Sebentar lagi kita semua akan merayakan hari kemerdekaan, yang
masyarakat awam menyebutnya “Agustusan”. Namun pada tahun ini ada yang luar
biasa yaitu dirayakan pada bulan puasa. Tahun Seribu Sembilan Ratus Empat Puluh
Lima dulu, tujuh belas agustus juga jatuh di bulan puasa bahkan hari jum’at.
Dilihat dari “ngelmu klenik” tanggal
itu menjadi sakral banget karena jatuh dihari jumat, dan bulan puasa. Tetapi
dari kacamata “ngelmu kasunyatan” itu
biasa biasa saja. Tidak ada hari atau waktu yang istimewa, semua sama.
Kita tidak berhenti pada soal waktu, tetapi esensi waktu itu menjadi
persoalan penting. Jika kita lihat dari dekatnya waktu Upacara Peringatan Hari
Kemerdekaan dengan Hari Raya Idhul Fitri, ternyata sangat “jumbuh”. Karena yang
satu merayakan Hari Kemerdekaan Bangsa dari penjajahan bangsa lain, peristiwa
yang satunya adalah hari kemenangan dari penjajahan hawa nafsu.Kedua kado
kebebasan keilahian itu jika kita cermati mengandung unsur yang sangat sakral.
Pada satu sisi kita bicara berhubungan dengan keilahian, maka kedua
peeristiwa itu adalah anugerah yang luar biasa besarnya dan dahsyatnya dari
Sang Pencipta. Berapa banyak kerabat, saudara, handaitolan kita yang tidak
dapat menikmati kedua bulan berkah itu datang. Ada yang sudah mendahului kita
menghadap Sang Kholik, ada yang masih tergeletak di Rumah Sakit, dan masih
banyak lagi aral melintang. Bagi kita yang diberi peluang untuk menikmatinya
oleh Sang Pencipta, maka patut bersyukur.
Kebersyukuran kita terhadap nikmat itu tentu dengan berbagai cara yang
kita mampu untuk melakukannya. Hanya dengan satu persyaratan ihlas. Kata ihlas
ini mudah sekali diucapkan akan tetapi sangat sulit untuk melakukannya. Ihlas
dalam pengertian keilahian adalah perbuatan yang didasari atas ketulusan budi
tanpa sedikitpun pamrih kecuali ridho ilahi. Menjadi pertanyaan sekarang berapa
banyak perbuatan kita setiap hari yang bernuansa ihlas ini, tentunya semua
berpulang kepada hati nurani kita masing-masing.
Kedua substansi kemerdekaan itu mampu mencampai relung relung sumsum
kita, jika kita mampu menangkap esensi keduanya secara benar. Oleh karena itu
pekik “Merdeka atau Mati” pada jamannya, ada semacam nilai magis yang melekat
pada kalimat itu. Berbeda sekali jika itu kita ucapkan sekarang. Nilai itu
menjadi berubah dan rasanya hambar hambar saja. Sekarang bukan kata itu yang
memiliki nilai magis dalam pengertian luas. Kata kata “Berpangkat,
Berkedudukan, Berkekayaan” dan masih banyak lagi, mungkin itu yang memiliki
nilai magis yang menarik orang untuk “mendewakannya”.
Pergeseran nilai ini menjadikan
kita harus waspada, karena jika tidak secara jernih kita melihatnya, maka atas
nama kemerdekaan kita akan hanyut bersamanya. Atas nama kemerdekaan pula kita
bisa berbuat, berkata semaunya, tanpa juga melihat kemerdekaan orang lain.
Peristiwa hari-hari sekarang dapat kita lihat, jika ada diantara kita melanggar
rambu lalu lintas, atau berkendaraan membahayakan orang lain, dan yang
bersangkutan kita peringatkan, atau kita tegur, yang terjadi justru yang
melanggar menjadi marah besar. Kemaraahannya itu berdasar kepada “kemerdekaan
ngawurnya”. Oleh sebab itu pada kalangan bawah sekarang mulai tumbuh atau hidup
nilai “Yang Waras Ngalah”. Hal ini terjadi karena sulit membedakan antara orang
“Merdeka” dengan orang “Ngawur”.
Semoga
dengan bersamanya perayaan akbar kedua “hari kemenangan” dirayakan pada bulan
yang sama dengan tautan hari yang tidak jauh, dan sama-sama menuju pada “hari
pembebasan”, maka kemenangan yang esensial akan kita peroleh yaitu kemenangan
melawan hawa nafsu kita masing-masing. Merdeka dari nafsu-nafsu jahiliah dan
merdeka dari jajahan nafsu-nafsu serakah. Selamat Menjelang Hari Kemerdekaan,
dan Selamat Menjelang Hari Kemenangan Satu Syawal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar