Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Jumat, 19 April 2013

UJIAN NASIONAL SETENGAH HATI


Seiring perjalanan waktu Ujian Nasional bergulir lagi. Gemuruh armada anak manusia menuju titik perhelatan Kenduri Nasional di seluruh antero Nusantara. Namun tuai yang dijalankan tidak seindah yang direncanakan. Hari pertama sudah sebelas Provinsi tersingkir sebelum perang. Dengan alasan klasik kendala teknis menjadikan acara batal, dan ini adalah alasan yang sempurna. Akibatnya pemangku kepentingan mempertanyakan keseriusan penyelenggaraan dengan dana milyaran atas nama kualitas.
Bagaimana pula esensi yang terjadi di meja ujian. Peserta ujian sebenarnya sudah mengantongi tiket masuk 3,2 jika sekolah memberi “nilai kasih sayang” angka delapan semua pada ujian sekolah. Dan menjadi 3,6 jika nilai itu menjadi “nilai keberuntungan” dengan ditebar angka Sembilan. Total bobot empatpuluh persen milik sekolah ini sudah mereka kantongi sebelum berlaga di Ujian Nasional. Jika Soal Ujian Nasional dikerjakan dengan benar lima belas soal sampai dengan duapuluh soal saja, maka peserta ujian sudah mengantongi kelulusan pada level standar minimal. Ini berarti tidak perlu terlalu seriuspun peserta ujian belajar, mereka otomatis sebenarnya sudah lulus. Pertanyaannya lalu untuk apa dikerahkan Magister, Doktor, bahkan Guru Besar untuk menjadi pengawas ujian jika sebenarnya pesertanya sudah lulus.
Kemudian kita lihat juga bagaimana mutu dari matrial ujian. Semua orang yang memahami penggunaan pemindai teknologi akan geleng kepala. Kualitas lembar jawaban ujian siswa berasal dari kertas yang rendah kualitasnya, sehingga pada saat pemindaian lembar jawaban diduga akan mengalami kendala teknis yang cukup serius. Tampak lembar jawaban ujian tidak dipersiapkan sesuai dengan standar penyelenggaraan teknologi pemindaian. Kesan asal-asalan dari penyiapan material menjadi sangat mencolok, hal ini terlebih dari kertas paking yang digunakan percetakan. Dan tentu hal ini menjadi variable penyumbang atas mutu penyelenggaraan yang makin rendah saja.
Lebih menyedihkan lagi saat ujian Bahasa Inggris. Salah satu komponen materi menggunakan Tipe recorder untuk uji kemampuan dengar. Bahan kaset bermutu rendah, alat putarpun tidak standar karena sangat tergantung dari ketersediaan yang ada di sekolah. Sementara pola cakram yang sudah lebih berkualitas tidak tersedia. Akhirnya belum diputarpun peserta ujianpun sudah sakit perut, begitu diputar bahan ujian telinga mereka yang sakit mendengarnya.
Bagaimana pula dengan mutu pengawas ruang ujian. Inipun menjadi pertanyaan yang tidak mudah menjawabnya. Atas nama  “obyektivitas” perlakuan silang diberlakukan pada pengawas ruang yang berasal dari sekolah berbeda. Ironisnya tidak semua sekolah memiliki mutu pengawas yang baik. Justru pertimbangan keterdekatan biologis terkadang menjadi dasar penetapan seseorang untuk mengawas. Bisa terjadi karena alasan tidak ada orang, maka Kepala Tata Usaha Sekolah kebetulan Sarjana, maka dikirim sebagai Tenaga Pengawas. Akibatnya banyak pengawas berkualitas menjadi penonton, sementara pengawas yang melaksakan tugas berprinsip “kumahak Aing”.
Bagaimana pula dengan Pemda sebagai pemilik daerah kekuasaan penyelenggaraan. Mereka berada pada waktu yang salah dan tempat yang salah. Sebagai pemilik daerah tentu menjadi tuan rumah yang baik menjadi semacam kewajiban. Penguasa daerah harus menyiapkan acara “peyambutan” even ini sebaik mungkin. Sementara pendanaan tidak dibolehkan dibebankan kepada anggaran pemerintah daerah. Bayangkan mereka ibarat orang lain yang punya hajat, tetapi mereka dibebanni menyiapkan Tarup untuk tenda dan Konsumsi tamu VIP. Kita bisa membayangkan bagaimana tujuh kelilingnya Kepala Dinas Pendidikan menghadapi even ini.
Sisi lain, orang tua siswa mengatasnamakan rasa sayang kepada anak, mereka menempuh cara apapun juga agar anaknya bisa lulus ujian. Maka pada waktu ada permintaan dari anak membeli bocoran soal, dengan mudah mereka merogoh kocek menyiapkan berapapun. Pada hal ujian Nasional Model 2013 adalah Ujian Mandiri. Artinya setiap siswa menerima materi soal yang berbeda. Tatkala penyedia jasa tidak muncul pada waktunya, maka hebohlah kejadiannya.
Demikianlah potret ujian saat ini membuat semakin sempurnanya tanggungjawab yang harus dipikul oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Memang diakui penyempurnaan sudah dan selalu dilakukan, akan tetapi esensi perubahan tidak pernah menyentuh esensi dasar penilaian. Di tambah lagi seyogyanya yang sudah baik dipertahankan, ternyata yang sudah baik tidak dijaga. Pada akhirnya mari kita sama-sama merenungkan apakah tidak sebaiknya yang memberikan ujian itu kita kembalikan saja kepada yang memang membelajarkan. Kita siapkan saja sarana dan prasarana, serta kontrol kualitas, agar proses pembelajaran menjadi lebih baik, sehingga pada saatnya akan terbangun “kepercayaan” pada lembaga penyelenggara pendidikan.
Untuk Perguruan Tinggi sebaiknya berfikir ulang untuk ikut terlibat menyelenggarakan ujian dengan kondisi  seperti ini. Pembenaran bahwa test masuk perguruan tinggi terpisah dengan ujian nasional adalah kondisi sempurna untuk saat ini. Mari kita jujur untuk melihat ini semua dengan tidak memaksakan kehendak jika memang kondisi tidak bisa dipaksakan dan memang tidak untuk dipaksakan.

2 komentar:

  1. Oh begitu ya pak, mantap pak. salam dari blogger mahasiswa fkip unila

    eko budi santoso

    BalasHapus
  2. wah benar2 senada dengan pemikiran saya Prof, apalagi saya ini produk lulusan Ujian Nasional yg sudah uzur sistemnya.

    Salam dari mahasiswa fakultas kip unila,
    Eko Ari Wijayanto

    BalasHapus