Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Rabu, 19 Februari 2014

KORAN dan KORBAN


Koran

Kedua makna dari kata yang menjadi judul tulisan ini sangat jauh berbeda, walau bisa berhubungan. Sisipan satu hurup “B” pada tengah kata, semua menjadi runyam dan jungkir balik maknanya. Ini dapat dibuktikan pada waktu pagi hari kita beraktivitas ke luar rumah. Terlepas hukum dagang yang dipakai, atau atas nama apapun, ternyata produk baru, termasuk media cetak, dalam mempromosikan produknya, tidak jarang harus minta “tumbal” atau korban. Ironisnya tumbal itu harus wanita. Ini yang menjadi keberatan luar biasa pada azazi kita.
Sulit dipahami nalar, anak gadis belia dengan berdandang sedikit menor, kepala diberi mahkota produk, dan menjajakan produk diperempatan lampu merah, mengetuk kaca jendela pintu kendaraan, kemudian menyodorkan produk untuk dibeli. Tentu rasa iba, atau rasa lain yang muncul, semua kita disudutkan pada pilihan satu. Atau juga di stasiun pengisian bahan bakar, ada wanita dengan berparas “dipaksa” ayu, menawarkan produk pada para pengisi bahan bakar. Kata kata yang dipilih seolah telah diprogram, agar tampak memelas, sehingga yang menlihatnya akan jatuh uang, untuk membeli.

Memang jika ditelusuri secara formal, tidak ada satupun undang undang tertulis yang dilanggar oleh pembuat produk, jadi mereka bisa terhindar dari perundangan formal. Hanya saja sebagai insan yang memiliki hati nurani, dan aturan norma kepatutan, apakah cara mengeksploitir seperti itu layak. Betul bahwa hukum ekonomi berlaku di sana, tetapi rasanya Max Weber tidak pernah meristui pelanggaran norma kepatutan dalam melaksanakan hukum pasar dalam ekonomi.
Wanita yang seharusnya kita hormati, kita junjung tinggi, karena syurga saja ada di bawah telapak kakinya. Mengapa kita tega memasukkan mereka sebagai instrument pengeruk keuntungan bagi suatu produk. Sementara media yang digenggamnya tidak jarang memuat artikel membela kepentingan perempuan sambil berteriak lantang. Atau produk yang digenggamnya tidak jarang hanya pemuas nafsu hewani yang justru minta korban perempuan.
Jungkir balik tata norma seperti ini seolah sudah menjadi kelaziman dari dunia pemasaran kita, terlepas apakah itu produk barang atau jasa. Semua menghalalkan cara untuk mencapai target dari upaya ekonomi. Dan memerlukan korban atau dijadikan korban, itu dimunculkan oleh thesis Peter Berger dalam Piramidal Kurban Manusia.  Semua upaya ekonomi seolah baik secara tersamar maupun terang-terangan hal itu dimungkinkan.
Penguasaan dan penyebarluasan informasi melalui produk teknologi yang sudah canggih seperti sekarang, ternyata exploitasi, khususnya terhadap wanita, sudah semakin menjadi jadi. Ada satu status ditulis pada media face book tentang perilaku menyimpang, ternyata yang diunggah justru wanita, padahal semua kita mengetahui bahwa kejadian seperti itu harus dilakukan oleh wanita dan pria. Yang menjadi pertanyaan kenapa harus wanita saja yang ditampilkan, seolah semua dosa itu ditumpukan pada wanita. Ketidak adilan gender serupa ini ternyata masih melilit pada bangsa ini, walaupun sudah lebih dari setengah abad merdeka.
Belajar dari sejarah bahwa jika ada pria yang sukses, pasti ada wanita yang kuat dibelakangnya, maka sudah sepatutnya jika kita menghormati wanita, dengan tidak memasukkannya sebagai barang dan jasa dalam suatu sistem perekonomian kita. Walau ini menjadi perdebatan yang panjang dan mungkin melelahkan, akan tetapi dengan niat tulus kita menjunjung harkat dan martabat mereka.
Prosentase keterwakilan perempuan di Parlemen, adalah sesuatu yang perlu diapresiasi, namun seharusnya kita tidak berhenti di sana saja, akan tetapi diperlukan upaya upaya lain, agar keterwakilan itu juga ada pada lini lain, termasuk penyuaraan akan hak untuk tidak diekploitasi oleh atas nama apapun.
Jika kita melihat jumlah mahasiswa yang ada pada lembaga perguruan tinggi, ternyata tidak ada satupun fakultas yang tidak ada wanitanya. Bahkan akhir akhir ini dominasi jumlah mereka lebih besar dari laki-laki.  Ini berarti sepuluh sampai dua puluh tahun kedepan posisi posisi strategis akan lebih banyak diperankan oleh perempuan.
Untuk itu mari kita hormati mereka dengan memperan dan fungsikannya sebagaimana mustinya, bukan dengan melecehkannya. Kita tidak memerlukan pencitraan untuk menghormati mereka, tetapi memang sesuatu kuwajiban yang harus kita lakukan. Jangan pula kita mengambil keuntungan dari kekurangan atau kelebihannya, karena apapun namanya itu adalah eksploitasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar