Koran |
Kedua
makna dari kata yang menjadi judul tulisan ini sangat jauh berbeda, walau bisa
berhubungan. Sisipan satu hurup “B” pada tengah kata, semua menjadi runyam dan
jungkir balik maknanya. Ini dapat dibuktikan pada waktu pagi hari kita
beraktivitas ke luar rumah. Terlepas hukum dagang yang dipakai, atau atas nama
apapun, ternyata produk baru, termasuk media cetak, dalam mempromosikan
produknya, tidak jarang harus minta “tumbal” atau korban. Ironisnya tumbal itu
harus wanita. Ini yang menjadi keberatan luar biasa pada azazi kita.
Sulit
dipahami nalar, anak gadis belia dengan berdandang sedikit menor, kepala diberi
mahkota produk, dan menjajakan produk diperempatan lampu merah, mengetuk kaca
jendela pintu kendaraan, kemudian menyodorkan produk untuk dibeli. Tentu rasa
iba, atau rasa lain yang muncul, semua kita disudutkan pada pilihan satu. Atau
juga di stasiun pengisian bahan bakar, ada wanita dengan berparas “dipaksa”
ayu, menawarkan produk pada para pengisi bahan bakar. Kata kata yang dipilih
seolah telah diprogram, agar tampak memelas, sehingga yang menlihatnya akan
jatuh uang, untuk membeli.
Memang
jika ditelusuri secara formal, tidak ada satupun undang undang tertulis yang dilanggar
oleh pembuat produk, jadi mereka bisa terhindar dari perundangan formal. Hanya
saja sebagai insan yang memiliki hati nurani, dan aturan norma kepatutan,
apakah cara mengeksploitir seperti itu layak. Betul bahwa hukum ekonomi berlaku
di sana, tetapi rasanya Max Weber tidak pernah meristui pelanggaran norma
kepatutan dalam melaksanakan hukum pasar dalam ekonomi.
Wanita
yang seharusnya kita hormati, kita junjung tinggi, karena syurga saja ada di
bawah telapak kakinya. Mengapa kita tega memasukkan mereka sebagai instrument
pengeruk keuntungan bagi suatu produk. Sementara media yang digenggamnya tidak
jarang memuat artikel membela kepentingan perempuan sambil berteriak lantang.
Atau produk yang digenggamnya tidak jarang hanya pemuas nafsu hewani yang
justru minta korban perempuan.
Jungkir
balik tata norma seperti ini seolah sudah menjadi kelaziman dari dunia
pemasaran kita, terlepas apakah itu produk barang atau jasa. Semua menghalalkan
cara untuk mencapai target dari upaya ekonomi. Dan memerlukan korban atau dijadikan
korban, itu dimunculkan oleh thesis Peter Berger dalam Piramidal Kurban
Manusia. Semua upaya ekonomi seolah baik
secara tersamar maupun terang-terangan hal itu dimungkinkan.
Penguasaan
dan penyebarluasan informasi melalui produk teknologi yang sudah canggih
seperti sekarang, ternyata exploitasi, khususnya terhadap wanita, sudah semakin
menjadi jadi. Ada satu status ditulis pada media face book tentang perilaku
menyimpang, ternyata yang diunggah justru wanita, padahal semua kita mengetahui
bahwa kejadian seperti itu harus dilakukan oleh wanita dan pria. Yang menjadi
pertanyaan kenapa harus wanita saja yang ditampilkan, seolah semua dosa itu
ditumpukan pada wanita. Ketidak adilan gender serupa ini ternyata masih melilit
pada bangsa ini, walaupun sudah lebih dari setengah abad merdeka.
Belajar
dari sejarah bahwa jika ada pria yang sukses, pasti ada wanita yang kuat
dibelakangnya, maka sudah sepatutnya jika kita menghormati wanita, dengan tidak
memasukkannya sebagai barang dan jasa dalam suatu sistem perekonomian kita. Walau
ini menjadi perdebatan yang panjang dan mungkin melelahkan, akan tetapi dengan
niat tulus kita menjunjung harkat dan martabat mereka.
Prosentase
keterwakilan perempuan di Parlemen, adalah sesuatu yang perlu diapresiasi,
namun seharusnya kita tidak berhenti di sana saja, akan tetapi diperlukan upaya
upaya lain, agar keterwakilan itu juga ada pada lini lain, termasuk penyuaraan
akan hak untuk tidak diekploitasi oleh atas nama apapun.
Jika
kita melihat jumlah mahasiswa yang ada pada lembaga perguruan tinggi, ternyata
tidak ada satupun fakultas yang tidak ada wanitanya. Bahkan akhir akhir ini
dominasi jumlah mereka lebih besar dari laki-laki. Ini berarti sepuluh sampai dua puluh tahun
kedepan posisi posisi strategis akan lebih banyak diperankan oleh perempuan.
Untuk itu mari kita hormati
mereka dengan memperan dan fungsikannya sebagaimana mustinya, bukan dengan
melecehkannya. Kita tidak memerlukan pencitraan untuk menghormati mereka,
tetapi memang sesuatu kuwajiban yang harus kita lakukan. Jangan pula kita
mengambil keuntungan dari kekurangan atau kelebihannya, karena apapun namanya
itu adalah eksploitasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar