Pada suatu kesempatan acara dinas di
Semarang, saya dan sekretaris ditempatkan pada sebuah hotel yang cukup asri.
Pada waktu memandang ke luar lewat jendela tampak dari kejauhan tepi pantai
Laut Jawa yang membiru. Sosok kenangan masa lampau bergantian muncul bagai
adegan film yang mengalir. Kesan ombak yang menggelora memecah pantai begitu
membuat mata terkesima. Dari jauh tampak para nelayan mengayuh dayung menuju
pantai membawa hasil tangkapan, mereka bersyukur Bahan Bakar Minyak tidak naik,
tetapi mereka juga bersedih barang kebutuhan pokok sudah terlanjur naik. Tampak
dihitam legam kulit mereka derita itu makin melekat. Mereka hanya bermimpi
menjadi kaya, tetapi entah kapan semua terwujud.
Perjuangan yang begitu melelahkan sepanjang
hari, bahkan tidak jarang sepanjang hayat harus mereka pikul akibat dari
keraguan pemimpin bangsa ini dalam bertindak. Beban berat yang menghimpit ini
terus mereka pikul. Mereka hanya menebar harap menuai asa, itulah nasib pada
posisi yang ditentukan, bukan menentukan.
Pada kesempatan berbeda saya bertemu
seorang Ibu yang tampak bersungut sungut, setelah terjadi dialog beliau ini
adalah seorang guru SMA. Beliau mengeluh karena kebijakkan maju mundur dari
pemerintah. Semula BBM akan naik, akibatnya semua barang dan jasapun berlomba
naik mendahului. Tetapi begitu BBM batal dinaikkan, semua barang dan jasa yang
sudah naik tadi tidak turun ke harga semula. Akibatnya guru ini menjadi pusing
tujuh keliling bagaimana harus menyiasati hidup.
Ternyata semua ini akibat dari keputusan
tarik ulur dari kepentingan yang berlindung pada satu kata “atas nama rakyat”.
Walaupun jika di tanya rakyat yang mana, tidak ada jawaban pasti. Jika ditanya
lebih jauh jawabannya “tanyakan pada langit yang membiru”. Karena makin tidak
jelasnya peran kita masing-masing. Atas
nama demokrasi siapa saja dan kapan saja boleh komentar apa saja dan jadi apa
saja. Akibatnya korban terakhir adalah rakyat.
Ternyata harga demokrasi itu mahal sekali
terutama biaya sosial yang diperlukan. Namun itu belum seberapa dibandingkan
dengan perilaku anomali dari para pelakunya yang tidak paham akan makna
esensial demokrasi. Akibatnya model perilaku yang ditampilkan menjadi tidak
sinkron dengan patron yang seharusnya. Akhir
nya kita bisa melihat dan merasakan bagaimana tidak satunya perilaku dengan
peran yang sedang dilakonkan seseorang.
Menjadi makfum jadinya jika ada anggota
terhormat semula ngotot untuk membela kepentingan rakyat, ternyata setelah saat
saat terakhir untuk mengambil keputusan, dengan ringannya meninggalkan rakyat
dalam penuh harap.
Demokrasi yang selama ini akan kita capai
dengan jalan reformasi, ternyata ditengah jalan untuk beberapa bidang justru
berubah menuju jalan deformasi. Peristiwa ketidaksetujuan akan adanya Patung
seorang tokoh lokal, dapat berubah menjadi amok massa, karena ada
kepentingan-kepentingan politik lokal yang bermain di sana. Pembakaran kantor
pemerintah yang berawal dari perbedaan persepsi politik, ternyata juga
bersumber dari bermainnya kepentingan politik lokal yang mengatasnamakan
rakyat.
Ketidak pastian ini ditambah dengan kegamangan
aparat penegak hukum untuk menindak pelaku anarkhi, dalam konteks pelanggaran
Hak Azazi Manusia (HAM), maka sempurnalah jadinya tampilan perilaku menyimpang
dari mansyarakat yang anomali itu. Kita bisa bayangkan jika seorang pimpinan
wilayah keamanan tidak mau berbuat apa-apa karena takut kebijakkan yang diambil
akan melanggar HAM. Kemampuan yang bersangkutan secara akademik tentu sangat
dipertanyakan, terutama tentang tata aturan dalam perundangundangan.
Kondisi nyata ini menunjukkan bahwa rakyat
sudah kehilangan pemimpin, yang ada sekarang hanya seorang kepala. Pemimpin dan
Kepala memang dua konsep yang sangat berbeda. Pemimpin lebih pada mengayomi dan
melayani, sementara kepala lebih minta dilayani dan didahulukan dalam segala
hal. Karena yang ada adalah Kepala,
sehingga tugas-tugas kepemimpinan tidak dapat diselesaikan dengan baik.
Wal
hasil semua berpulang kepada kita. Kata-kata frustrasi sering muncul “dilarang
jadi rakyat” karena setiap saat harus siap menjadi korban. Perilaku akhir yang
sering kita tampilkan adalah memandang langit biru yang jauh di sana seraya
sambil menitip pesan “sedang apa kau di sana”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar