Harta Yang Paling Berharga nan Mulia Adalah Ilmu

Rabu, 19 Februari 2014

TRIAS POLITIKA VERSUS TRIAS KORUPSIKA



Trias Politika Vs Trias Koruptika
Peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu bak angin puting beliung melanda bumi nusantara ini, bagaimana tidak, benteng terakhir, atau soko guru terakhir, lembaga penegak keadilan terseret obak besar dengan didapatkannya secara tangkap tangan, pimpinan lembaga sedang bertransaksi mengenai suatu keperkaraan yang ditanganinya. Terlepas kebenaran matrial dan formal masih dalam penelusuran, tetapi drama ini terlanjur terpentaskan dihadapan rakyat jelata.
Betapa dahsyatnya virus ini, sampai dapat menembus eksekutif, legeslatif, dan yudikatif. Saya yakin jika pencetus Trias Politika masih hidup, akan secara tergesa-gesa datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian guna melengkapi teori yang dibangunnya.
Pendapatan yang tinggi perbulan dengan mendekati seratus juta, ternyata tidak membuat seseorang itu cukup, justru ini memunculkan nafsu baru. Berawal dari “makan apa hari ini, besok apa yang dimakan, apa lagi yang belum saya makan, berpuncak, siapa lagi yang akan saya makan”. Bagaimana seseorang dapat bertriwikrama mengubah bentuk dari penjaga keadilan, menjadi pemangsa apa saja.
Negara ini seolah olah “Bedah” secara moral, karena sendi-sendinya sudah tidak saling topang lagi, justru saling jatuh menimpa yang lain. Apakah Sriwijaya dan Majapahit sebagai suri teladan untuk kita semua, masih kurang jelas. Ke dua kerajaan besar yang pernah hidup di kawasan ini, konon dalam beberapa nukilan sejarah, kehancurannya juga disumbang oleh korupnya para penguasa istana.
Tidak salah jika Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia ini mengatakan “jangan lupakan sejarah”, ternyata banyak diantara kita melakukan hal itu. Sehingga seolah kita berhadapan dengan siklus yang selalu berulang. Berputar pada sumbu yang sama dengan peristiwa yang berbeda, pada setting yang relative sama.
Nukilan sejarah masa lalu yang berisi tamsil tidak pernah kita simak, bagaimana hurup jawa Ha Na Cha Ra Ka, dan seterusnya itu memiliki tanda tanda baca; jika suatu hurup diberi perlakuan apapun tetap berbunyi, akan tetapi jika di “pangku”, maka huruf itu tidak berkonsonan, atau mati. Filosofi ini terkandung betapa manusia jika diterpa dengan penderitaan, tetap sukses dan mampu menemukan jalan keluar. Sebaliknya jika diberi kenikmatan sedikit saja, maka manusia tadi tidak akan mendapatkan kesuksesan.
Kata lain dari tamsil di atas, bahwa pada umumnya manusia itu akan tetap eksis jika diterpa dengan kesulitan hidup, sebaliknya jika mendapatkan kesukaan, kesukacitaan, maka yang bersangkutan akan bangkrut semua usahanya, karena lupa diri. Lambang-lambang kearifan local seperti ini sudah jarang dimaknai oleh banyak orang, dan jika ada yang berfikir seperti itu dianggap tidak rasional. Ini sesuatu yang keluar dari nalar.
Tetapi ternyata contoh soal selalu tertulis begitu, apapun logika yang dipakai ternyata pusaran akan kembali pada titik awal.
Jadi pada bidang apapun kaki berpijak, jika kita tidak memiliki konsep diri yang kuat, dan filosofi bangsa yang kokoh, maka dimanapun posisi kita akan tetap sama dalam mengambil peran. Bermain api, akan terbakar, bermain air akan basah. Bagaimana kita tetap bermain, tetapi juga tetap tidak terbakar, dan atau tetap tidak basah. Menurut Asmuni Srimulat almarhum itu hil yang mustahal, tetapi kita harus bisa menembus kemustahilan itu.
Kondisi bangsa yang sudah memprihatinkan ini adalah pekerjaan rumah semua elemen bangsa untuk memperbaikinya. Tidak bisa kita menyalahkan satu atau sebagian dari kita, karena semua kita sedikit banyak telah memberi kontribusi akan terjadinya kejadian ini.
Tetapi dibalik itu semua kita memerlukan pemimpin yang tegas, dan berani tidak popular karena mengambil kebijakkan pro rakyat. Tidak memerlukan pencitraan, karena citra itu akan muncul dari keteguhan kita akan prinsip mengabdi kepada republik ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar