepada kepala Dinas Pendidikan, kepala sekolah, guru, dan penyelenggara pendidikan lainnya untuk sekadar mengamankan serta menyimpan soal juga hasil ujian kerja kita.
Ini adalah peristiwa yang aneh sekaligus aib bagi dunia pendidikan. Seharusnya ini menjadi bahan masukan rasionalitas kita. Apakah tega seorang kepala sekolah membongkar naskah ujian untuk dibocorkan kepada siswanya? Apakah tega seorang kepala rumah tangga membakar rumah sendiri? Apakah sudah separah itu mental kepala sekolah yang notabene adalah orang-orang pilihan dari lingkungannya sehingga menjadi pemimpin?
Secara institusi melibatkan Polri tidaklah salah, bahkan apresiasi. Namun, ada sejumlah hal keberatan yang kita ajukan. Pertama dan utama apakah penyelenggara pendidikan tidak dapat lagi menanamkan kejujuran di dalam sikap hidup peserta didik dan lingkungannya. Jika penyelenggara pendidikan tidak mampu lagi mengamankan produknya sendiri, sebaiknya penyelenggara pendidikan berubah fungsi dari pendidik menjadi tukang saja.
Jika penyelenggaraan UN akan tetap dilanggengkan di republik ini, sudah selayaknya penyelenggara pendidikan tidak hanya memutuskan dari atas Monas Jakarta. Tapi juga harus dilihat keterselenggaraannya sampai Pulau Pisang, Krui, Lambar.
Juga, di puncak Suoh, Lambar; Puncakjaya, Jayapura; dan masih banyak daerah terpencil lainnya. Sebelum diputuskan, diperlukan simulasi-simulasi yang beragam guna menemukan suatu model yang tepat. Standarisasi minimal boleh digunakan, akan tetapi realita sosial tidak mungkin kita ingkari.
Kebijakan pendidikan yang hanya berorientasi target, tidaklah selamanya benar. Ada dimensi-dimensi lain yang harus diperhatikan secara seksama. Mengingat, objek sasar pendidikan adalah manusia yang memiliki multidimensi, maka segala bentuk kebijakan tidaklah serta-merta menjadikan tujuan menghalalkan segala cara dalam mencapainya. Tujuan adalah penting menjadikan sasaran yang akan dicapai, tetapi bagaimana mencapai tujuan itu adalah jauh lebih penting.
Pertanyaan tersisa ialah dunia pendidikan sebagai pengawal kejujuran bangsa. Jika dunia pendidikan sudah tidak dipercaya, pendidikan tercerabut dari akarnya. Kepercayaan yang selama ini kita letakkan di pundak penyelenggara pendidikan ternyata mereka tidak mampu memikulnya. Menjadi ironis. Siapa lagi yang harus mengembannya? Pertanyaan ini penulis kembalikan ke hati nurani pembaca.
TERLEBIH wadyabala yang menyertai penulis dari Unila relatif muda-muda dan energik. Akibatnya pekerjaan berat itu menjadi begitu ringan. Guyonan segar sering keluar dari mereka dengan multitafsir dari apa yang disampaikan.
Sumbernya dari beragam pengalaman. Ada yang dari pengalaman pribadi, tidak jarang memplagiasi dari sumber lain. Rata-rata mereka sangat bersemangat dalam menjalankan tugas, tidak jarang tugas yang dilaksanakan melampaui kemampuan rata-rata mereka. Menjadi seru lagi karena keterlibatan Polri dalam hajatan nasional ini menyatu dengan kegiatan pengamanan akademik.
Diskusi dimulai saat jeda malam, ada di antara mereka nyeletuk meminta pandangan penulis terhadap hajatan nasional ini. Dengan berat, hati penulis harus mengatakan secara jujur bahwa hajatan nasional sekali ini gagal secara moral. Mereka semua mendadak sontak diam dan terkesima mendengar pernyataan tadi. Penulis didesak untuk menjelaskan hakikat dari pernyataan tadi.
Secara kuantifikasi penyelenggaraan UN ini berhasil, karena sasaran peserta relatif kecil jumlahnya yang berhalangan tidak bisa mengikuti ujian. Secara kualitas juga semakin baik. Sebab, sajian penyelenggaraan sudah sesuai secara prosedur. Namun, secara moral sebenarnya pelaksanaan UN gagal karena kebijakan untuk melibatkan lembaga lain selain dunia pendidikan. Jelas, itu mencoreng muka penyelenggara pendidikan di negeri ini.
Melibatkan aparat keamanan, dalam hal ini Polri, tidaklah salah. Bahkan, secara pribadi penulis mengucapkan terima kasih dan salut kepada Polri. Sebab, di tengah kesibukan institusi ini, masih menanggung beban berat pengamanan soal ujian.
Namun, ini adalah aib bagi penyelenggara pendidikan karena secara moral tidak diakui lagi integritas dan kejujuran bagi penyelenggara pendidikan dalam melakukan proses transformasi nilai. Ada sesuatu yang salah dalam mengambil kebijakan dalam hal ini. Orientasi percepatan dan kepraktisan ternyata telah melanggar adagium moral yang begitu menghujam.
Integritas moral penyelenggara pendidikan dalam melaksanakan UN mendapatkan pukulan telak. Kita semua, termasuk penyelenggara pendidikan, tidak mempercayai lagi dunia kerja sendiri. Kita tidak percaya lagi kepada kepala Dinas Pendidikan, kepala sekolah, guru, dan penyelenggara pendidikan lainnya untuk sekadar mengamankan serta menyimpan soal juga hasil ujian kerja kita.
Ini adalah peristiwa yang aneh sekaligus aib bagi dunia pendidikan. Seharusnya ini menjadi bahan masukan rasionalitas kita. Apakah tega seorang kepala sekolah membongkar naskah ujian untuk dibocorkan kepada siswanya? Apakah tega seorang kepala rumah tangga membakar rumah sendiri? Apakah sudah separah itu mental kepala sekolah yang notabene adalah orang-orang pilihan dari lingkungannya sehingga menjadi pemimpin?
Secara institusi melibatkan Polri tidaklah salah, bahkan apresiasi. Namun, ada sejumlah hal keberatan yang kita ajukan. Pertama dan utama apakah penyelenggara pendidikan tidak dapat lagi menanamkan kejujuran di dalam sikap hidup peserta didik dan lingkungannya. Jika penyelenggara pendidikan tidak mampu lagi mengamankan produknya sendiri, sebaiknya penyelenggara pendidikan berubah fungsi dari pendidik menjadi tukang saja.
Jika penyelenggaraan UN akan tetap dilanggengkan di republik ini, sudah selayaknya penyelenggara pendidikan tidak hanya memutuskan dari atas Monas Jakarta. Tapi juga harus dilihat keterselenggaraannya sampai Pulau Pisang, Krui, Lambar.
Juga, di puncak Suoh, Lambar; Puncakjaya, Jayapura; dan masih banyak daerah terpencil lainnya. Sebelum diputuskan, diperlukan simulasi-simulasi yang beragam guna menemukan suatu model yang tepat. Standarisasi minimal boleh digunakan, akan tetapi realita sosial tidak mungkin kita ingkari.
Kebijakan pendidikan yang hanya berorientasi target, tidaklah selamanya benar. Ada dimensi-dimensi lain yang harus diperhatikan secara seksama. Mengingat, objek sasar pendidikan adalah manusia yang memiliki multidimensi, maka segala bentuk kebijakan tidaklah serta-merta menjadikan tujuan menghalalkan segala cara dalam mencapainya. Tujuan adalah penting menjadikan sasaran yang akan dicapai, tetapi bagaimana mencapai tujuan itu adalah jauh lebih penting.
Pertanyaan tersisa ialah dunia pendidikan sebagai pengawal kejujuran bangsa. Jika dunia pendidikan sudah tidak dipercaya, pendidikan tercerabut dari akarnya. Kepercayaan yang selama ini kita letakkan di pundak penyelenggara pendidikan ternyata mereka tidak mampu memikulnya. Menjadi ironis. Siapa lagi yang harus mengembannya? Pertanyaan ini penulis kembalikan ke hati nurani pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar