Gegap gempita Idul Fitri, atau yang lebih
dikenal dengan “lebaran” makin hari makin menjauh. Makin hari makin sayup
seiring berjalannya waktu, melodrama lebaran menuju pada titik keseimbangan
sedang terjadi. Dari tahun keabad irama itu berjalan seperti pada pakemnya.
Silih berganti hanya berubah yang melakoninya. Pelaku sekarang sepuluh tahun
lalu masih kanak-kanak dijepit orang tuanya mengendarai sepeda motor menembus terik
panas dan dinginnya hujan menuju satu titik yaitu mudik alias pulang kampung.
Ada diantara mereka sampai sekarang yang tetap melakoni ritual itu menggunakan
sepeda motor membawa keturunannya, ada juga yang sudah berubah membawa mobil
atau otto, sedangkan tidak sedikit yang tidak juga membawa sepeda motor apalagi
otto. Dia hanya menjadi penonton ritual itu.
Jantra ini berjalan terus dan terus entah
sampai kapan, walau titik puncaknya adalah bersimpuhnya sang anak ditelapak
kaki orang tua dalam berucap “mohon maaf lahir batin”. Ratusan kilometer bahkan
ribuan kilometer mereka lintasi untuk mencapai puncak bersimpuh dihadapan Ayah
terutama Ibu. Pemeo “Surga ditelapak kaki Ibu” atau juga “Ibu adalah Tuhan yang
tampak”, merupakan manisfestasi keagungan dari silaturahim antara orang tua dan
anak anaknya.
Sekalipun ritual ini telah berlangsung
lama, namun sebenarnya hubungan antara orang tua dan anak itu tidak lebih
seperti hubungan “mata” dengan “Ibu Jari kaki (Jempol kaki)”. Mata adalah manisfestasi Orang Tua, sementara
Ibu Jari Kaki alias Jempol Kaki adalah manisfestasi anak. Hubungan jika
digambarkan akan tampak sebagai beriku: Jika ibu jari kaki terantuk benda keras
dan rasa sakit menjelang, maka tidak terasa air mata akan meleleh. Namun tidak
sebaliknya, jika mata sakit berdarah darah sekalipun, ibu jari kaki tenang
tenang saja.
Tamsil inilah yang menggambarkan hubungan
orang tua dan anak, walaupun tamsil itu terlalu ekstrim, tetapi paling tidak
itulah rentangan arealnya. Bagaimana mudahnya dawai rasa orang tua terketuk
jika anaknya mendapatkan masalah dan akan berbuat apa saja agar anaknya keluar
dari masalah. Sebaliknya anak, tidak jarang dawai rasanya bebal jika berhadapan
dengan persoalan yang dihadapi orang tuanya.
Idul Fitri ternyata berhikma untuk menyadarkan
sang anak kembali keharibaan orang tua wabil khusus Ibunda tercinta. Idulfitri
menjadi oase antara orang tua dan anak, antara ibu jari kaki dan mata. Rentang
yang terlalu jauh dari keduanya akan berdapak pada sosial psikologis orang tua.
Oleh karenanya nilai sosial psikologis sebagai dampak ikutan nilai spiritual
yang dibawa oleh Idul Fitri ternyata memiliki kekuatan dahsyat menyatukan
antargenerasi di dalam anak keturunan manusia. Halangan jarak, waktu, biaya dan
kesulitan lain, terbayar saat dua generasi bertemu yang satu sujud ditelapak
kaki bunda, yang satu mengelus kepala sang anak sambil berdoa untuk keselamatan
bersama.
Sekalipun ritual ini tidak pernah tercatat
dalam Kitab Suci Agama Samawi, namun kenyataannya ialah anak manusia dengan
atas nama Idul Fitri, yang note bone adalah peristiwa dalam keagamaan, ternyata
sudah berubah menjadi peristiwa ritual sosial bagi anak manusia. Arus ini
hampir sama dengan arus ikan solmon pada waktu mau bertelur, dia menembus
bahaya untuk kembali ke hulu, walau berpuluh kilometer dia lalui untuk
mempertahankan generasi Solmon. Demikian juga atas nama “Labaran” semua
dipertaruhkan demi untuk satu kata “mudik”. Generasi atas nama “sungkem” kepada
orang tua, menjadikan segala galanya.
Persiapan individual ini menjadi persiapan
kolektif yang kemudian mampu menembus kebutuhan negara. Kita bisa lihat sepuluh
tahun terakhir bahwa anggaran perbaikan transportasi dan konsumsi selalu
dikaitkan dengan kebutuhan lebaran. Sekalipun lebaran lebih dekat dengan ritual
agama, tetapi Indonesia bukan negara agama.
Peminat mudik ternyata bukan surut sekalipun
dihadapkan dengan data statistik tingginya kecelakaan karena ritual ini. Tetapi
justru sebaliknya makin tahun angka statistik menunjukkan kecenderugan makin
tinggi peminatnya. Bahkan mudik menjadi katarsis sosial untuk meratakan
pendapatan antarwilayah. Pemerataan rupiah ini bahkan mengalir begitu deras sehingga
negara harus ikut campur tangan, paling tidak menjadi regulator.
Semoga ritual mudik menjadikan kita juga
memudikkan diri keharibaan Illahi dalam kontemplasi, sebelum mudik secara
individual untuk menuju kasidanjati haribaan Illahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar