Sore itu puasa hari ke tigabelas, penerbangan dari Pontianak baru
mendarat. Dengan makanan ringan yang disediakan oleh maskapai penerbangan, saya
berbuka puasa. Dengan badan terhuyung karena letih, harus lanjut menuju satu
hotel di ibu kota untuk melanjutkan rapat dengan koorporit lainnya. Ditengah
jalan saya dikejutkan dengan berita buronan kelas kakap tertangkap di suatu
negara yang jauh sekali. Berita itu tidak begitu mengejutkan, justru yang
membuat terperangah adalah biaya carter
pesawat seharga empat milyar. Lamunan gila saya mulai muncul berapa banyak
cendol disediakan kalau uang sebegitu banyak dibelikan untuk berbuka puasa. Berapa banyak fakir miskin yang dapat kita
santuni dengan cendol sebegitu banyak. Atau berapa masjid yang dapat kita beri
sumbangan untuk membeli ambal guna digelar pada waktu solat Id.
Cerita lain menjadi lengkap pada waktu melihat berita televisi satu
stasiun tertentu yang menayangkan adanya organisasi keagamaan yang sedang
menjalani ritual puasa, tega mengobrak abrik kedai makan yang buka di siang
hari. Memang kedai itu tidak layak untuk buka, dan harus tutup. Tetapi sebagai
agama pembawa kedamaian rasanya memilih cara untuk mengobrak abrik tempat
mencari makan rakyat kecil serupa itu rasanya tidak begitu pas. Bahkan umat lain
menagkap jangan-jangan itulah tontonan yang benar dari agama tadi. Saya sebagai
penganut agama tadi menjadi prihatin.
Apakah tidak ada cara lain yang lebih terhormat dan agamais dalam bertindak,
sementara kita sedang berpuasa.
Suguhan itu belum selesai di sana. Pada waktu membaca harian terbitan
Ibu Kota, hati menjadi miris, karena ada pasangan suami istri tega gantung diri
karena sudah tidak kuat menahan himpitan kemiskinan. Daerah beliau ini tidak
begitu jauh dari Ibu Kota Negara. Rasa pilu menyelimuti hati penulis begitu
membaca berita sang Bapak dan Ibu sudah berupaya menghidupi keluarganya dengan
bekerja apa saja. Akan tetapi keberuntungan belum memihak kepadanya. Akhirnya
jalan pintas yang beliau lakukan, walaupun jalan itu menyisakan sejumlah
persoalan baru bagi anak-anak yang ditinggalkan.
Logika di atas jika dimasukkan ke dalam pemikiran matrik, maka: Logika
pertama, jika uang empat milyar dibagikan kepada organisasi masa untuk
pembinaan organisasi, sehingga tidak berperilaku anarkhi dalam pola perjuangannya,
berapa banyak organisasi jika setiap
organisasi diberi bantuan empat juta rupiah. Logika kedua, berapa banyak
keluarga miskin yang dapat terbantu jika uang empat milyar itu dibagi limaratus
ribu perkeluarga. Logika ketiga, jika uang tersebut kita belikan cendol, berapa
tenaga kerja yang akan terlibat untuk mengerjakan borongan gila itu. Jadi
logika ini tidak harus dipilih karena sekalipun melibatkan banyak tenaga kerja,
tetapi tidak memiliki nilai guna sama sekali, sama halnya uang tersebut untuk
menjemput buron.
Kondisi ini sebenarnya sama dengan menyinggung aspek rasa keadilan
bersama bagi warganegara. Oleh sebab itu negeri ini memerlukan pimpinan yang
memiliki kompetensi sosial dalam
memimpin. Sensitivitas sosial sangat diperlukan bagi seorang pemimpin negeri
ini sehingga dapat menangkap kesejangan sosial yang melebar, untuk segera
membangun jembatan agar semua terjalin secara utuh dan berkesinambungan.
Peristiwa serupa ini sebenarnya sudah ada tamsil di dalam Kitab lama,
yaitu pada masa kekhalifahan, dimana dikisahkan seoran halifah yang pada waktu
malam hari mendengar rakyatnya menangis. Beliau kemudian menghampiri sumber
tangis tadi. Ternyata ditemukan seorang Ibu sedang merebus batu. Tatkala
ditanya apa alasan Sang Ibu merebus batu, ternyata itu adalah cara beliau
menenangkan putranya yang sedang kelaparan. Sang Ibupun mengatakan bahwa
Khalifah tidak pernah tahu tentang nasib rakyatnya. Sang Khalifah tersontak
seperti diingatkan, sejurus kemudian Khalifah mengambilkan gandum dengan cara
memanggul sendiri untuk memberikannya kepada sag Ibu. Ini adalah cara Khalifah
menebus dosanya kepada rakyatnya. Beliau tidak memerlukan pencitraan di muka
umat, akan tetapi lebih mengutamakan keridoan keilahian dimuka Sang Pencipta.
Ada hikayat lain yang amat Indonesia banget (menggunakan bahasa gaul
anak muda sekarang), yaitu pada waktu Sultan Hamengkubuana ke IX pulang dari
turba kendaraan Jeepnya disetop oleh Simbok pedagang Pasar Bringharjo. Simbok
minta tumpangan Supir Jeep untuk mengangkat barang-barangnya. Supir (Yang
Sultan itu) dengan cekatan membantu Simbok. Sesampai di Pasar Bringharjo,
beliaupun menurunkan barang-barang Simbok. Tatkala Jeep sudah berlalu, maka
Simbok Bakul pingsan begitu diberi tahu oleh temannya bahwa yang ditumpangi
tadi adalah Ngersodalem Kanjeng Sultan Yogja Ke IX.
Pertanyaan tersisa dari tamsil-tamsil di atas, masihkah ada hati nurani
pada pemimpin-pemimpin bangsa ini, sehingga uang empat milyar ditegakan untuk
mengusung sang kuruptor kembali. Janganlah hati rakyat terus dilukai dan
diciderai. Janganlah perasaan mereka dibiarkan membuncah melihat dagelan yang
kita tampilkan. Saya sangat risau andaikata klimak luka hati itu berubah
menjadi apatisme.
Akan sangat mahal ongkos sosial yang harus dibayar oleh negara ini jika
rakyatnya menjadi apatis. Semua dibiarkan berlalu dan jika mereka diminta
partisipasinya dalam suatu even, mereka serentak koor “mana uang rokoknya”.
Mereka bersikap begini karena mereka muak melihat perilaku pemimpinnya.
Pemimpin bergelimang uang sementara rakyat menderita bak tak berkesudahan. Dari
antri BBM sampai dengan antri beras gratis dilakoni, sementara segolongan elite
menikmati preveless yang luar biasa banyaknya.
Marilah
dengan sisa puasa yang tinggal hitungan mundur ini kita semua kembali kejalan
yang benar, ke jalan yang mendapatkan redho dari pemilik kehidupan ini.
Kefanaan dunia ini akan nikmat kita rasakan jika terhubung erat dengan
keabadian surgawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar