ANTARA TAHTA DAN
PENJARA
Pada saat pulang
bersama dari Serang dengan rombongan ditengah Selat Sunda yang sedang
bergejolak, kami rombongan berada di dalam Kapal Penyeberangan Fery Merak
menuju Bakhahuni, pimpinan rombongan yang sekaligus Dekan berteriak saat
melihat tayangan Televisi di Ruang Utama Penumpang, saat melihat adegan
bagaimana seorang pimpinan partai besar di Republik ini tersandung perkara
korupsi.
Terlepas dari kebenaran
issue itu adalah bukan ranah yang untuk dibicarakan pada tulisan ini, akan
tetapi bagaimana tipisnya batas antara Tahta yang diduduki seseorang dengan
Penjara disisi lain adalah sesuatu yang menarik untuk di kaji. Kondisi negara
yang seperti sekarang ini setiap hari media masa, terlepas dari apa
motivasinya, menampilkan suguhan yang berkaitan dengan maraknya para petinggi
tersandung masalah sekitar keuangan negara.
Peringatan ini pernah
juga digelar pada jagad Wayang Purwa, bagaimana menderitanya para Pendawa yang
selama ini menjadi Raja Agung Binatara, berubah menjadi gembel orang buangan di
Hutan Dandaka, karena kalah judi.
Ternyata semua tamsil
di atas memposisikan diri kita pada perenungan bahwa betapa tidak abadinya
dunia ini. Perubahan posisi manusia begitu cepat sekali jika Yang Maha Pencipta
menghendaki. Logika-logika nalar manusia tidak dapat menembus semua jantra tadi.
Pembelajaran bagi semua
kita, termasuk penulis, untuk merenungkan bahwa banyak peristiwa sosial yang
tidak dapat dijelaskan dengan hukum logika. Faktor di luar logika tidak jarang
menjadi begitu kuat, sehingga suatu peristiwa terjadi. Apalagi pada kondisi
anomali sosial, jelas tampak hukum hukum linier tidak mampu memberikan
penjelasan, apalagi menganalisisnya. Oleh karena itu logika nalar empiris
sering menyimpang jika dipakai alat analisis situasi seperti sekarang ini.
Situasi anomali sosial serupa ini menggiring banyak orang pada dua pilihan.
Pilihan pertama, ikut menjadi pelaku, dengan prinsip masuk penjara adalah
bagian dari kehidupan unruk mencari kekayaan sekaligus ketenaran. Pilihan
kedua, mundur dari percaturan dunia, minggir dan menjadi penonton saja.
Situasi seperti ini
hanya pendidikan diri yang mampu memberikan benteng agar kita dapat berbuat
arif. Pendidikan diri (self education)
sekolahannya ada pada kehidupan yang
terbentang ini. Gurunya adalah Tukang Becak, Kepala Sekolahnya Simbok Tukang
Sayur, Wali Kelasnya Tukang Sapu Jalan. Maksudnya ialah jika kita dapat
menangkap esensi dari apa yang dikerjakan oleh kelompok ini, maka kita
sebenarnya mampu melihat kehidupan ini secara makrifat.
Tukang Becak, Simbok
Tukang Sayur, Tukang Sapu Jalan dalam menjalani hidup ini penuh dengan
keihlasan tanpa pamrih. Semua perjalanan hidup mereka lakoni dengan tanpa beban,
yang ada dikepalanya hanya mengabdi kepada yang punya hidup. Oleh karena itu
mencari keridhoan dan menjalani hidup dengan usaha dan kepasrahan adalah
sesuatu kemulyaan baginya.
Teladan kehidupan
batiniah serupa ini memang tidak mudah kita menangkapnya. Paling tidak
diperlukan kemampuan membaca tanda dari kehidupan. Penanda kehidupan inilah
yang sangat sulit kita pahami secara lahiriah. Namun pendidikan yang berhasil
adalah jika pendidik mampu membawa peserta didiknya memahami semua yang ada
dibalik pertanda kehidupan tadi. Seorang ahli pendidikan bernama Oswal Kulpe
mengatakan bahwa proses pendidikan itu dikatakan berhasil jika peserta didiknya
mampu berfikir tingkat tinggi, yaitu mampu berfikir apa yang dipikirkan orang
lain.
Pekerjaan yang tersisa
sekarang ialah bagaimana kemampuan berfikir tingkat tinggi tadi menjadi
produktif, bukan destruktif. Seorang koruptor tidak ada yang memiliki pemikiran
tingkat rendah, sayangnya kemampuan berfikir tingkat tinggi digunakan untuk
sesuatu yang tidak pada tempatnya. Tugas kita semua sekarang adalah bagaimana
orang-orang yang memiliki kemampuan berfikir tingkat tinggi tadi diisi jiwanya
dengan religiusitas, rasa kebangsaan, dan solidaritas sosial, serta membangun
negeri, dan tidak mudah terpengruh dengan kondisi anomali sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar