Mendengar dan melihat tayangan media massa
berkaitan dengan nasib Khadafi, hati merasa miris. Betapa mengerikan dan
tragisnya seorang Khadafi yang gagah perkasa itu, di kuyo-kuyo oleh bangsanya sendiri saat akhir masa hidupnya.
Berbeda seratus delapan puluh derajat jika dibandingkan dengan Khadafi satu
bulan lalu yang masih tampak gagah perkasa.
Sebagai warganegara saya tidak berkeinginan
mencampuri urusan dalam negeri Lybia, akan tetapi ingin mengambil hikma dari
peristiwa tersebut, itupun dilihat dari sudut kecil kehidupan yaitu pendidikan.
Memang tampaknya aneh, apa hubungan Khadafi dengan pendidikan. Dua variabel itu
secara langsung tidak ada, tetapi melalui sejumlah variabel antara ternyata
ada.
Sesuatu yang patut dicermati, Khadafi tidak
suka Barat, tetapi anaknya ada yang keluaran sekolah dari Barat. Awalnya
memusuhi Barat, terakhir dekat dengan Barat. Akibatnya dia dihabisi oleh Barat.
Sekali lagi saya bukan anti barat, tetapi sekedar analisis untuk pintu masuk
kepersoalan inti; yaitu seolah-olah ada sesuatu yang hilang.
Rezim-rezim otoriter di dunia ini pada
umumnya melakukan kesalahan sejarah
dengan mengabaikan faktor-faktor kemanusiaan, bahkan justru melakukan tragedi kemanusiaan.
Sedangkan faktor kemanusiaan ini merupakan residu sejarah yang menjadikan
anutan dari suatu proses pembelajaran sosial. Khadafi menjadi korban dari
utopia kekuasaan yang tanpa batas, lebih abai lagi dia tidak membangun pondasi
pendidikan karakter bagi bangsanya, sehingga warga lybia tidak merasa bangga
dengan negaranya.
Ini contoh bagi kita bangsa Indonesia, jika
kita abai akan pendidikan karakter bangsa, maka kita akan mudah dimasuki oleh
pihak luar dengan mengatasnamakan demokrasi, kebebasan, atau apalagi lainnya.
Semua itu merupakan topeng untuk meluluhlantakkan bangsa dari konsep ideologis.
Padahal sejatinya negara-negara kapitalis itu hanya bermotifkan ekonomi, yaitu
penguasaan sumber daya alam terutama minyak bumi.
Kata kunci pendidikan yang berkarakter khas
bangsa indonesia perlu kita bangun agar pada waktunya nanti tercipta benteng
ideologi. Kalau Jepang punya semangat Boshido, Indonesia harus punya semangat
Pancasila. Kita harus meredisain ulang pendidikan karakter bangsa yang berjiwa
pancasila. Laboratorium Pancasila yang pernah ada di suatu perguruan tinggi di
Jawa Timur, kita hidupkan kembali dengan diberi tugas merancang kembali
Pendidikan Karakter Bangsa yang memiliki roh Pancasila.
Pola pendidikannya tidak perlu seperti P4
jaman lalu, tetapi ditebarkan kepada semua elemen bangsa dengan cara-cara
ilmiah persuasif edukatif, bukan doktriner. Usaha-usaha yang sekarang sudah
dilakukan perlu percepatan, karena jika dengan pola seperti sekarang, maka kita
akan tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Kita bisa belajar dari kasus Irak,
kasus Afganistan, kasus Lybia, kasus-kasus negara lain, yang karena tidak
memiliki jati diri bangsa yang berakar dari proses pendidikan karakter bangsa,
maka bangsanya mudah dikoyak-koyak oleh kepentingan negara lain.
Apapun motifnya, dan apapun alasannya, jika
negara lain sudah ikut menohok atau mengobok-obok suatu bangsa dengan melalui
ideologi, maka tinggal menunggu kehancuran dari bangsa itu. Ideologi lain tidak
perlu kita musuhi, justru harus kita pelajari. Akan tetapi bukan berarti kita
menjadi “budak” ideologi bangsa lain. Kita harus memiliki jati diri yang khas
indonesia. Ideologi khas Indonesia.
Oleh sebab itu saya sangat menganjurkan
utuk mempelajari konsep milik bangsa sendiri, seperti kepemimpinan Nusantara,
kesejarahan Nusantara, pandangan hidup Nusantara, model-model sosial, yang
semua bercirikan khas bangsa Indonesia.
Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya
dilakukan ialah; di samping melestarikan nilai-nilai luhur bangsa, juga perlu
dipikirkan model regenerasi yang bukan dalam arti hanya tumbuh dan tampilnya
orang-orang muda baru, akan tetapi bagaimana me-regenerasi-kan
ideologi-ideologi bangsa kepada generasi penerus melalui suatu sistem yang
dapat di pertanggungjawabkan. Ideologi bukan dimaknakan sebagai dogmatik
tertutup, akan tetapi dogmatik terbuka; dalam artian tetap membuka diri dari
pembaharuan.
Persoalannya sekarang bagaimana kita dapat
“meregenerasikan” ideologi dengan baik jika sistem pendidikan kita
terkontaminasi dengan ideologi “mumpung” seperti sekarang ini. Mumpung kuasa,
mumpung menjabat, mumpung mumpung lainnya. Sehingga ideologi praktis kekinian
lebih berkembang dari pada ideologi masa depan.
Secara
ideologis sebenarnya kita lebih kritis dari Lybia, hanya saja siapa yang harus
memulai langkah besar memperbaiki bangsa ini melalui tatanan paling dasar ini,
yaitu penanaman ideologi bangsa secara sistimatis dan masif, sehingga kita
tidak kehilangan jati diri bangsa. Mari kita bertanya pada diri sendiri,
Siapkah kita ?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar