Pada suatu acara kegiatan di Bandung, ada
seorang teman Guru Besar Muda mencurahkan isi hati mengeluh bagaimana
pelaksanaan Pendidikan Latihan Profesi Guru yang sedang berlangsung. Kami guru
besar yang sudah tua-tua ini menyimak dengan seksama apa yang terjadi.
Kesimpulan sementara ternyata banyak Betara Kala (Raja Raksasa) menjadi Betara
Guru (Raja Dewa), dari berwajah mengerikan menjadi wajah yang cekep, teduh dan
menyenangkan. Kenapa demikian, ternyata karena “sihir” sertifikasi itu bisa
mengubah wajah raksasa menjadi satria.
Dari hikayat mahabrata itu penulis menjadi teringat
nasihat sufi dari seorang Guru Mursid dengan bahasa kiasan yang sangat elegan,
dikisahkan seorang anak dara menghadap sang Guru, dengan hati gundah dia
menceritakan masalah yang dihadapi; anak dara ini memiliki dua teman anak muda.
Yang satu berwajah tampan, tetapi kelakuannya kurang begitu baik. Sedangkan
yang satu lagi wajahnya hancur, tetapi kelakuannya baik sekali. Masalahnya mana
yang akan dipilih menjadi teman hidup. Sang Guru Mursid berkata “wajah yang
hancur tidak bisa kau ubah dengan doa (waktu
itu belum ada operasi plastik), sedangkan kelakuan yang kurang baik dapat
kau upayakan dengan bermohon kepada Tuhan untuk perubahannya”. Hanya batas itu
saja wejangan Sang Guru Mursid, anak dara tadi disuruh berfikir sendiri dan
memilih sendiri.
Pendidikan berfikir tingkat tinggi seperti
ini memang sulit dicapai, namun harus diupayakan agar para guru mampu mencapai
Guru Mursid atau Guru Sejati diantaranya melalui Pendidikan dan Pelatihan.
Hanya definisi operasional dari kedua istilah itu sampai sekarang belum secara
seksama diterima oleh semua pihak. Ada sejumlah variabel yang membuat definisi operasional
tidak mampu mencakup semua pemahaman.
Demikian juga dengan konsep meningkatkan
mutu guru. Apa dan bagaimana cara meningkatkannya menjadi persoalan tersendiri,
karena kasusnya berbeda antarguru, antarsekolah, antarwilayah. Sementara
Indonesia ini menganut azaz kesamaan dalam pelayanan. Jadi tidaklah salah jika
ada yang meresahkan jika uji kompetensi dikaitkan dengan tunjangan profesi yang
sudah diperoleh selama ini.
Jika peningkatan mutu guru hanya bertumpu
pada PLPG yang dilaksanakan hanya sembilan hari, itu adalah sesuatu yang
mustahil (Jawa : ngayuworo). Justru
yang lebih penting bagaimana membina guru setelah PLPG selesai, dan siapa yang
bertanggungjawab atas pembinaan itu. Dan itu tidak bisa hanya dilimpahkan
kepada LPTK saja, atau Dinas Pendidikan saja, akan tetapi semua unsur yang
terlibat harus berkomitmen untuk menjaga keprofesionalan guru.
Unsur masyarakat menjadi begitu penting
dalam menjaga, memelihara, dan meningkatkan keprofesionalan guru. Karena
masyarakat dengan segala mekanismenya sering “memakan” genrenya sendiri,
termasuk guru bisa dilibasnya. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa-peristiwa
pendidikan yang sedang berlangsung, tidak jarang masyarakat membuat pusaran arus
yang membahayakan guru. Sebagai contoh saat penerimaan murid baru, guru justru
pusing karena ulah masyarakat yang merusak sistem penerimaan murid baru yang
telah mereka bangun. Jika aturan dilanggar masyarakat teriak paling kencang,
sementara mereka membujuk guru untuk melanggar aturan. Guru menjadi toleh kiri
toleh kanan, layaknya nonton Tenis Wembeldon, sampai-sampai kepalanya keseleo.Bahkan
ada istilah jawa yang jitu yaitu seperti “kethek
ke tulub”, bahasa Indonesianya kurang lebih seperti monyet kena senjata
tulub.
Tantangan seperti di atas baru sebagian
kecil, masih banyak bagian-bagian lain yang lebih dahsyat lagi dari itu. Semua
itu membuat Profesionalisme Guru seolah-olah selalu mendapatkan ujian dan
tantangan. Semua kembali kepada pribadi guru itu sendiri dalam menyikapi
tantangan itu. Tidak jarang guru menjadi menyerah dan prustrasi, hal ini dapat
dilihat dari kasus salah satu kabupaten di Lampung, karena berlindung pada
aturan yang kaku sampai-sampai Sat Pol PP masuk kelas hanya ingin menyidak
guru. Sementara itu ada juga guru yang telah menerima tunjangan profesi, bukan
rajin malah mengijonkan tunjangan profesinya kepada pihak lain, sedangkan dirinya
mengerjakan pekerjaan yang tidak ada kaitan dengan profesinya. Peristiwa di
atas dua-duanya salah. Pertama Sat Pol PP tidak patut kalau menyidak sekolah
apalagi kelas, karena itu kewenangan pihak lain, yaitu Pengawas Sekolah.
Sementara guru malas walau sudah diberi tunjangan sertifikasi, yang ini perlu
di Binap melalui kelembagaan.
Rupa-rupa
warna di atas ternyata merupakan pernak
pernik dari kehidupan guru. Masih banyak guru yang rajin dan jumlahnya mungkin
lebih banyak dari yang malas, akan tetapi nila setitik itulah yang merusak susu
sebelanga. Meretas rentang kendali birokrasi yang selama ini dijadikan alasan
membangun otonomi daerah, justru sebaliknya membuat taman sesat baru bagi para
guru dalam berkiprah menjalankan profesinya. Rasanya tidak salah jika ada suara
yang ingin mengembalikan pengelolaan guru ke pemerintah pusat, hal disebabkan
rasa prustrasi yang berkepanjangan dari para guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar