Seiring perjalanan waktu Ujian Nasional
bergulir lagi. Gemuruh armada anak manusia menuju titik perhelatan Kenduri Nasional
di seluruh antero Nusantara. Namun tuai yang dijalankan tidak seindah yang
direncanakan. Hari pertama sudah sebelas Provinsi tersingkir sebelum perang. Dengan
alasan klasik kendala teknis menjadikan acara batal, dan ini adalah alasan yang
sempurna. Akibatnya pemangku kepentingan mempertanyakan keseriusan
penyelenggaraan dengan dana milyaran atas nama kualitas.
Bagaimana pula esensi yang terjadi di
meja ujian. Peserta ujian sebenarnya sudah mengantongi tiket masuk 3,2 jika
sekolah memberi “nilai kasih sayang” angka delapan semua pada ujian sekolah.
Dan menjadi 3,6 jika nilai itu menjadi “nilai keberuntungan” dengan ditebar
angka Sembilan. Total bobot empatpuluh persen milik sekolah ini sudah mereka kantongi sebelum berlaga di Ujian Nasional. Jika Soal Ujian Nasional dikerjakan dengan benar lima belas soal sampai
dengan duapuluh soal saja, maka peserta ujian sudah mengantongi kelulusan pada
level standar minimal. Ini berarti tidak perlu terlalu seriuspun peserta ujian
belajar, mereka otomatis sebenarnya sudah lulus. Pertanyaannya
lalu untuk apa dikerahkan Magister, Doktor, bahkan Guru Besar untuk menjadi
pengawas ujian jika sebenarnya pesertanya sudah lulus.
Kemudian kita lihat juga bagaimana mutu
dari matrial ujian. Semua orang yang memahami penggunaan pemindai teknologi
akan geleng kepala. Kualitas lembar jawaban ujian siswa berasal dari kertas
yang rendah kualitasnya, sehingga pada saat pemindaian lembar jawaban diduga
akan mengalami kendala teknis yang cukup serius. Tampak lembar jawaban ujian
tidak dipersiapkan sesuai dengan standar penyelenggaraan teknologi pemindaian.
Kesan asal-asalan dari penyiapan material menjadi sangat mencolok, hal ini
terlebih dari kertas paking yang digunakan percetakan. Dan tentu hal ini
menjadi variable penyumbang atas mutu penyelenggaraan yang makin rendah saja.
Lebih menyedihkan
lagi saat ujian Bahasa Inggris. Salah satu komponen materi menggunakan Tipe
recorder untuk uji kemampuan dengar. Bahan kaset bermutu rendah, alat putarpun
tidak standar karena sangat tergantung dari ketersediaan yang ada di sekolah.
Sementara pola cakram yang sudah lebih berkualitas tidak tersedia. Akhirnya
belum diputarpun peserta ujianpun sudah sakit perut, begitu diputar bahan ujian
telinga mereka yang sakit mendengarnya.
Bagaimana pula dengan mutu pengawas
ruang ujian. Inipun menjadi pertanyaan yang tidak mudah menjawabnya. Atas nama “obyektivitas” perlakuan silang diberlakukan
pada pengawas ruang yang berasal dari sekolah berbeda. Ironisnya tidak semua sekolah memiliki mutu pengawas yang baik. Justru
pertimbangan keterdekatan biologis terkadang menjadi dasar penetapan seseorang
untuk mengawas. Bisa terjadi karena alasan tidak ada orang, maka Kepala Tata
Usaha Sekolah kebetulan Sarjana, maka dikirim sebagai Tenaga Pengawas. Akibatnya
banyak pengawas berkualitas menjadi penonton, sementara pengawas yang
melaksakan tugas berprinsip “kumahak Aing”.
Bagaimana pula dengan Pemda sebagai
pemilik daerah kekuasaan penyelenggaraan. Mereka berada pada waktu yang salah
dan tempat yang salah. Sebagai pemilik daerah tentu menjadi tuan rumah yang
baik menjadi semacam kewajiban. Penguasa daerah harus menyiapkan acara “peyambutan” even ini sebaik
mungkin. Sementara pendanaan tidak dibolehkan dibebankan kepada anggaran pemerintah
daerah. Bayangkan mereka ibarat orang lain yang punya hajat, tetapi mereka dibebanni
menyiapkan Tarup untuk tenda dan Konsumsi tamu VIP. Kita bisa
membayangkan bagaimana tujuh kelilingnya Kepala Dinas Pendidikan menghadapi
even ini.
Sisi lain, orang tua siswa
mengatasnamakan rasa sayang kepada anak, mereka menempuh cara apapun juga agar
anaknya bisa lulus ujian. Maka pada waktu ada permintaan dari anak membeli
bocoran soal, dengan mudah mereka merogoh kocek menyiapkan berapapun. Pada hal
ujian Nasional Model 2013 adalah Ujian Mandiri. Artinya setiap siswa menerima
materi soal yang berbeda. Tatkala penyedia jasa tidak muncul pada waktunya,
maka hebohlah kejadiannya.
Demikianlah potret ujian saat ini
membuat semakin sempurnanya tanggungjawab yang harus dipikul oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Memang diakui penyempurnaan sudah dan selalu
dilakukan, akan tetapi esensi perubahan tidak pernah menyentuh esensi dasar
penilaian. Di tambah lagi seyogyanya yang sudah baik dipertahankan, ternyata
yang sudah baik tidak dijaga. Pada akhirnya mari kita sama-sama merenungkan
apakah tidak sebaiknya yang memberikan ujian itu kita kembalikan saja kepada
yang memang membelajarkan. Kita siapkan saja sarana dan prasarana, serta
kontrol kualitas, agar proses pembelajaran menjadi lebih baik, sehingga pada
saatnya akan terbangun “kepercayaan” pada lembaga penyelenggara pendidikan.
Untuk
Perguruan Tinggi sebaiknya berfikir ulang untuk ikut terlibat menyelenggarakan
ujian dengan kondisi seperti ini.
Pembenaran bahwa test masuk perguruan tinggi terpisah dengan ujian nasional
adalah kondisi sempurna untuk saat ini. Mari kita jujur untuk melihat ini semua
dengan tidak memaksakan kehendak jika memang kondisi tidak bisa dipaksakan dan memang
tidak untuk dipaksakan.
Oh begitu ya pak, mantap pak. salam dari blogger mahasiswa fkip unila
BalasHapuseko budi santoso
wah benar2 senada dengan pemikiran saya Prof, apalagi saya ini produk lulusan Ujian Nasional yg sudah uzur sistemnya.
BalasHapusSalam dari mahasiswa fakultas kip unila,
Eko Ari Wijayanto